Magelang (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Abdul Kadir Karding meminta penegakan hukum penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus kuat agar penyaluran bisa tepat sasaran.
"Penegakan hukum bagi orang-orang yang main di solar, misalnya solar bersubsidi digunakan untuk industri maka penegakan hukumnya harus kuat," katanya usai Sosialisasi BPH Migas di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan kalau penegakan hukum tidak kuat, maka bakal repot karena subsidi akan terus membengkak.
Karding menyampaikan subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah tahun 2022 sangat tinggi sekitar Rp502 triliun.
Menurut dia, subsidi yang besar itu, antara lain karena tidak tepat sasaran, bahkan banyak orang yang memprediksi ketidaktepatan subsidi di atas 50 persen.
"Sangat ngeri dalam konteks ini karena beban negara terlalu besar. Oleh karena itu harus dibuat sistem, terutama subsidi energi bagaimana bisa sampai kepada yang betul-betul berhak menerima atau tepat sasaran. Itu saja sebenarnya kuncinya," kata dia.
Menurut dia, perlu ada kebijakan baru, misalnya semua mobil harus menggunakan pertamax dan tidak ada yang menggunakan pertalite.
"Menurut saya, orang yang bisa membeli mobil itu artinya orang mampu karena mampu maka harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax) dan yang tidak mampu tetap pertalite. Begitu saja lebih gampang," katanya.
Dengan demikian, katanya, tidak ada lagi penggunaan pertalite untuk mobil, kecuali mobil angkutan atau transportasi umum, sedangkan mobil lain tidak boleh.
"Begitu saja daripada ribet karena beban negara terlalu tinggi untuk subsidi BBM, kasihan," katanya.
Menurut dia, pembengkakan subsidi BBM disebabkan pula oleh harga minyak mentah di luar negeri naik dampak perang Ukraina-Rusia karena Indonesia masih impor BBM .
Ia menyebutkan kalau sebelumnya harga minyak mentah 60 dolar AS per barel, kemudian naik menjadi 90 hingga 100 dolar AS per barel gara-gara perang Ukraina-Rusia.
Karding mengimbau masyarakat yang mampu untuk membeli BBM nonsubsidi. "Jangan pura-pura menjadi warga miskin, terus membeli bensin atau gas subsidi," katanya.
"Penegakan hukum bagi orang-orang yang main di solar, misalnya solar bersubsidi digunakan untuk industri maka penegakan hukumnya harus kuat," katanya usai Sosialisasi BPH Migas di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan kalau penegakan hukum tidak kuat, maka bakal repot karena subsidi akan terus membengkak.
Karding menyampaikan subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah tahun 2022 sangat tinggi sekitar Rp502 triliun.
Menurut dia, subsidi yang besar itu, antara lain karena tidak tepat sasaran, bahkan banyak orang yang memprediksi ketidaktepatan subsidi di atas 50 persen.
"Sangat ngeri dalam konteks ini karena beban negara terlalu besar. Oleh karena itu harus dibuat sistem, terutama subsidi energi bagaimana bisa sampai kepada yang betul-betul berhak menerima atau tepat sasaran. Itu saja sebenarnya kuncinya," kata dia.
Menurut dia, perlu ada kebijakan baru, misalnya semua mobil harus menggunakan pertamax dan tidak ada yang menggunakan pertalite.
"Menurut saya, orang yang bisa membeli mobil itu artinya orang mampu karena mampu maka harus menggunakan BBM nonsubsidi (pertamax) dan yang tidak mampu tetap pertalite. Begitu saja lebih gampang," katanya.
Dengan demikian, katanya, tidak ada lagi penggunaan pertalite untuk mobil, kecuali mobil angkutan atau transportasi umum, sedangkan mobil lain tidak boleh.
"Begitu saja daripada ribet karena beban negara terlalu tinggi untuk subsidi BBM, kasihan," katanya.
Menurut dia, pembengkakan subsidi BBM disebabkan pula oleh harga minyak mentah di luar negeri naik dampak perang Ukraina-Rusia karena Indonesia masih impor BBM .
Ia menyebutkan kalau sebelumnya harga minyak mentah 60 dolar AS per barel, kemudian naik menjadi 90 hingga 100 dolar AS per barel gara-gara perang Ukraina-Rusia.
Karding mengimbau masyarakat yang mampu untuk membeli BBM nonsubsidi. "Jangan pura-pura menjadi warga miskin, terus membeli bensin atau gas subsidi," katanya.