Solo (ANTARA) - Psikolog dari Rumah Sakit Santa Elizabeth Semarang Probowatie Tjondroegoro menyebut penerapan batasan menjadi salah satu cara menghadapi orang dengan gangguan kepribadian narsistik (NPD).
"Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menerapkan batasan, dengan memperkuat diri sendiri untuk tidak terlalu memperhatikan perlakuan pengidap NPD," katanya pada kampanye bertajuk #BrokenButUnBroken bersama Komunitas Emak Blogger (KEB) oleh Kartika Soeminar di Solo, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan orang yang menghadapi pengidap NPD perlu bersikap apatis atau cuek.
"Mengurangi interaksi dan komunikasi terhadap mereka merupakan cara efektif untuk menjaga kesehatan mental kita," katanya.
Ia mengatakan pengidap NPD seringkali memuji dirinya secara berlebihan dan cenderung krisis empati terhadap lingkungan sekitar. Menurut dia, ini terjadi disebabkan karena pola asuh di masa kecil yang terlalu sering mendapat pujian.
"Orang NPD cenderung tidak sadar kalau dirinya memiliki ciri-ciri itu. Gejala obsesi kompulsif sangat melekat pada NPD, di antaranya manipulatif dan butuh dikagumi. Hal ini bisa terjadi karena lingkungan masa kecil yang selalu mendapat pujian, sehingga seseorang merasa ia tidak pernah salah dan dengan berbagai cara harus selalu dikagumi," katanya.
Selain membatasi jarak, ia mengatakan metode fundamental yang harus dibangun untuk menghadapi pengidap NPD adalah pendekatan humanis.
"Kita perlu mendekati mereka dengan cara yang lebih initimasi dan santun. Misalnya saat dia mulai kurang empati dan terlalu meninggi, maka kita bisa alihkan pembicaraannya ke hal-hal lain yang lebih positif, sebab otak manusia sesungguhnya tidak bisa menerima energi negatif," katanya.
Sementara itu, pada kampanyenya Kartika mengedukasi para perempuan soal NPD. Pengalamannya hidup selama 23 tahun bersama pasangan yang merupakan pengidap NPD, menjadikannya lebih kuat.
"Saya mengatasi perasaan sedih ke hal-hal yang positif. Sembilan tahun lalu ingin hidup sehat sehingga sejak itu saya makin aktif olahraga. Jadi cepat melupakan sakit hati yang selama ini saya rasakan," katanya yang saat ini memutuskan berpisah dari pasangannya.
Selain itu, ia juga mengajak perempuan yang memiliki nasib sama seperti dirinya untuk mencari lingkungan pertemanan yang positif.
"Kita berhak bahagia, berhak dihormati, berhak dihargai," kata perempuan yang berprofesi sebagai pengusaha tersebut.
Ia juga mengajak untuk selalu berpikiran positif dan tidak menyalahkan keadaan.
"Jangan ambil keputusan gegabah. Meninggalkan NPD dampaknya besar sehingga memerlukan mental kuat. Selalu berpikir positif, dekatkan diri dengan teman-teman positif. Jangan menyalahkan takdir," kata perempuan asal Surabaya tersebut.
"Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menerapkan batasan, dengan memperkuat diri sendiri untuk tidak terlalu memperhatikan perlakuan pengidap NPD," katanya pada kampanye bertajuk #BrokenButUnBroken bersama Komunitas Emak Blogger (KEB) oleh Kartika Soeminar di Solo, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan orang yang menghadapi pengidap NPD perlu bersikap apatis atau cuek.
"Mengurangi interaksi dan komunikasi terhadap mereka merupakan cara efektif untuk menjaga kesehatan mental kita," katanya.
Ia mengatakan pengidap NPD seringkali memuji dirinya secara berlebihan dan cenderung krisis empati terhadap lingkungan sekitar. Menurut dia, ini terjadi disebabkan karena pola asuh di masa kecil yang terlalu sering mendapat pujian.
"Orang NPD cenderung tidak sadar kalau dirinya memiliki ciri-ciri itu. Gejala obsesi kompulsif sangat melekat pada NPD, di antaranya manipulatif dan butuh dikagumi. Hal ini bisa terjadi karena lingkungan masa kecil yang selalu mendapat pujian, sehingga seseorang merasa ia tidak pernah salah dan dengan berbagai cara harus selalu dikagumi," katanya.
Selain membatasi jarak, ia mengatakan metode fundamental yang harus dibangun untuk menghadapi pengidap NPD adalah pendekatan humanis.
"Kita perlu mendekati mereka dengan cara yang lebih initimasi dan santun. Misalnya saat dia mulai kurang empati dan terlalu meninggi, maka kita bisa alihkan pembicaraannya ke hal-hal lain yang lebih positif, sebab otak manusia sesungguhnya tidak bisa menerima energi negatif," katanya.
Sementara itu, pada kampanyenya Kartika mengedukasi para perempuan soal NPD. Pengalamannya hidup selama 23 tahun bersama pasangan yang merupakan pengidap NPD, menjadikannya lebih kuat.
"Saya mengatasi perasaan sedih ke hal-hal yang positif. Sembilan tahun lalu ingin hidup sehat sehingga sejak itu saya makin aktif olahraga. Jadi cepat melupakan sakit hati yang selama ini saya rasakan," katanya yang saat ini memutuskan berpisah dari pasangannya.
Selain itu, ia juga mengajak perempuan yang memiliki nasib sama seperti dirinya untuk mencari lingkungan pertemanan yang positif.
"Kita berhak bahagia, berhak dihormati, berhak dihargai," kata perempuan yang berprofesi sebagai pengusaha tersebut.
Ia juga mengajak untuk selalu berpikiran positif dan tidak menyalahkan keadaan.
"Jangan ambil keputusan gegabah. Meninggalkan NPD dampaknya besar sehingga memerlukan mental kuat. Selalu berpikir positif, dekatkan diri dengan teman-teman positif. Jangan menyalahkan takdir," kata perempuan asal Surabaya tersebut.