Semarang (ANTARA) - Praktisi hukum AP Simorangkir menyatakan bahwa perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks, beragam, kompetitif, dan terintegrasi memerlukan dukungan efektivitas penegakan hukum.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 30 Januari 2023, memperkuat OJK dalam pengawasan dan penegakan hukum yang efektif melalui 15 kewenangan selaku penyidik tindak pidana sektor jasa keuangan.
AP Simorangkir yang dihubungi di Semarang, Selasa, berharap besar pada OJK bisa segera menuntaskan masalah yang terjadi di industri asuransi karena usaha di sektor jasa keuangan merupakan bisnis kepercayaan sehingga perlindungan terhadap privasi dan data nasabah sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan rakyat.
“Masyarakat seharusnya tidak perlu khawatir sebab dilindungi undang-undang,” katanya.
Menanggapi maraknya permasalahan penjualan asuransi melalui bank, Simorangkir menyebut yang jadi persoalan di lapangan adalah bagaimana bank menyikapi penjualan bancassurance.
“Jika sebagai produk pelengkap tentu tidak akan ada masalah, tapi jika menjadi target keharusan apalagi dengan maksud mengejar komisi bahkan penghargaan jika berhasil menjual, ini menjadi perhatian bersama,” ujarnya.
Menurut dia, perusahaan asuransi, bank, dan nasabah, semestinya saling menyampaikan informasi jelas dan benar sehingga tercipta penjualan yang sehat dan bermanfaat.
Ketika menawarkan asuransi, baik pemasar asuransi, karyawan bank, maupun nasabah harus memiliki alat bukti, salah satu caranya dengan merekam.
Saat ada masalah, rekaman tersebut bisa digunakan untuk penyelesaian.
Oleh karena itu, Simorangkir mengusulkan OJK maupun lembaga asosiasi terkait, membuat daftar hitam untuk tenaga pemasar asuransi dan karyawan bank yang melanggar aturan.
Selain itu, perlu juga dibentuk lembaga pemantau sebagai mitra membantu tugas OJK karena saat ini hampir semua bank menjual asuransi dan masyarakat diajak berpartisipasi aktif mengawasi penjualan asuransi yang sehat serta bermanfaat.
“Tidak terlalu sulit mengawasi proses penjualan bancassurance karena di setiap tahapan penjualan telah diatur melalui Undang-Undang dan Peraturan OJK. Dasar hukum dan sanksinya jelas bagi yang melanggar,” katanya.
Dikatakan, saat awal bertemu pegawai bank apakah membuka data nasabah, sudah sesuai aturan dan dilakukan profiling.
Tenaga pemasar asuransi harus melakukan proses under writing yakni mengetahui kondisi nasabah secara langsung.
“Dalam penjualan bancassurance, pihak asuransi harus bertemu nasabah. Tidak boleh hanya diwakilkan karyawan bank saja,” ujarnya.
Saat presentasi penjualan, lanjut dia, apakah karyawan bank mengedukasi bancassurance bukanlah produk bank, dan tidak menjadi persyaratan dalam mendapatkan produk bank.
“Jangan sampai ada pengajuan kredit seolah-olah diwajibkan membeli asuransi, apalagi dengan menyiasati biaya provisi. Ini tidak boleh terjadi,” ujar dia.
Tenaga pemasar bancassurance, kata dia, mestinya memastikan produk sesuai dengan risk profile nasabah, dan memberikan penjelasan dengan benar, tepat, lengkap, dan tidak menyesatkan.
“Tidak semata-mata diarahkan ke produk yang komisinya besar. Harus dipastikan sesuai dengan data kesehatan dan keuangan nasabah,” katanya.
Proses after sales service memastikan polis nasabah sudah diterima dengan tepat waktu, mengingat ada masa freelook (periode bebas membatalkan polis), serta memastikan kembali nasabah telah memahami produk asuransi yang dibelinya melalui welcoming call.
“Jangan sampai ada yang dipalsukan, mentang-mentang nasabah sudah beli. Proses klaim maupun 'complain' harus dipastikan berjalan baik. Dalam penjualan asuransi, pelayanan akan terus ada sampai nasabah nantinya mengajukan klaim,” ujarnya.
Simorangkir mengapresiasi langkah pemerintah yang membangun industri asuransi tentang lahirnya UU Nomor 40 tahun 2014 dan UU No. 4 tahun 2023.
Salah satu yang diatur adalah pengenaan sanksi terhadap tenaga pemasar dan pihak terkait dalam memasarkan produk asuransi.
“Apabila dengan sengaja memberikan informasi tidak benar dan menyesatkan kepada nasabah, bisa diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp5 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 82 terhadap Korporasi pidana denda Rp600 miliar. Saya optimis dan percaya jika presiden sudah turun tangan pasti akan ditangani tuntas,” tegasnya.