Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengkritik gugatan yang diajukan salah seorang advokat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan kewenangan jaksa melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
"Saya melihat gugatan tersebut sebagai perlawanan koruptor. Gugatan tersebut tidak mendasar," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengakui dalam pidana di Indonesia mengenal adanya asas diferensiasi fungsional atau pemisahan antara penyidik dan penuntut umum, sehingga hal itu tidak masalah dalam penanganan pidana umum.
"Dalam hal ini kewenangan untuk melakukan penyidikan ada pada polisi, sedangkan kewenangan penuntutan atau penuntut umum ada pada jaksa," ujarnya.
Akan tetapi, kata dia, dalam konteks pidana khusus terutama kasus korupsi diberlakukan berbeda karena dalam penanganannya harus berpikir tepat.
"Dari jaksa sebagai penyidik juga sebagai penuntut umum ini sebagai implementasi agar tepat, sehingga suatu koordinasi itu sudah berlangsung di dalamnya. Ini hasil riset saya seperti itu," ujar Prof Hibnu.
Dengan demikian, jika dipisahkan jaksa sebagai penyidik kemudian penuntut umum dilimpahkan, kata dia, hal itu kembali pada sistem peradilan zaman dahulu yang tidak mempunyai nilai tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.
Oleh karena itu, kata Prof Hibnu, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi merupakan terobosan yang luar biasa.
"Perkembangan sekarang ini, namanya jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum itu mempunyai suatu hasil yang luar biasa. Terbukti bisa mengangkat reputasi jaksa hingga mempunyai nilai elektabilitas yang mencapai 80 persen," ujarnya.
Artinya, kata dia, penyidikan yang dilakukan Kejaksaan terhadap kasus-kasus besar dan mempunyai nilai strategis itu sangat prima.
Oleh karena itu, Prof Hibnu sangat menyayangkan adanya gugatan yang diajukan oleh salah seorang advokat ke MK terkait dengan kewenangan jaksa menyidik kasus korupsi.
"Kayaknya gugatan ini bermuatan politis. Bermuatan tentang penentangan oleh koruptor untuk mengembalikan jaksa sebagai penuntut umum, bukan lagi penyidik," ujarnya.
Dia mengatakan dalam penanganan tindak pidana korupsi, penyidikan itu tidak menjadi tunggal, namun menjadi multi, sehingga, yang terpenting saat sekarang di dalam berbagai penyidik tersebut adalah integralitas.
"Konsep integralitas jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum adalah suatu terobosan luar biasa dan itu diikuti oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai penyidik juga sebagai penuntut umum. Asas tepat penanganan suatu perkara itu suatu yang luar biasa," ujar Prof Hibnu.
Menurut dia, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum justru harus didukung karena hasilnya luar biasa dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
"Kalau kita lihat jaksa mampu menangani kasus korupsi yang luar biasa, bahkan melebihi KPK. Hal itu karena Kejaksaan mempunyai kewenangan dari tingkat pusat sampai daerah," kata Prof Hibnu.
Seorang advokat Yasin Djamaludin mengajukan gugatan ke MK guna meminta kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia agar dihapus.
Dalam hal ini, dia menilai Pasal 30 Ayat (1) huruf d pada UU Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dia juga memohon kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 39, Pasal 44 ayat 4, dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dihapus karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Saya melihat gugatan tersebut sebagai perlawanan koruptor. Gugatan tersebut tidak mendasar," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengakui dalam pidana di Indonesia mengenal adanya asas diferensiasi fungsional atau pemisahan antara penyidik dan penuntut umum, sehingga hal itu tidak masalah dalam penanganan pidana umum.
"Dalam hal ini kewenangan untuk melakukan penyidikan ada pada polisi, sedangkan kewenangan penuntutan atau penuntut umum ada pada jaksa," ujarnya.
Akan tetapi, kata dia, dalam konteks pidana khusus terutama kasus korupsi diberlakukan berbeda karena dalam penanganannya harus berpikir tepat.
"Dari jaksa sebagai penyidik juga sebagai penuntut umum ini sebagai implementasi agar tepat, sehingga suatu koordinasi itu sudah berlangsung di dalamnya. Ini hasil riset saya seperti itu," ujar Prof Hibnu.
Dengan demikian, jika dipisahkan jaksa sebagai penyidik kemudian penuntut umum dilimpahkan, kata dia, hal itu kembali pada sistem peradilan zaman dahulu yang tidak mempunyai nilai tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.
Oleh karena itu, kata Prof Hibnu, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi merupakan terobosan yang luar biasa.
"Perkembangan sekarang ini, namanya jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum itu mempunyai suatu hasil yang luar biasa. Terbukti bisa mengangkat reputasi jaksa hingga mempunyai nilai elektabilitas yang mencapai 80 persen," ujarnya.
Artinya, kata dia, penyidikan yang dilakukan Kejaksaan terhadap kasus-kasus besar dan mempunyai nilai strategis itu sangat prima.
Oleh karena itu, Prof Hibnu sangat menyayangkan adanya gugatan yang diajukan oleh salah seorang advokat ke MK terkait dengan kewenangan jaksa menyidik kasus korupsi.
"Kayaknya gugatan ini bermuatan politis. Bermuatan tentang penentangan oleh koruptor untuk mengembalikan jaksa sebagai penuntut umum, bukan lagi penyidik," ujarnya.
Dia mengatakan dalam penanganan tindak pidana korupsi, penyidikan itu tidak menjadi tunggal, namun menjadi multi, sehingga, yang terpenting saat sekarang di dalam berbagai penyidik tersebut adalah integralitas.
"Konsep integralitas jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum adalah suatu terobosan luar biasa dan itu diikuti oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai penyidik juga sebagai penuntut umum. Asas tepat penanganan suatu perkara itu suatu yang luar biasa," ujar Prof Hibnu.
Menurut dia, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum justru harus didukung karena hasilnya luar biasa dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
"Kalau kita lihat jaksa mampu menangani kasus korupsi yang luar biasa, bahkan melebihi KPK. Hal itu karena Kejaksaan mempunyai kewenangan dari tingkat pusat sampai daerah," kata Prof Hibnu.
Seorang advokat Yasin Djamaludin mengajukan gugatan ke MK guna meminta kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia agar dihapus.
Dalam hal ini, dia menilai Pasal 30 Ayat (1) huruf d pada UU Kejaksaan RI bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dia juga memohon kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 39, Pasal 44 ayat 4, dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dihapus karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.