Semarang (ANTARA) - Peneliti dari Universitas Diponegoro Semarang Prof Eflita Yohana mengembangkan alat pengering vibro nano dehumidifikasi untuk produksi fine powder teh hijau.
Prof Elita, di Semarang, Rabu, menyebutkan bahwa pengering yang selama ini digunakan industri teh hijau jika ditinjau dari segi teknologi selama ini masih bersifat konvensional.
Dengan sistem konvensional, kata dia, terjadi peristiwa case hardening, yakni bagian luar partikel teh telah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah.
"Teh akan terasa soft dan cepat berjamur yang disebabkan oleh suhu outlet terlalu tinggi. 'Bakey, burnt, over fired', yakni terbakar atau gosong disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi, dan bau asap," katanya.
Selain itu, teh kering kurang masak karena terjadi fall trough dan banyak blow out, disebabkan oleh laju alir udara terlalu besar.
Akibatnya, kata dia, produk teh hijau yang dihasilkan memiliki kadar air relatif tinggi yang memungkinkan terjadinya proses oksidasi enzimatik polifenol sehingga kadar katekin teh hijau yang dihasilkan juga relatif rendah.
"Untuk itu inovasi mesin pengering yang dikembangkan berupa pengering vibrating fluidized bed yang didehumidifikasi absorpsi menggunakan nanofluida desiccant," katanya.
Menurut dia, pengembangan mesin 'vibrating fluidized bed drier', yakni pengering vibro unggun terfluidisasi mampu menghasilkan teh hijau berkatekin tinggi dan kadar air sekitar 2–3 persen.
Riset tersebut merupakan kolaborasi bersama Prof Hwi-Ung Choi dan Prof Kwang-Hwan Choi dari Korea, dan Tim Peneliti dari Sekolah Vokasi Undip, yakni Mohamad Endy Yulianto dan Hermawan Dwi Ariyanto yang telah didanai Undip dengan skema Riset Publikasi Internasional (RPI).
Mereka melakukan riset bertema "Fundamental Studies Of Vibro-Continous Drying With Nanoliquid Desiccant Dehumidification For Production Of Fine Powder Green Tea".
Guru Besar Undip pemilik 11 paten itu memaparkan bahwa salah satu tahapan penting dalam pengolahan teh hijau, yaitu proses pengeringan.
"Selama ini pengering yang digunakan untuk pengolahan teh hijau, menggunakan tipe endless chain pressure (ECP) drier dengan kebutuhan energi cukup besar, yaitu 1.991 kJ/kg teh atau setara dengan kebutuhan BBM 0,24 liter IDO/kg teh kering," katanya.
Selama ini, Eflita yang telah mengimplementasikan beberapa produk hilirisasi di industri teh dengan nomor paten IDS000007201.
Sementara itu, peneliti dari Sekolah Vokasi Undip Mohamad Endy Yulianto menambahkan bahwa senyawa polifenol teh hijau, terdiri atas catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin gallate, epigallocatehchin gallat dan asam gallat yang memiliki aktivitas antikanker, mencegah penyakit kardiovaskular, obesitas dan penyakit degeneratif lainnya.
"Keunggulan ini membuka peluang bagi industri teh Indonesia untuk memproduksi teh hijau berkatekin tinggi sebagai 'fine powder' yang mulai populer pemakaiannya saat ini," katanya.
"Fine powder" teh hijau, kata dia, dapat diaplikasikan di berbagai industri, di antaranya kosmetik fungsional, pangan fungsional, minuman siap saji, industri kue, farmasi, dan penyedap rasa.
Baca juga: Undip gandeng Universitas Nagoya kembangkan riset
Prof Elita, di Semarang, Rabu, menyebutkan bahwa pengering yang selama ini digunakan industri teh hijau jika ditinjau dari segi teknologi selama ini masih bersifat konvensional.
Dengan sistem konvensional, kata dia, terjadi peristiwa case hardening, yakni bagian luar partikel teh telah kering, tetapi bagian dalamnya masih basah.
"Teh akan terasa soft dan cepat berjamur yang disebabkan oleh suhu outlet terlalu tinggi. 'Bakey, burnt, over fired', yakni terbakar atau gosong disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi, dan bau asap," katanya.
Selain itu, teh kering kurang masak karena terjadi fall trough dan banyak blow out, disebabkan oleh laju alir udara terlalu besar.
Akibatnya, kata dia, produk teh hijau yang dihasilkan memiliki kadar air relatif tinggi yang memungkinkan terjadinya proses oksidasi enzimatik polifenol sehingga kadar katekin teh hijau yang dihasilkan juga relatif rendah.
"Untuk itu inovasi mesin pengering yang dikembangkan berupa pengering vibrating fluidized bed yang didehumidifikasi absorpsi menggunakan nanofluida desiccant," katanya.
Menurut dia, pengembangan mesin 'vibrating fluidized bed drier', yakni pengering vibro unggun terfluidisasi mampu menghasilkan teh hijau berkatekin tinggi dan kadar air sekitar 2–3 persen.
Riset tersebut merupakan kolaborasi bersama Prof Hwi-Ung Choi dan Prof Kwang-Hwan Choi dari Korea, dan Tim Peneliti dari Sekolah Vokasi Undip, yakni Mohamad Endy Yulianto dan Hermawan Dwi Ariyanto yang telah didanai Undip dengan skema Riset Publikasi Internasional (RPI).
Mereka melakukan riset bertema "Fundamental Studies Of Vibro-Continous Drying With Nanoliquid Desiccant Dehumidification For Production Of Fine Powder Green Tea".
Guru Besar Undip pemilik 11 paten itu memaparkan bahwa salah satu tahapan penting dalam pengolahan teh hijau, yaitu proses pengeringan.
"Selama ini pengering yang digunakan untuk pengolahan teh hijau, menggunakan tipe endless chain pressure (ECP) drier dengan kebutuhan energi cukup besar, yaitu 1.991 kJ/kg teh atau setara dengan kebutuhan BBM 0,24 liter IDO/kg teh kering," katanya.
Selama ini, Eflita yang telah mengimplementasikan beberapa produk hilirisasi di industri teh dengan nomor paten IDS000007201.
Sementara itu, peneliti dari Sekolah Vokasi Undip Mohamad Endy Yulianto menambahkan bahwa senyawa polifenol teh hijau, terdiri atas catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin gallate, epigallocatehchin gallat dan asam gallat yang memiliki aktivitas antikanker, mencegah penyakit kardiovaskular, obesitas dan penyakit degeneratif lainnya.
"Keunggulan ini membuka peluang bagi industri teh Indonesia untuk memproduksi teh hijau berkatekin tinggi sebagai 'fine powder' yang mulai populer pemakaiannya saat ini," katanya.
"Fine powder" teh hijau, kata dia, dapat diaplikasikan di berbagai industri, di antaranya kosmetik fungsional, pangan fungsional, minuman siap saji, industri kue, farmasi, dan penyedap rasa.
Baca juga: Undip gandeng Universitas Nagoya kembangkan riset