Semarang (ANTARA) - Penurunan kekerdilan membutuhkan kerja sama multipihak, terlebih di tengah pandemi pertumbuhan anak terhambat disebabkan kurang gizi yang salah satu faktor utamanya akses makanan bergizi, sanitasi, maupun air bersih, karena keluarga berpenghasilan rendah dan kehilangan pendapatan.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menjelaskan secara teoritis, pandemi dinilai berpengaruh terhadap peningkatan angka kekerdilan di Indonesia.

“Tapi kita perlu melihat hasil survei yang terbaru dulu,” ujar Agus dalam Dialog Produktif dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) - KPCPEN, Selasa (30/11).

Untuk menyokong kesejahteraan masyarakat dan memastikan ketersediaan pangan bagi kelompok rentan secara penghasilan, Agus menjelaskan di masa pandemi pemerintah telah menyalurkan bantuan sosial termasuk sembako bagi masyarakat yang membutuhkan. 

Sementara target pemerintah untuk menurunkan angka kekerdilan tidak berubah, yakni terjadi penurunan hingga 14 persen pada 2024, sehingga edukasi kekerdilan diharapkan tidak hanya berfokus pada bayi atau anak, melainkan juga pada kelompok risiko, yaitu remaja anemia, calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, anak yang baru lahir.

Hal itu dikarenakan status gizi calon pengantin juga ibu hamil akan memengaruhi bayi yang akan dilahirkan, agar lebih sehat.  

“Untuk mencapai target 14 persen orientasi edukasi harus ke hulu lagi dan edukasi di bidang gizi sangat dipengaruhi kebudayaan setempat, karenanya edukasi sebaiknya dilakukan oleh warga setempat,” katanya.

Sementara pendampingan dan pendekatan dengan ibu hamil dianjurkan dilakukan orang per orang karena setiap individu memiliki keunikan dan permasalahan masing-masing. 

Terkait dampak pandemi terhadap kekerdilan, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Kartini Rustandi menyoroti kekhawatiran masyarakat untuk mengunjungi puskesmas semasa pandemi.

Meski dalam situasi pandemi, Kartini mengatakan beberapa upaya tetap dapat dilaksanakan guna memastikan anak bertumbuh dengan sehat, di antaranya mempersiapkan dan memantau pertumbuhan serta perkembangan anak dengan baik, melalui posyandu dengan disertai prokes.

“Di daerah-daerah tertentu para kader dan tenaga kesehatan juga datang dari rumah ke rumah. Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi, bisa dilakukan telekonseling, agar nakes tetap aman namun kesehatan anak-anak juga terpantau. Kemudian, ibu hamil juga dapat datang ke puskesmas dengan perjanjian dan mengedepankan prokes," katanya.

Kepada ibu hamil, ia memberikan beberapa saran agar bayi terlahir sehat di antaranya pemeriksaan kesehatan secara berkala, menjaga kesehatan, asupan makanan yang baik, juga menjaga lingkungan agar tetap sehat, termasuk bebas dari asap rokok. 

Ia menjelaskan banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kekerdilan, bukan hanya pada asupan makanan, melainkan juga pola asuh, pola makan, budaya setempat.

Sebagai contoh, pemahaman lokal yang salah seperti makan ikan bisa mengganggu kesehatan, hoaks yang demikian dapat berdampak pada asupan gizi anak atau ibu hamil.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia M. Adib Khumaidi juga menegaskan pentingnya edukasi sebagai bagian dari upaya preventif promotif dalam hal kesehatan, termasuk mencegah tengkes. 

“Problematika utama mengatasi kesehatan adalah dengan upaya preventif promotif, bukan upaya kuratif,” katanya.

Ia menegaskan pentingnya upaya menemukan kasus anak yang kurang gizi, bukan mendapatkan anak kurang gizi yang mendatangi fasyankes, sehingga perlu revitalisasi peran puskesmas dalam upaya tersebut.

"Puskesmas adalah manajer wilayah, perwakilan Kemenkes di satu wilayah. Itu peran yang harus dikedepankan,” kata dia. 

Terkait pentingnya edukasi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Gorontalo Cokro R. Katilie memaparkan pihaknya bekerja sama dengan berbagai pihak, telah menggencarkan edukasi di antaranya dengan Kementerian Agama berupa edukasi melalui pendampingan calon pengantin baru melalui Kantor Urusan Agama. 

Ia menegaskan upaya menanggulangi tengkes memerlukan koordinasi tanpa sekat dengan berbagai pihak, karena kekerdilan bukan hanya permasalahan kesehatan, melainkan juga infrastruktur, sanitasi, kebudayaan, ketahanan pangan, dan berbagai sektor lainnya. 

Berkat kerja sama tersebut, termasuk tim pendamping keluarga dari BKKBN, ia menjelaskan, angka kekerdilan di wilayah itu turun menjadi sekitar sembilan persen dari sebelumnya pernah berada pada angka 37 persen.
 


Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024