Solo (ANTARA) - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga saat ini masih melestarikan tradisi nyadran atau ziarah ke makam leluhur jelang Ramadan.
Seperti yang dilakukan dengan ziarah ke makam Ki Ageng Henis di Kampung Laweyan, Solo, Senin. Pada kegiatan tersebut, sejumlah putri dari Paku Buwana XII terlihat ikut berziarah dan langsung berdoa di pusara makam.
Selain itu, puluhan abdi dalem juga terlihat ikut berziarah dengan membawa bermacam-macam bunga tabur. Sesuai adat, para abdi dalem maupun kerabat keraton mengenakan busana adat Jawa.
Menurut Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat KGPH Dipokusumo tradisi sadranan merupakan bagian dari kegiatan tradisi keraton yang telah berlangsung turun-temurun.
"Nyadran menjadi tradisi terutama sejak dinasti Mataram. Dalam proses perjalanan itu ada beberapa makam yang ditengarai jadi suatu pertanda bahwa itu makam yang menurunkan raja-raja," katanya.
Ia mengatakan raja-raja tersebut baik raja yang ada di Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, Ki Ageng Henis merupakan ayah dari Danang Sutwijaya yang disebut dengan Panembahan Senopati.
"Urutannya ke Makam Ki Ageng Selo di Purwodadi terlebih dulu, kemudian Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Pemanahan. Baru ke Imogiri," katanya.
Meski demikian, pada kegiatan tersebut tidak terlihat Raja PB XIII maupun permaisuri. Menurut Gusti Dipo, kedatangan raja maupun permaisuri bukan merupakan suatu keharusan.
"Jadi kalau sadranan itu yang jadi tolok ukur adalah utusan dalem karena utusan dalem itu sebagai pertanda pembuka bagi siapa saja yang datang ke makam tersebut untuk memulai nyekar atau nyadran," katanya.
Seperti yang dilakukan dengan ziarah ke makam Ki Ageng Henis di Kampung Laweyan, Solo, Senin. Pada kegiatan tersebut, sejumlah putri dari Paku Buwana XII terlihat ikut berziarah dan langsung berdoa di pusara makam.
Selain itu, puluhan abdi dalem juga terlihat ikut berziarah dengan membawa bermacam-macam bunga tabur. Sesuai adat, para abdi dalem maupun kerabat keraton mengenakan busana adat Jawa.
Menurut Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat KGPH Dipokusumo tradisi sadranan merupakan bagian dari kegiatan tradisi keraton yang telah berlangsung turun-temurun.
"Nyadran menjadi tradisi terutama sejak dinasti Mataram. Dalam proses perjalanan itu ada beberapa makam yang ditengarai jadi suatu pertanda bahwa itu makam yang menurunkan raja-raja," katanya.
Ia mengatakan raja-raja tersebut baik raja yang ada di Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, Ki Ageng Henis merupakan ayah dari Danang Sutwijaya yang disebut dengan Panembahan Senopati.
"Urutannya ke Makam Ki Ageng Selo di Purwodadi terlebih dulu, kemudian Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Pemanahan. Baru ke Imogiri," katanya.
Meski demikian, pada kegiatan tersebut tidak terlihat Raja PB XIII maupun permaisuri. Menurut Gusti Dipo, kedatangan raja maupun permaisuri bukan merupakan suatu keharusan.
"Jadi kalau sadranan itu yang jadi tolok ukur adalah utusan dalem karena utusan dalem itu sebagai pertanda pembuka bagi siapa saja yang datang ke makam tersebut untuk memulai nyekar atau nyadran," katanya.