Semarang (ANTARA) - Pegiat pemilu Titi Anggraini memandang penting partai politik peserta pemilihan umum menempatkan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 50 persen total daerah pemilihan (dapil) DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Misalnya, pada Pemilu Anggota DPR RI, jumlah dapil di Indonesia setelah pemekaran di wilayah Papua, bertambah dari 80 menjadi 84 dapil. Begitu pula jumlah kursi DPR bertambah dari 575 menjadi 580 kursi.
"Berarti, kalau ingin lebih banyak perempuan terpilih di parlemen, partai politik harus menempatkan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1 daftar calon anggota DPR RI sedikitnya di 42 dapil," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Senin.
Titi yang juga anggota Dewan Pembina Perludem lantas menyebut hasil Pemilu 2019 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen perempuan yang terpilih di parlemen adalah mereka yang berada nomor urut 1.
Kalau partai politik sungguh-sungguh mendukung keterwakilan perempuan, apalagi jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki, menurut dia, parpol mestinya jangan ragu untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 50 persen total dapil.
Di lain pihak, dia mengemukakan bahwa sistem reserved seats atau blocked seats bisa menjamin keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dari total anggota legislatif, baik di DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
"Jaminan pasti terpilih paling sedikit 30 persen perempuan di parlemen baru bisa dilakukan kalau kebijakan afirmasi yang diberlakukan adalah sistem reserved seats atau blocked seats bagi keterpilihan minimal perempuan di parlemen," katanya.
Titi yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa skema reserved seats dalam sistem proporsional tertutup sekalipun harus berkorelasi pula dengan metode pencalonan, penempatan dalam nomor urut, dan distribusi kursi pada calon menduduki kursi.
Ia menjelaskan bahwa reserved seats merupakan persentase tertentu dari kursi di parlemen, badan pemerintah, lembaga pendidikan, atau organisasi publik lainnya disediakan khusus untuk perempuan.
Pemberlakuan sistem ini, kata dia, untuk mengatasi marginalisasi historis perempuan dan untuk mempromosikan kesetaraan gender dengan memastikan bahwa perempuan memiliki keterwakilan dan kesempatan yang sama pada bidang-bidang tersebut.
Menurut dia, persentase kursi yang direservasi untuk perempuan dapat bervariasi tergantung pada negara dan organisasi tertentu. Dalam beberapa kasus, persentase tetap kursi disediakan khusus untuk perempuan, sementara dalam kasus lain, sejumlah kursi dialokasikan untuk perempuan calon berdasarkan kinerja mereka dalam pemilihan atau proses seleksi lainnya.
Ia mengemukakan bahwa kursi yang direservasi pada kuota perempuan masih merupakan hal kontroversial. Masalahnya, beberapa pihak berpendapat bahwa hal itu mempromosikan diskriminasi positif dan bertentangan dengan prinsip meritokrasi.
Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa hal itu perlu untuk mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi kelemahan dan hambatan historis yang dihadapi perempuan.
"Implikasi teknisnya tidak sederhana. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi akan banyak keterbatasan dalam berhadapan dengan dampak aspek teknis dan manajemen kepemiluannya," kata Titi.
Baca juga: Analis: Proporsional tertutup belum jamin kuota perempuan terpenuhi
Misalnya, pada Pemilu Anggota DPR RI, jumlah dapil di Indonesia setelah pemekaran di wilayah Papua, bertambah dari 80 menjadi 84 dapil. Begitu pula jumlah kursi DPR bertambah dari 575 menjadi 580 kursi.
"Berarti, kalau ingin lebih banyak perempuan terpilih di parlemen, partai politik harus menempatkan lebih banyak perempuan pada nomor urut 1 daftar calon anggota DPR RI sedikitnya di 42 dapil," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Senin.
Titi yang juga anggota Dewan Pembina Perludem lantas menyebut hasil Pemilu 2019 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen perempuan yang terpilih di parlemen adalah mereka yang berada nomor urut 1.
Kalau partai politik sungguh-sungguh mendukung keterwakilan perempuan, apalagi jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki, menurut dia, parpol mestinya jangan ragu untuk menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 50 persen total dapil.
Di lain pihak, dia mengemukakan bahwa sistem reserved seats atau blocked seats bisa menjamin keterwakilan perempuan sedikitnya 30 persen dari total anggota legislatif, baik di DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
"Jaminan pasti terpilih paling sedikit 30 persen perempuan di parlemen baru bisa dilakukan kalau kebijakan afirmasi yang diberlakukan adalah sistem reserved seats atau blocked seats bagi keterpilihan minimal perempuan di parlemen," katanya.
Titi yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa skema reserved seats dalam sistem proporsional tertutup sekalipun harus berkorelasi pula dengan metode pencalonan, penempatan dalam nomor urut, dan distribusi kursi pada calon menduduki kursi.
Ia menjelaskan bahwa reserved seats merupakan persentase tertentu dari kursi di parlemen, badan pemerintah, lembaga pendidikan, atau organisasi publik lainnya disediakan khusus untuk perempuan.
Pemberlakuan sistem ini, kata dia, untuk mengatasi marginalisasi historis perempuan dan untuk mempromosikan kesetaraan gender dengan memastikan bahwa perempuan memiliki keterwakilan dan kesempatan yang sama pada bidang-bidang tersebut.
Menurut dia, persentase kursi yang direservasi untuk perempuan dapat bervariasi tergantung pada negara dan organisasi tertentu. Dalam beberapa kasus, persentase tetap kursi disediakan khusus untuk perempuan, sementara dalam kasus lain, sejumlah kursi dialokasikan untuk perempuan calon berdasarkan kinerja mereka dalam pemilihan atau proses seleksi lainnya.
Ia mengemukakan bahwa kursi yang direservasi pada kuota perempuan masih merupakan hal kontroversial. Masalahnya, beberapa pihak berpendapat bahwa hal itu mempromosikan diskriminasi positif dan bertentangan dengan prinsip meritokrasi.
Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa hal itu perlu untuk mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi kelemahan dan hambatan historis yang dihadapi perempuan.
"Implikasi teknisnya tidak sederhana. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi akan banyak keterbatasan dalam berhadapan dengan dampak aspek teknis dan manajemen kepemiluannya," kata Titi.
Baca juga: Analis: Proporsional tertutup belum jamin kuota perempuan terpenuhi