Temanggung (ANTARA) - Spirit kurban menyuguhkan sudut pandang pada manusia tentang hakikat kebahagiaan kata Sekretaris Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah Muhammad Zuhron Arofi.
Pengurus PWM Jateng Muhammad Zuhron Arofi di Temanggung, Rabu, mengatakan kurban sebagaimana peristiwa legendaris antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan pelajaran tentang keadaban luhur manusia yang dibangun kokoh di atas fondasi spiritual.
"Bukan sekadar balutan simbol-simbol fisik yang kerap menipu dan bersifat sementara," katanya pada khutbah Idul Adha di Halaman Kantor Bupati Temanggung yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Temanggung.
Ia menyampaikan daging adalah simbol dari permukaan yang tidak mesti menggambarkan hakikat kedalaman. Banyak dari produk modernitas dengan segala pirantinya hanyalah menawarkan sesuatu yang bersifat permukaan. Semua itu hanya bersifat sementara dan mudah tergantikan oleh sesuatu yang lain.
Menurut dia sejauh apapun kemajuan sains dan teknologi pada akhirnya manusia tetap harus kembali berpegang teguh intisari agama. Segala kemajuan memang mampu dan dapat memudahkan manusia, tetapi tidak boleh mengakibatkan sisi kemanusiaan tercerabut.
"Jika sisi kemanusiaan itu hilang maka hilang pula rancang bangun keadaban yang diimpikan oleh Alquran. Semoga kita bukanlah kelompok manusia yang kehilangan jati diri akan hakikat kemanusiaannya," katanya.
Ia menyampaikan Islam melihat manusia dengan sudut pandang yang komprehensif. Manusia sebagaimana diutarakan Alquran diciptakan dengan kondisi paripurna.
Dosen Universitas Muhammadiyah Magelang ini mengatakan untuk menunjuk sosok manusia Alquran menggunakan kata sebaik-baiknya atau dalam bahasa lain dapat disebut sebagai bentuk keparipurnaan. kalimat ini memberi pengertian bahwa sosok yang disebut manusia itu bukan sekadar aspek biologisnya, tidak pula hanya mengedepankan daya rasionalitas semata.
Namun, utuh dengan segala aspeknya, jasad, jiwa, ruh, akal, dan hati adalah entitas utuh dari perwujudan manusia yang dimaksudkan Alquran.
Ia menuturkan sains yang menjadi dewa oleh sebagian orang hanya mampu menyentuh sebagian saja dari diri manusia. Padahal jauh dari semua itu ada aspek lain yang membutuhkan sentuhan.
"Di situlah peran agama untuk terus memposisikan manusia sebagai manusia, bukan manusia yang mencoba menjelma menjadi tuhan-tuhan baru dalam wujud kecerdasan dan arogansi sains," katanya.
Ia menegaskan agama khususnya Islam bertugas mengendalikan kepongahan manusia dan menyadarkan akan hakikat dirinya.
Pengurus PWM Jateng Muhammad Zuhron Arofi di Temanggung, Rabu, mengatakan kurban sebagaimana peristiwa legendaris antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan pelajaran tentang keadaban luhur manusia yang dibangun kokoh di atas fondasi spiritual.
"Bukan sekadar balutan simbol-simbol fisik yang kerap menipu dan bersifat sementara," katanya pada khutbah Idul Adha di Halaman Kantor Bupati Temanggung yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Temanggung.
Ia menyampaikan daging adalah simbol dari permukaan yang tidak mesti menggambarkan hakikat kedalaman. Banyak dari produk modernitas dengan segala pirantinya hanyalah menawarkan sesuatu yang bersifat permukaan. Semua itu hanya bersifat sementara dan mudah tergantikan oleh sesuatu yang lain.
Menurut dia sejauh apapun kemajuan sains dan teknologi pada akhirnya manusia tetap harus kembali berpegang teguh intisari agama. Segala kemajuan memang mampu dan dapat memudahkan manusia, tetapi tidak boleh mengakibatkan sisi kemanusiaan tercerabut.
"Jika sisi kemanusiaan itu hilang maka hilang pula rancang bangun keadaban yang diimpikan oleh Alquran. Semoga kita bukanlah kelompok manusia yang kehilangan jati diri akan hakikat kemanusiaannya," katanya.
Ia menyampaikan Islam melihat manusia dengan sudut pandang yang komprehensif. Manusia sebagaimana diutarakan Alquran diciptakan dengan kondisi paripurna.
Dosen Universitas Muhammadiyah Magelang ini mengatakan untuk menunjuk sosok manusia Alquran menggunakan kata sebaik-baiknya atau dalam bahasa lain dapat disebut sebagai bentuk keparipurnaan. kalimat ini memberi pengertian bahwa sosok yang disebut manusia itu bukan sekadar aspek biologisnya, tidak pula hanya mengedepankan daya rasionalitas semata.
Namun, utuh dengan segala aspeknya, jasad, jiwa, ruh, akal, dan hati adalah entitas utuh dari perwujudan manusia yang dimaksudkan Alquran.
Ia menuturkan sains yang menjadi dewa oleh sebagian orang hanya mampu menyentuh sebagian saja dari diri manusia. Padahal jauh dari semua itu ada aspek lain yang membutuhkan sentuhan.
"Di situlah peran agama untuk terus memposisikan manusia sebagai manusia, bukan manusia yang mencoba menjelma menjadi tuhan-tuhan baru dalam wujud kecerdasan dan arogansi sains," katanya.
Ia menegaskan agama khususnya Islam bertugas mengendalikan kepongahan manusia dan menyadarkan akan hakikat dirinya.