Temanggung (ANTARA) - Garin Nugroho mengatakan Festival Lima Gunung (FLG) di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bisa bertahan lama karena bermodal sosial, bukan modal ekonomi.
"Festival ini dengan pendekatan kebudayaan dan sosial sebagai panglima, sebagai titik tolak tumbuh maka dia hidup terus seiring kehidupan masyarakat, tetapi kalau politik dan ekonomi sebagai panglima dia hidup seiring dengan kekuasaan dan ketika ada uang," katanya di Magelang, Minggu.
Ia menyampaikan hal tersebut saat menghadiri FLG XXII di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Menurut dia festival yang berbasis masyarakat desa tersebut, meskipun mereka tidak panen pun semakin bagus festivalnya, karena orang ingin berbagi perasaan dan hal itu yang tidak ada di festival yang lain.
"Seluruh festival selalu dihitung dengan ekonomi, mendapat berapa dan berapa festival yang mati karena dihitung dengan ekonomi, tetapi festival ini dihitung dengan modal sosial dan dia hidup terus," katanya.
Pada penyelenggaraan FLG XXII tersebut sejumlah tokoh mendapat Lima Gunung Award, yakni Bhante Sri Pannavaro Mahathera (tokoh umat Buddha), Garin Nugroho, Franki Raden, Romo Yoso Soedarmo, Nani Topeng Losari, Wardah Hafidz, Suprapto Suryodarmo, Jaya Suprana, Amat Sukandar, H.H Ahmad Mustofa Bisri, Mei Kartawinata, dan Rastika.
Garin merasa bangga mendapatkan penghargaan Lima Gunung Award. Menurut dia penghargaan tersebut paling penting di antara penghargaan yang dia terima sebelumnya.
"Saya pernah mendapatkan penghargaan tertinggi dari pemerintah Prancis, Pemerintah Italia, Presiden RI, dan dari Sultan juga pernah, tetapi yang paling penting justru penghargaan dari desa, karena kehidupan seluruh bangsa itu tergantung pada peradaban desa," katanya.
Menurut dia peradaban desa itu yang menghidupkan sebuah bangsa sehingga penghargaan dari peradaban desa itu justru yang sangat penting.
"Festival ini dengan pendekatan kebudayaan dan sosial sebagai panglima, sebagai titik tolak tumbuh maka dia hidup terus seiring kehidupan masyarakat, tetapi kalau politik dan ekonomi sebagai panglima dia hidup seiring dengan kekuasaan dan ketika ada uang," katanya di Magelang, Minggu.
Ia menyampaikan hal tersebut saat menghadiri FLG XXII di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Menurut dia festival yang berbasis masyarakat desa tersebut, meskipun mereka tidak panen pun semakin bagus festivalnya, karena orang ingin berbagi perasaan dan hal itu yang tidak ada di festival yang lain.
"Seluruh festival selalu dihitung dengan ekonomi, mendapat berapa dan berapa festival yang mati karena dihitung dengan ekonomi, tetapi festival ini dihitung dengan modal sosial dan dia hidup terus," katanya.
Pada penyelenggaraan FLG XXII tersebut sejumlah tokoh mendapat Lima Gunung Award, yakni Bhante Sri Pannavaro Mahathera (tokoh umat Buddha), Garin Nugroho, Franki Raden, Romo Yoso Soedarmo, Nani Topeng Losari, Wardah Hafidz, Suprapto Suryodarmo, Jaya Suprana, Amat Sukandar, H.H Ahmad Mustofa Bisri, Mei Kartawinata, dan Rastika.
Garin merasa bangga mendapatkan penghargaan Lima Gunung Award. Menurut dia penghargaan tersebut paling penting di antara penghargaan yang dia terima sebelumnya.
"Saya pernah mendapatkan penghargaan tertinggi dari pemerintah Prancis, Pemerintah Italia, Presiden RI, dan dari Sultan juga pernah, tetapi yang paling penting justru penghargaan dari desa, karena kehidupan seluruh bangsa itu tergantung pada peradaban desa," katanya.
Menurut dia peradaban desa itu yang menghidupkan sebuah bangsa sehingga penghargaan dari peradaban desa itu justru yang sangat penting.