Semarang (ANTARA) - Ketua Ombudsman Jawa Tengah Siti Farida menilai perlunya pengawasan dalam penerapan pemberian BBM bersubsidi agar tidak terjadi penyimpangan, karena rawan terjadi spekulasi dan tidak tepat sasaran.
Siti Farida dalam keterangan di Semarang, Kamis, menjelaskan selama ini belum semua instansi mau menerima dan terbuka menerima pengawasan dari Ombudsman dan rekomendasinya.
"Pihak yang mendapatkan mandat nantinya untuk memberikan subsidi harus terbuka dalam pengawasan dan menerima masukan termasuk dari Ombudsman," jelasnya.
Ia menuturkan, baik subsidi dengan mekanisme melalui barang maupun orang, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika subsidi diberikan kepada barang seperti saat ini, kata dia, maka tidak terlalu prosedural, namun rawan terjadi spekulasi dan tidak tepat sasaran, sedangkan jika subsidi diberikan ke orang, maka ada verifikasi dan indikator-indikator.
Untuk itu, Siti Farida meminta masyarakat juga terlibat aktif dalam melakukan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi di lapangan, mengingat keterbatasan Ombudsman dalam melihat langsung implementasi sebuah kebijakan.
"Karena jangkauan kami cukup luas, kami bisa menindaklanjuti dengan koordinasi dan kalau itu laporan maka dengan pemeriksaan," katanya.
Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof F.X. Sugiyanto menilai dengan penerapan subsidi BBM seperti saat ini, maka subsidi dalam APBN akan terus membengkak, apalagi penyaluran subsidi sejauh ini tidak ada pengaturan yang jelas.
"Pemerintah harus tegas dan segera menerapkan pengaturan pembatasan BBM subsidi agar lebih tepat sasaran. Kalau pendekatannya sekadar ajakan atau imbauan tidak akan mempan, karena tetap saja masyarakat akan memilih barang yang lebih murah," katanya.
Jika pembatasan BBM subsidi tidak segera dilakukan, lanjutnya, beban APBN akan semakin berat. Padahal, sejauh ini anggaran untuk subsidi BBM telah mencapai Rp500 triliun lebih atau sekitar 18 persen dari total APBN.
"Subsidi BBM di APBN ini sudah sangat berat, bisa jadi nanti batasan defisit empat persen akan terlampaui," ujarnya.
Ia menambahkan pemerintah bisa mengambil langkah dengan menaikkan harga BBM untuk meringankan beban APBN meskipun akan berpengaruh pada kenaikan inflasi, tapi bisa menjaga APBN tidak jebol.
"Kalau mau mengamankan APBN supaya tidak jebol, ya harus menaikkan harga BBM," tegasnya.
Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah Muhammad Ngainirrichadl mengaku setuju jika pemberian subsidi harus diberikan kepada orang yang berhak.
Namun demikian, sebelumnya harus dilakukan perbaikan data serta pengawasan dan evaluasi, agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemberian subsidi.
"Selama ini kan sering terjadi, dari data yang ada, orang yang berhak dapat subsidi malah tidak dapat. Tapi sebaliknya, yang tidak berhak malah dapat bantuan. Untuk itu, perlu ada pengawasan dan evaluasi," kata dia.
Ia setuju dengan pembatasan pembelian Pertalite bagi mobil mewah, sebagai langkah untuk menekan subsidi yang tidak tepat sasaran.
Namun begitu, pihaknya mengingatkan pentingnya aturan teknis yang jelas di lapangan agar tidak menimbulkan persoalan baru di SPBU.
"Yang paling tepat menurut saya pembatasan dengan menggunakan kapasitas mesin kendaraan. Misalnya, kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 2.500 atau 3.000, sehingga petugas SPBU akan lebih mudah membedakan," katanya.
Siti Farida dalam keterangan di Semarang, Kamis, menjelaskan selama ini belum semua instansi mau menerima dan terbuka menerima pengawasan dari Ombudsman dan rekomendasinya.
"Pihak yang mendapatkan mandat nantinya untuk memberikan subsidi harus terbuka dalam pengawasan dan menerima masukan termasuk dari Ombudsman," jelasnya.
Ia menuturkan, baik subsidi dengan mekanisme melalui barang maupun orang, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika subsidi diberikan kepada barang seperti saat ini, kata dia, maka tidak terlalu prosedural, namun rawan terjadi spekulasi dan tidak tepat sasaran, sedangkan jika subsidi diberikan ke orang, maka ada verifikasi dan indikator-indikator.
Untuk itu, Siti Farida meminta masyarakat juga terlibat aktif dalam melakukan pengawasan penyaluran BBM bersubsidi di lapangan, mengingat keterbatasan Ombudsman dalam melihat langsung implementasi sebuah kebijakan.
"Karena jangkauan kami cukup luas, kami bisa menindaklanjuti dengan koordinasi dan kalau itu laporan maka dengan pemeriksaan," katanya.
Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof F.X. Sugiyanto menilai dengan penerapan subsidi BBM seperti saat ini, maka subsidi dalam APBN akan terus membengkak, apalagi penyaluran subsidi sejauh ini tidak ada pengaturan yang jelas.
"Pemerintah harus tegas dan segera menerapkan pengaturan pembatasan BBM subsidi agar lebih tepat sasaran. Kalau pendekatannya sekadar ajakan atau imbauan tidak akan mempan, karena tetap saja masyarakat akan memilih barang yang lebih murah," katanya.
Jika pembatasan BBM subsidi tidak segera dilakukan, lanjutnya, beban APBN akan semakin berat. Padahal, sejauh ini anggaran untuk subsidi BBM telah mencapai Rp500 triliun lebih atau sekitar 18 persen dari total APBN.
"Subsidi BBM di APBN ini sudah sangat berat, bisa jadi nanti batasan defisit empat persen akan terlampaui," ujarnya.
Ia menambahkan pemerintah bisa mengambil langkah dengan menaikkan harga BBM untuk meringankan beban APBN meskipun akan berpengaruh pada kenaikan inflasi, tapi bisa menjaga APBN tidak jebol.
"Kalau mau mengamankan APBN supaya tidak jebol, ya harus menaikkan harga BBM," tegasnya.
Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah Muhammad Ngainirrichadl mengaku setuju jika pemberian subsidi harus diberikan kepada orang yang berhak.
Namun demikian, sebelumnya harus dilakukan perbaikan data serta pengawasan dan evaluasi, agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemberian subsidi.
"Selama ini kan sering terjadi, dari data yang ada, orang yang berhak dapat subsidi malah tidak dapat. Tapi sebaliknya, yang tidak berhak malah dapat bantuan. Untuk itu, perlu ada pengawasan dan evaluasi," kata dia.
Ia setuju dengan pembatasan pembelian Pertalite bagi mobil mewah, sebagai langkah untuk menekan subsidi yang tidak tepat sasaran.
Namun begitu, pihaknya mengingatkan pentingnya aturan teknis yang jelas di lapangan agar tidak menimbulkan persoalan baru di SPBU.
"Yang paling tepat menurut saya pembatasan dengan menggunakan kapasitas mesin kendaraan. Misalnya, kendaraan dengan kapasitas mesin di atas 2.500 atau 3.000, sehingga petugas SPBU akan lebih mudah membedakan," katanya.