Purwokerto (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Indaru Setyo Nurprojo menilai sosok Mahfud MD merupakan pilihan rasional PDIP dengan menjadikannya sebagai calon wakil presiden yang mendampingi bakal calon presiden Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024.
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu siang, Indaru mengatakan hal itu berkaitan dengan kader-kader Nahdlatul Ulama (NU) yang terdeteksi sebagai bakal cawapres bagi tiga bakal capres yang telah muncul.
"Saya pikir pilihan rasionalnya sekarang begitu, ketika Cak Imin (sapaan akrab Muhaimin Iskandar, red.) diambil (oleh bakal capres Anies Baswedan) tentu pilihan PDIP mengarah kepada kader NU. Nah siapa-nya itu yang kemudian tentu mereka akan berhitung tentang kelebihan dan kekurangannya," jelas Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Ia mengatakan di antara kader-kader NU itu yang mungkin dinilai PDIP bisa membangun citra positif adalah Mahfud MD, karena sosok tersebut berkiprah langsung dan nyata karya-karyanya.
Sementara kader NU lainnya yang sempat terdeteksi sebagai salah satu bakal cawapres seperti Khofifah Indar Parawansa, kata dia, pernah ada dinamika karena sempat dipanggil aparat penegak hukum walaupun tidak terbukti.
"Kalau Mbak Yenny Wahid kemungkinan dalam konteks kancah pemerintahan masih butuh bukti untuk mewujudkan itu. Nah, pilihan-pilihan yang paling mungkin di antara itu ya Pak Mahfud," jelasnya.
Ia mengaku tidak tahu persis mengapa sosok Erick Thohir masuk dalam radar PDIP.
Kendati demikian, dia menduga hal itu disebabkan Erick Thohir sudah dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan bakal capres lainnya, yakni Prabowo Subianto.
"Mungkin itu sih, dan saya sempat dengar Pak Said Aqil Siradj (masuk radar PDIP). Mungkin energi-nya enggak begitu kuat dibandingkan energi dan gagasan-gagasan-nya Pak Mahfud," ujarnya.
Terkait dengan bakal capres Prabowo Subianto yang belum memiliki cawapres, dia mengatakan perhitungannya cukup detail, artinya hal itu diduplikasi dari Pemilu Serentak 2019.
Dalam hal ini, kata dia, Pemilu Serentak 2019 fokus-nya pada politik identitas dengan mengusung isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagainya.
Ia mengakui saat ini muncul dua nama yang di gadang-gadang sebagai bakal cawapres bagi capres Prabowo Subianto, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Erick Thohir.
"Dan ini mungkin kalau kemudian memilih Gibran tentu akan diserang dengan politik dinasti, walaupun semuanya ya melakukan politik dinasti kayak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) maupun Mega (Megawati Soekarnoputri)," tuturnya.
Ia mengatakan ketika Gibran dijadikan sebagai bakal cawapres pasti akan dihitung kalkulasi-nya, misalnya, risiko-risiko politik apa yang muncul dan juga diserang dengan isu politik dinasti.
Menurut dia, hal itu tentu akan ditanggapi serius oleh koalisi partai politik dengan melakukan simulasi-simulasi politik.
"Ketika (memilih) Erick Thohir memang mungkin secara finansial serta kinerja bagus dan sebagainya. Saya kira Erick Thohir pernah dimunculkan di dalam Harlah NU yang ada di Surabaya," ungkapnya.
Bahkan, kata dia, Erick Thohir dalam Harlah NU menempati posisi sentral sebagai steering committee dan hal itu menjadi investasi yang cukup strategis bagi sosok tersebut di kalangan Nahdliyin.
"Nah ini yang kira-kira dari dua calon ini, kalkulasi politik paling rendah itu siapa, apakah Gibran atau kah Erick, keduanya sama-sama kuat untuk menarik massa. Jadi, Pak Prabowo harus jeli untuk menentukan bakal cawapres-nya," ucap Indaru.
Pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden dijadwalkan pada 19 Oktober 2023 sampai dengan 25 November 2023.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Saat ini ada 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.
Baca juga: Masyarakat lereng Sumbing di Temanggung berdoa untuk Ganjar-Machfud
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu siang, Indaru mengatakan hal itu berkaitan dengan kader-kader Nahdlatul Ulama (NU) yang terdeteksi sebagai bakal cawapres bagi tiga bakal capres yang telah muncul.
"Saya pikir pilihan rasionalnya sekarang begitu, ketika Cak Imin (sapaan akrab Muhaimin Iskandar, red.) diambil (oleh bakal capres Anies Baswedan) tentu pilihan PDIP mengarah kepada kader NU. Nah siapa-nya itu yang kemudian tentu mereka akan berhitung tentang kelebihan dan kekurangannya," jelas Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Ia mengatakan di antara kader-kader NU itu yang mungkin dinilai PDIP bisa membangun citra positif adalah Mahfud MD, karena sosok tersebut berkiprah langsung dan nyata karya-karyanya.
Sementara kader NU lainnya yang sempat terdeteksi sebagai salah satu bakal cawapres seperti Khofifah Indar Parawansa, kata dia, pernah ada dinamika karena sempat dipanggil aparat penegak hukum walaupun tidak terbukti.
"Kalau Mbak Yenny Wahid kemungkinan dalam konteks kancah pemerintahan masih butuh bukti untuk mewujudkan itu. Nah, pilihan-pilihan yang paling mungkin di antara itu ya Pak Mahfud," jelasnya.
Ia mengaku tidak tahu persis mengapa sosok Erick Thohir masuk dalam radar PDIP.
Kendati demikian, dia menduga hal itu disebabkan Erick Thohir sudah dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan bakal capres lainnya, yakni Prabowo Subianto.
"Mungkin itu sih, dan saya sempat dengar Pak Said Aqil Siradj (masuk radar PDIP). Mungkin energi-nya enggak begitu kuat dibandingkan energi dan gagasan-gagasan-nya Pak Mahfud," ujarnya.
Terkait dengan bakal capres Prabowo Subianto yang belum memiliki cawapres, dia mengatakan perhitungannya cukup detail, artinya hal itu diduplikasi dari Pemilu Serentak 2019.
Dalam hal ini, kata dia, Pemilu Serentak 2019 fokus-nya pada politik identitas dengan mengusung isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagainya.
Ia mengakui saat ini muncul dua nama yang di gadang-gadang sebagai bakal cawapres bagi capres Prabowo Subianto, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Erick Thohir.
"Dan ini mungkin kalau kemudian memilih Gibran tentu akan diserang dengan politik dinasti, walaupun semuanya ya melakukan politik dinasti kayak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) maupun Mega (Megawati Soekarnoputri)," tuturnya.
Ia mengatakan ketika Gibran dijadikan sebagai bakal cawapres pasti akan dihitung kalkulasi-nya, misalnya, risiko-risiko politik apa yang muncul dan juga diserang dengan isu politik dinasti.
Menurut dia, hal itu tentu akan ditanggapi serius oleh koalisi partai politik dengan melakukan simulasi-simulasi politik.
"Ketika (memilih) Erick Thohir memang mungkin secara finansial serta kinerja bagus dan sebagainya. Saya kira Erick Thohir pernah dimunculkan di dalam Harlah NU yang ada di Surabaya," ungkapnya.
Bahkan, kata dia, Erick Thohir dalam Harlah NU menempati posisi sentral sebagai steering committee dan hal itu menjadi investasi yang cukup strategis bagi sosok tersebut di kalangan Nahdliyin.
"Nah ini yang kira-kira dari dua calon ini, kalkulasi politik paling rendah itu siapa, apakah Gibran atau kah Erick, keduanya sama-sama kuat untuk menarik massa. Jadi, Pak Prabowo harus jeli untuk menentukan bakal cawapres-nya," ucap Indaru.
Pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden dijadwalkan pada 19 Oktober 2023 sampai dengan 25 November 2023.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Saat ini ada 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.
Baca juga: Masyarakat lereng Sumbing di Temanggung berdoa untuk Ganjar-Machfud