Solo (ANTARA) - Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dinar Sari C Wahyuni menyebutkan perlu adanya edukasi terkait penggunaan obat tradisional agar masyarakat maupun pelaku usaha memiliki bekal yang baik terkait pengobatan berbahan alam tersebut.
"Farmasi mencermati pemanfaatan obat tradisional, utamanya seiring dengan minat masyarakat yang cukup tinggi. Yang harus diperhatikan dari sisi keamanan, itu isu yang sering disosialisasikan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," kata Kepala Program Studi Profesi Apoteker UNS Surakarta tersebut di Solo, Sabtu.
Ia mengatakan keamanan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh masyarakat mengingat saat ini masih ada sebagian masyarakat yang berpikir bahwa penyakit apapun akan hilang seketika dengan minum jamu tertentu.
"Padahal itu sangat bertentangan dengan filosofi obat tradisional, (pengobatan tradisional) bukan kuratif tapi preventif, jadi bagian dari gaya hidup. Bukan kayak Paracetamol, minum 30 menit langsung hilang sakit kepalanya," katanya.
Ia mengatakan salah satu indikasinya jika penyakit hilang dalam hitungan menit usai mengkonsumsi jamu tradisional justru harus diwaspadai karena artinya jamu tersebut mengandung bahan kimia obat.
"Ini yang digaungkan oleh BPOM. Pemanfaatan obat tradisional digaungkan sebagai pola hidup, (harus dikonsumsi) setiap hari, pemakaian lama baru bisa dirasakan oleh tubuh," katanya.
Ia mengatakan hingga saat ini yang masih menjadi kendala bagi produsen jamu adalah kemampuan mereka untuk mempekerjakan apoteker sebagai penanggung jawab dari produk yang dihasilkan. Padahal idealnya setiap produk harus disertai dengan apoteker penanggung jawab.
"Obat tradisional nggak ada apotekernya, memang ada UMKM yang belum mampu mempekerjakan beberapa apoteker penanggung jawab. Idealnya sesuai Peraturan BPOM untuk industri obat tradisional pasti ada apoteker penanggung jawab," katanya.
Meski demikian, untuk usaha kecil dan usaha mikro tidak harus apoteker melainkan bisa mempekerjakan asisten apoteker. Aturan tersebut mengikuti dari Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, saat ini pihaknya juga aktif melakukan pendampingan terhadap pelaku usaha obat tradisional, khususnya yang belum mampu mempekerjakan apoteker penanggung jawab.
Pihaknya bersama Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) aktif melakukan pendampingan salah satunya untuk memastikan obat tradisional yang diproduksi oleh pelaku UMKM tidak mengandung bahan kimia obat.
"Karena obat tradisional ini kan pasarnya potensial, sehingga pelaku usaha perlu diberi sosialisasi terus-menerus," katanya.*
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi UNS: Perlu edukasi terkait penggunaan obat tradisional
"Farmasi mencermati pemanfaatan obat tradisional, utamanya seiring dengan minat masyarakat yang cukup tinggi. Yang harus diperhatikan dari sisi keamanan, itu isu yang sering disosialisasikan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," kata Kepala Program Studi Profesi Apoteker UNS Surakarta tersebut di Solo, Sabtu.
Ia mengatakan keamanan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh masyarakat mengingat saat ini masih ada sebagian masyarakat yang berpikir bahwa penyakit apapun akan hilang seketika dengan minum jamu tertentu.
"Padahal itu sangat bertentangan dengan filosofi obat tradisional, (pengobatan tradisional) bukan kuratif tapi preventif, jadi bagian dari gaya hidup. Bukan kayak Paracetamol, minum 30 menit langsung hilang sakit kepalanya," katanya.
Ia mengatakan salah satu indikasinya jika penyakit hilang dalam hitungan menit usai mengkonsumsi jamu tradisional justru harus diwaspadai karena artinya jamu tersebut mengandung bahan kimia obat.
"Ini yang digaungkan oleh BPOM. Pemanfaatan obat tradisional digaungkan sebagai pola hidup, (harus dikonsumsi) setiap hari, pemakaian lama baru bisa dirasakan oleh tubuh," katanya.
Ia mengatakan hingga saat ini yang masih menjadi kendala bagi produsen jamu adalah kemampuan mereka untuk mempekerjakan apoteker sebagai penanggung jawab dari produk yang dihasilkan. Padahal idealnya setiap produk harus disertai dengan apoteker penanggung jawab.
"Obat tradisional nggak ada apotekernya, memang ada UMKM yang belum mampu mempekerjakan beberapa apoteker penanggung jawab. Idealnya sesuai Peraturan BPOM untuk industri obat tradisional pasti ada apoteker penanggung jawab," katanya.
Meski demikian, untuk usaha kecil dan usaha mikro tidak harus apoteker melainkan bisa mempekerjakan asisten apoteker. Aturan tersebut mengikuti dari Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, saat ini pihaknya juga aktif melakukan pendampingan terhadap pelaku usaha obat tradisional, khususnya yang belum mampu mempekerjakan apoteker penanggung jawab.
Pihaknya bersama Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) aktif melakukan pendampingan salah satunya untuk memastikan obat tradisional yang diproduksi oleh pelaku UMKM tidak mengandung bahan kimia obat.
"Karena obat tradisional ini kan pasarnya potensial, sehingga pelaku usaha perlu diberi sosialisasi terus-menerus," katanya.*
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi UNS: Perlu edukasi terkait penggunaan obat tradisional