Semarang (ANTARA) - Ketua Harian Forum Kota Sehat (FKS) Kota Semarang Dyah Ratna Harimurti menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 justru bisa membuat perilaku seks bebas menjadi marak.
"Berkenaan dengan disahkannya PP 28/2024 penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar dan anak usia sekolah tentu menimbulkan keresahan bagi banyak orang tua siswa," kata sosok yang akrab disapa Detty tersebut, di Semarang, Minggu.
Detty yang juga anggota Komisi D DPRD Kota Semarang itu mengaku mendapatkan banyak pertanyaan dari masyarakat, terutama orang tua yang memiliki anak remaja yang khawatir dengan aturan tersebut.
"Dijual bebasnya kondom di minimarket saja sudah cukup meresahkan. Apalagi, dengan disediakan kontrasepsi di sekolah," katanya.
Menurut dia, sejauh ini pemerintah sudah berupaya menekan angka pengidap HIV/AIDS, dengan banyak melakukan sosialisasi, salah satunya kampanye antiseks bebas.
Namun, kata dia, kemunculan PP yang baru saja disahkan Presiden Joko Widodo tersebut sangat mngejutkan dan meresahkan masyarakat, terutama kalangan orang tua siswa.
"Dengan melegalkan seperti itu (penyediaan alat kontrasepsi, red.), berarti menormalisasi dan membolehkan anak-anak di bawah usia menikah untuk melakukan seks bebas, asal tidak hamil. Kan itu yang tersirat ya," katanya.
Ia mengingatkan bahwa perilaku seks bebas tidak sesuai dengan etika ketimuran dan bukan budaya Indonesia sehingga keberadaan PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar di sekolah jelas tidak tepat.
"Bukankah sudah ada Undang-Undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan bahwa usia menikah adalah 19 tahun? Seks bebas tentu belum bisa dinormalisasi di Indonesia karena tidak sesuai dengan budaya kita," katanya.
Selain itu, Detty menilai bahwa regulasi itu seolah-olah menyiratkan menyederhanakan permasalahan cuma remaja yang hamil sehingga bisa dicegah jangan sampai hamil dengan alat kontrasepsi.
"Jadi, tidak dipikirkan perilakunya anak-anak, 'mindset' anak-anak setelah adanya PP itu. Bagaimana mereka menjalani masa depan yang masih panjang setelah adanya kebebasan seperti itu," katanya.
Padahal, kata dia, perilaku dan pola pikir sangat penting untuk pembentukan karakter yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan meraih masa depan.
"Perlu diketahui bahwa seks bebas juga bisa bikin kecanduan. Bahkan, lebih dibandingkan dengan kecanduan narkoba. Saya khawatir kecanduan seks ini bisa merusak 'mindset' dan mental anak-anak dan remaja," katanya.
Masih banyak cara untuk menekan kehamilan dini dan apapun yang dikhawatirkan tentang remaja atau pelajar hamil, kata dia, tetapi tidak lantas dengan melegalkan penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pelajar atau remaja.
"Kami yakin masih banyak cara untuk menekan permasalahan remaja hamil, tapi tentunya tidak dengan memberikan, menyiapkan, melegalkan kontrasepsi di sekolah," katanya.
"Berkenaan dengan disahkannya PP 28/2024 penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar dan anak usia sekolah tentu menimbulkan keresahan bagi banyak orang tua siswa," kata sosok yang akrab disapa Detty tersebut, di Semarang, Minggu.
Detty yang juga anggota Komisi D DPRD Kota Semarang itu mengaku mendapatkan banyak pertanyaan dari masyarakat, terutama orang tua yang memiliki anak remaja yang khawatir dengan aturan tersebut.
"Dijual bebasnya kondom di minimarket saja sudah cukup meresahkan. Apalagi, dengan disediakan kontrasepsi di sekolah," katanya.
Menurut dia, sejauh ini pemerintah sudah berupaya menekan angka pengidap HIV/AIDS, dengan banyak melakukan sosialisasi, salah satunya kampanye antiseks bebas.
Namun, kata dia, kemunculan PP yang baru saja disahkan Presiden Joko Widodo tersebut sangat mngejutkan dan meresahkan masyarakat, terutama kalangan orang tua siswa.
"Dengan melegalkan seperti itu (penyediaan alat kontrasepsi, red.), berarti menormalisasi dan membolehkan anak-anak di bawah usia menikah untuk melakukan seks bebas, asal tidak hamil. Kan itu yang tersirat ya," katanya.
Ia mengingatkan bahwa perilaku seks bebas tidak sesuai dengan etika ketimuran dan bukan budaya Indonesia sehingga keberadaan PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar di sekolah jelas tidak tepat.
"Bukankah sudah ada Undang-Undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan bahwa usia menikah adalah 19 tahun? Seks bebas tentu belum bisa dinormalisasi di Indonesia karena tidak sesuai dengan budaya kita," katanya.
Selain itu, Detty menilai bahwa regulasi itu seolah-olah menyiratkan menyederhanakan permasalahan cuma remaja yang hamil sehingga bisa dicegah jangan sampai hamil dengan alat kontrasepsi.
"Jadi, tidak dipikirkan perilakunya anak-anak, 'mindset' anak-anak setelah adanya PP itu. Bagaimana mereka menjalani masa depan yang masih panjang setelah adanya kebebasan seperti itu," katanya.
Padahal, kata dia, perilaku dan pola pikir sangat penting untuk pembentukan karakter yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan meraih masa depan.
"Perlu diketahui bahwa seks bebas juga bisa bikin kecanduan. Bahkan, lebih dibandingkan dengan kecanduan narkoba. Saya khawatir kecanduan seks ini bisa merusak 'mindset' dan mental anak-anak dan remaja," katanya.
Masih banyak cara untuk menekan kehamilan dini dan apapun yang dikhawatirkan tentang remaja atau pelajar hamil, kata dia, tetapi tidak lantas dengan melegalkan penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pelajar atau remaja.
"Kami yakin masih banyak cara untuk menekan permasalahan remaja hamil, tapi tentunya tidak dengan memberikan, menyiapkan, melegalkan kontrasepsi di sekolah," katanya.