Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin menjelaskan alasan Indonesia masih bergantung kedelai impor dibandingkan kedelai lokal karena produksi dalam negeri yang tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional.
"Kebutuhan kedelai kita kira-kira 3 juta ton lebih, sedangkan produksi kedelai lokal dari dulu hampir 2 juta ton, menurun, dan turun terus sampai tahun kemarin 2021 informasi yang saya terima adalah hanya 300 ribu ton produksi kedelai lokal," kata Aip di Jakarta, Selasa.
Dengan kebutuhan tersebut, Indonesia melakukan impor sekitar 2,6 juta ton kedelai per tahun. "Pelan tapi pasti kedelai lokal menurun, kedelai impor meningkat," katanya.
Aip mengemukakan Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahunnya. Jumlah produksi tersebut terus menurun setiap tahunnya. Pada 2015 produksi kedelai dalam negeri 963,18 ribu ton, 2016 turun menjadi 859,65 ribu ton, pada 2017 kembali turun jadi 538,73 ribu ton, pada 2018 sempat naik tipis jadi 650 ribu ton, kemudian kembali turun pada 2019 menjadi 424,19 ribu ton.
Sementara produksi kedelai menurun, impor kedelai juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 impor kedelai mencapai 2,26 juta ton, 2017 sebanyak 2,67 juta ton, 2018 sebesar 2,58 juta ton, 2019 mencapai 2,67 juta ton, dan pada 2020 sebanyak 2,47 juta ton.
Aip menyebut kebutuhan tempe dan tahu mengharuskan adanya stok kedelai setiap hari agar perajin bisa memproduksi tahu dan tempe. Kebutuhan kedelai setiap hari tersebut tidak bisa dipenuhi oleh kedelai produksi dalam negeri.
"Kedelai lokal kadang ada, kadang tidak," katanya.
Dari segi kualitas, kedelai impor sudah memiliki standarisasi mulai dari bentuk, besar, warna yang seragam. Sementara kualitas kedelai lokal tidak terstandarisasi dengan baik.
Hal itu karena proses produksi kedelai impor dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, dan Kanada, telah menggunakan teknologi dan mekanisasi. Sementara proses produksi kedelai lokal masih berbasis pertanian tradisional.
"Kebutuhan kedelai kita kira-kira 3 juta ton lebih, sedangkan produksi kedelai lokal dari dulu hampir 2 juta ton, menurun, dan turun terus sampai tahun kemarin 2021 informasi yang saya terima adalah hanya 300 ribu ton produksi kedelai lokal," kata Aip di Jakarta, Selasa.
Dengan kebutuhan tersebut, Indonesia melakukan impor sekitar 2,6 juta ton kedelai per tahun. "Pelan tapi pasti kedelai lokal menurun, kedelai impor meningkat," katanya.
Aip mengemukakan Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahunnya. Jumlah produksi tersebut terus menurun setiap tahunnya. Pada 2015 produksi kedelai dalam negeri 963,18 ribu ton, 2016 turun menjadi 859,65 ribu ton, pada 2017 kembali turun jadi 538,73 ribu ton, pada 2018 sempat naik tipis jadi 650 ribu ton, kemudian kembali turun pada 2019 menjadi 424,19 ribu ton.
Sementara produksi kedelai menurun, impor kedelai juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 impor kedelai mencapai 2,26 juta ton, 2017 sebanyak 2,67 juta ton, 2018 sebesar 2,58 juta ton, 2019 mencapai 2,67 juta ton, dan pada 2020 sebanyak 2,47 juta ton.
Aip menyebut kebutuhan tempe dan tahu mengharuskan adanya stok kedelai setiap hari agar perajin bisa memproduksi tahu dan tempe. Kebutuhan kedelai setiap hari tersebut tidak bisa dipenuhi oleh kedelai produksi dalam negeri.
"Kedelai lokal kadang ada, kadang tidak," katanya.
Dari segi kualitas, kedelai impor sudah memiliki standarisasi mulai dari bentuk, besar, warna yang seragam. Sementara kualitas kedelai lokal tidak terstandarisasi dengan baik.
Hal itu karena proses produksi kedelai impor dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, dan Kanada, telah menggunakan teknologi dan mekanisasi. Sementara proses produksi kedelai lokal masih berbasis pertanian tradisional.