Kudus (ANTARA) - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berharap pemerintah segera menerbitkan keputusan terkait Harga Pokok Pembelian (HPP) gula tani 2023 karena ditunggu petani tebu, pabrik gula, dan pedagang sebagai acuan penjualan gula tani tahun ini.
"Kami menagih janji pemerintah untuk segera menerbitkan keputusan soal HPP gula tani tahun ini. Usulan HPP gula tani juga sudah dilayangkan DPN APTRI pada bulan lalu. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari usulan tersebut," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (APTRI) Soemitro Samadikoen melalui rilis yang diterima Antara, Jumat.
Ia mengungkapkan hal itu juga disampaikan saat DPN APTRI bertemu dengan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arif prasetyo Adi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pertemuan di kantor Bapanas dihadiri Kepala Bapanas Arif Prasetyo Adi, Deputi Bapanas I Ketut, Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen dan Sekjen APTRI M. Nur Khabsyin, Direktur Eksekutif AGI (Asosiasi Gula Indonesia) Budi Hidayat dan pengurus AGI. Sedangkan pertemuan di kantor Kemenko Perekonomian dihadiri Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, Deputi Menko Bidang Pangan dan Pertanian Musdalifah, Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen, staf ahli Menko Yusuf Hamka.
Karena sampai saat ini belum ada keputusan mengenai HPP, kata dia, dampaknya pedagang masih membeli gula tani jauh di bawah usulan HPP yang diajukan APTRI.
Soemitro menambahkan DPN APTRI mengusulkan agar pemerintah menetapkan HPP gula sekurang-kurangnya Rp13.500 per kilogram. Usulan tersebut dengan kalkulasi tingginya biaya pokok produksi (BPP) yang ditanggung petani.
Tingginya BPP tersebut beberapa di antaranya akibat pemakaian pupuk non subsidi yang menyumbang 15 persen biaya produksi, upah tenaga kerja, dan transportasi.
"Usulan kami sebelumnya HPP Rp15.000 per kilogram karena pertimbangan biaya pokok produksi saat ini sudah mencapai Rp13.600/kg. Namun berdasarkan hasil pertemuan tersebut, kami mendesak agar HPP bisa ditetapkan sekurang-kurangnya Rp13.500/kg," tandasnya.
Sementara itu, Sekjen DPN APTRI M. Nur Khabsyin menyebut dalam pertemuan tersebut, Kepala Bapanas maupun Menko Perekonomian memberikan respons yang cukup baik. Kedua pihak memberikan harapan dalam minggu depan sudah akan dilaksanakan rapat koordinasi terbatas (Rakortas) sehingga keputusan mengenai kenaikan HPP sudah bisa ditetapkan.
Khabsyin menambahkan, dalam pertemuan tersebut pihaknya juga menyampaikan keluhan lain terkait pencabutan subsidi pupuk yang berakibat petani kesulitan.
"Petani terpaksa memakai pupuk non subsidi karena kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Ini berakibat biaya produksi membengkak," ujarnya.
Selain itu, APTRI juga mendesak ada revisi Permenko Perekonomian nomor 1/2023 tentang kredit usaha rakyat (KUR). Dalam regulasi tersebut, ada ketentuan yang menyulitkan petani di antaranya petani yang lunas KUR tidak boleh mengajukan kredit lagi.
"Ini juga cukup menyulitkan petani karena petani pasti akan membutuhkan dana lagi untuk memulai tanam. Masa pinjaman hanya sekali," ujarnya.
Permasalahan lainnya, yakni ada praktik penjualan gula sistem forward sale atau sistem ijon yang dilakukan oleh PTPN III. Dalam sistem tersebut, PTPN III menjual gula dengan harga di bawah harga pasar.
"Semisal PTPN III melakukan transaksi di bulan Mei, tetapi pengiriman barangnya di bulan Juni dengan harga di bawah harga pasar. Ini merupakan bentuk praktik pemburu rente dan merugikan petani. Akibat sistem ijon tersebut saat ini gula tani hanya laku Rp12.000 per kg, padahal bulan Mei laku Rp12.440/kg," ujarnya.
"Kami menagih janji pemerintah untuk segera menerbitkan keputusan soal HPP gula tani tahun ini. Usulan HPP gula tani juga sudah dilayangkan DPN APTRI pada bulan lalu. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari usulan tersebut," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (APTRI) Soemitro Samadikoen melalui rilis yang diterima Antara, Jumat.
Ia mengungkapkan hal itu juga disampaikan saat DPN APTRI bertemu dengan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arif prasetyo Adi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pertemuan di kantor Bapanas dihadiri Kepala Bapanas Arif Prasetyo Adi, Deputi Bapanas I Ketut, Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen dan Sekjen APTRI M. Nur Khabsyin, Direktur Eksekutif AGI (Asosiasi Gula Indonesia) Budi Hidayat dan pengurus AGI. Sedangkan pertemuan di kantor Kemenko Perekonomian dihadiri Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, Deputi Menko Bidang Pangan dan Pertanian Musdalifah, Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen, staf ahli Menko Yusuf Hamka.
Karena sampai saat ini belum ada keputusan mengenai HPP, kata dia, dampaknya pedagang masih membeli gula tani jauh di bawah usulan HPP yang diajukan APTRI.
Soemitro menambahkan DPN APTRI mengusulkan agar pemerintah menetapkan HPP gula sekurang-kurangnya Rp13.500 per kilogram. Usulan tersebut dengan kalkulasi tingginya biaya pokok produksi (BPP) yang ditanggung petani.
Tingginya BPP tersebut beberapa di antaranya akibat pemakaian pupuk non subsidi yang menyumbang 15 persen biaya produksi, upah tenaga kerja, dan transportasi.
"Usulan kami sebelumnya HPP Rp15.000 per kilogram karena pertimbangan biaya pokok produksi saat ini sudah mencapai Rp13.600/kg. Namun berdasarkan hasil pertemuan tersebut, kami mendesak agar HPP bisa ditetapkan sekurang-kurangnya Rp13.500/kg," tandasnya.
Sementara itu, Sekjen DPN APTRI M. Nur Khabsyin menyebut dalam pertemuan tersebut, Kepala Bapanas maupun Menko Perekonomian memberikan respons yang cukup baik. Kedua pihak memberikan harapan dalam minggu depan sudah akan dilaksanakan rapat koordinasi terbatas (Rakortas) sehingga keputusan mengenai kenaikan HPP sudah bisa ditetapkan.
Khabsyin menambahkan, dalam pertemuan tersebut pihaknya juga menyampaikan keluhan lain terkait pencabutan subsidi pupuk yang berakibat petani kesulitan.
"Petani terpaksa memakai pupuk non subsidi karena kesulitan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Ini berakibat biaya produksi membengkak," ujarnya.
Selain itu, APTRI juga mendesak ada revisi Permenko Perekonomian nomor 1/2023 tentang kredit usaha rakyat (KUR). Dalam regulasi tersebut, ada ketentuan yang menyulitkan petani di antaranya petani yang lunas KUR tidak boleh mengajukan kredit lagi.
"Ini juga cukup menyulitkan petani karena petani pasti akan membutuhkan dana lagi untuk memulai tanam. Masa pinjaman hanya sekali," ujarnya.
Permasalahan lainnya, yakni ada praktik penjualan gula sistem forward sale atau sistem ijon yang dilakukan oleh PTPN III. Dalam sistem tersebut, PTPN III menjual gula dengan harga di bawah harga pasar.
"Semisal PTPN III melakukan transaksi di bulan Mei, tetapi pengiriman barangnya di bulan Juni dengan harga di bawah harga pasar. Ini merupakan bentuk praktik pemburu rente dan merugikan petani. Akibat sistem ijon tersebut saat ini gula tani hanya laku Rp12.000 per kg, padahal bulan Mei laku Rp12.440/kg," ujarnya.