Purbalingga (ANTARA) - Pemuda seni Kie Art Purbalingga memperkenalkan tradisi dan budaya Desa Sidareja Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, melalui sebuah pertunjukan budaya yang digelar di Padma Resort Legian, Bali.
"Pertunjukan perdana pemuda seni Kie Art di Bali tersebut dapat terwujud berkat peran serta pemilik sekaligus CEO DUA Lighting Collective, yakni Bapak Robby Permana Manas," kata pegiat Kie Art Gita Yohanna Thomdean di Purbalingga, Minggu.
"Beliau sendiri beberapa waktu lalu datang langsung ke Desa Sidareja dan melihat secara langsung pelestarian budaya yang kami gagas bersama Mas Slamet Sentosa," lanjut Gita.
Hingga akhirnya, kata dia, Robby Permana Manas mengajak para pemuda seni Kie Art untuk memperkenalkan budaya Sidareja dalam acara Gathering DUA Lighting Collective di Padma Resort Legian, Bali, pada tanggal 27 Oktober 2021 yang dihadiri 100 pebisnis dari berbagai wilayah Indonesia.
Baca juga: Kie Art Purbalingga gelar pameran "Kami Masih Mencintaimu Indonesia"
Dalam pertunjukan dengan konsep "Eling" (ingat, red.) yang disusun apik oleh Gita Yohanna Thomdean, para pemuda seni Kie Art memperkenalkan budaya Desa Sidareja 111 tahun silam berupa Tari Ujungan yang dikonversikan dengan keadaan saat ini di mana tarian tersebut sudah bukan lagi sebagai olahraga ketangkasan tradisional untuk merebut suatu daerah.
"Tetapi, Ujungan kini adalah untuk menghadapi keangkaramurkaan yang dimiliki oleh manusia, rasa iri dan dengki yang seakan menjadi semakin memuncak hingga datangnya pandemi saat ini untuk membuat kita 'eling' atau ingat kepada kebesaran yang Maha Kuasa. Adapun koreografi tari ini gubahan dari seorang putra daerah Purbalingga, yakni Desi Indah Fitria," kata Gita.
Dia mengatakan pertunjukan diawali dengan tarian tunggal seorang wanita Jawa sebagai simbol dari Ibu Pertiwi yang sedang menangis dan berduka, diiringi dengan "sulukan" Jawa dari seorang tetua desa yang didampingi seorang gadis desa berambut panjang yang mengubahnya dalam puisi berbahasa Indonesia.
Menurut dia, penggunaan puisi berbahasa Indonesia itu dilakukan mengingat tamu yang hadir berasal dari berbagai daerah termasuk dari luar negeri.
"Lagu pengiring tarian tersebut diciptakan khusus oleh pemuda desa, Lintang Kencoro yang merupakan mahasiswa ISI Surakata sekaligus guru dalam memperkenalkan karawitan kepada seluruh pemuda desa yang selama ini tidak pernah mengenal alat karawitan," kata Gita.
"Bahkan mereka memainkannya tidak dengan bekal akademis seni sekalipun serta dibantu oleh tetua desa, Pak Ngadimin dan Pak Kusno sang maestro pewayangan. Alunan karawitan yang dibawakan oleh pemuda Desa Sidareja itu mampu membawa penonton terhanyut di dalamnya," lanjut Gita.
Lebih lanjut, ia mengatakan dalam kegiatan tersebut juga dilakukan lelang lukisan "Eling" yang merupakan karya kolaborasi antara Kie Kartun (Kie Art Cartoon School, red.) dan pelukis senior asal Purbalingga, Chune, sebagai salah satu bentuk apresiasi.
Menurut dia, tiga lukisan dalam tarian pun berhasil terjual melalui lelang, salah satunya dibeli oleh seorang ekspatriat yang merupakan pemilik sebuah hotel di Bali.
Ia mengatakan dalam kesempatan tersebut juga dilakukan peluncuran karya Pendar Kartun Nusantara yang merupakan kolaborasi Kie Kartun dan DUA Lighting Collective.
"Kegiatan tersebut tentu saja akan dapat memberikan energi positif untuk semakin banyak orang yang mengenal dan membuka peluang untuk dapat berkolaborasi di masa yang akan datang," katanya.
Pegiat Kie Art lainnya, Slamet Sentosa mengatakan jika dianalogikan sebagai pemanah, semakin ditarik mundur maka panah akan melesat sangat jauh.
"Sama halnya dengan warisan seni budaya dan tradisi leluhur, semakin kita mempelajari, kembali mencintai, dan melestarikannya, maka kita akan dapat melesat dan melaju bersaing dengan negara lainnya sebagai negara yang kaya akan budaya," katanya.
Baca juga: Mendoan khas Banyumas jadi warisan budaya takbenda
Baca juga: Ragam budaya Indonesia warnai peringatan Hari Sumpah Pemuda di Jateng
"Pertunjukan perdana pemuda seni Kie Art di Bali tersebut dapat terwujud berkat peran serta pemilik sekaligus CEO DUA Lighting Collective, yakni Bapak Robby Permana Manas," kata pegiat Kie Art Gita Yohanna Thomdean di Purbalingga, Minggu.
"Beliau sendiri beberapa waktu lalu datang langsung ke Desa Sidareja dan melihat secara langsung pelestarian budaya yang kami gagas bersama Mas Slamet Sentosa," lanjut Gita.
Hingga akhirnya, kata dia, Robby Permana Manas mengajak para pemuda seni Kie Art untuk memperkenalkan budaya Sidareja dalam acara Gathering DUA Lighting Collective di Padma Resort Legian, Bali, pada tanggal 27 Oktober 2021 yang dihadiri 100 pebisnis dari berbagai wilayah Indonesia.
Baca juga: Kie Art Purbalingga gelar pameran "Kami Masih Mencintaimu Indonesia"
Dalam pertunjukan dengan konsep "Eling" (ingat, red.) yang disusun apik oleh Gita Yohanna Thomdean, para pemuda seni Kie Art memperkenalkan budaya Desa Sidareja 111 tahun silam berupa Tari Ujungan yang dikonversikan dengan keadaan saat ini di mana tarian tersebut sudah bukan lagi sebagai olahraga ketangkasan tradisional untuk merebut suatu daerah.
"Tetapi, Ujungan kini adalah untuk menghadapi keangkaramurkaan yang dimiliki oleh manusia, rasa iri dan dengki yang seakan menjadi semakin memuncak hingga datangnya pandemi saat ini untuk membuat kita 'eling' atau ingat kepada kebesaran yang Maha Kuasa. Adapun koreografi tari ini gubahan dari seorang putra daerah Purbalingga, yakni Desi Indah Fitria," kata Gita.
Dia mengatakan pertunjukan diawali dengan tarian tunggal seorang wanita Jawa sebagai simbol dari Ibu Pertiwi yang sedang menangis dan berduka, diiringi dengan "sulukan" Jawa dari seorang tetua desa yang didampingi seorang gadis desa berambut panjang yang mengubahnya dalam puisi berbahasa Indonesia.
Menurut dia, penggunaan puisi berbahasa Indonesia itu dilakukan mengingat tamu yang hadir berasal dari berbagai daerah termasuk dari luar negeri.
"Lagu pengiring tarian tersebut diciptakan khusus oleh pemuda desa, Lintang Kencoro yang merupakan mahasiswa ISI Surakata sekaligus guru dalam memperkenalkan karawitan kepada seluruh pemuda desa yang selama ini tidak pernah mengenal alat karawitan," kata Gita.
"Bahkan mereka memainkannya tidak dengan bekal akademis seni sekalipun serta dibantu oleh tetua desa, Pak Ngadimin dan Pak Kusno sang maestro pewayangan. Alunan karawitan yang dibawakan oleh pemuda Desa Sidareja itu mampu membawa penonton terhanyut di dalamnya," lanjut Gita.
Lebih lanjut, ia mengatakan dalam kegiatan tersebut juga dilakukan lelang lukisan "Eling" yang merupakan karya kolaborasi antara Kie Kartun (Kie Art Cartoon School, red.) dan pelukis senior asal Purbalingga, Chune, sebagai salah satu bentuk apresiasi.
Menurut dia, tiga lukisan dalam tarian pun berhasil terjual melalui lelang, salah satunya dibeli oleh seorang ekspatriat yang merupakan pemilik sebuah hotel di Bali.
Ia mengatakan dalam kesempatan tersebut juga dilakukan peluncuran karya Pendar Kartun Nusantara yang merupakan kolaborasi Kie Kartun dan DUA Lighting Collective.
"Kegiatan tersebut tentu saja akan dapat memberikan energi positif untuk semakin banyak orang yang mengenal dan membuka peluang untuk dapat berkolaborasi di masa yang akan datang," katanya.
Pegiat Kie Art lainnya, Slamet Sentosa mengatakan jika dianalogikan sebagai pemanah, semakin ditarik mundur maka panah akan melesat sangat jauh.
"Sama halnya dengan warisan seni budaya dan tradisi leluhur, semakin kita mempelajari, kembali mencintai, dan melestarikannya, maka kita akan dapat melesat dan melaju bersaing dengan negara lainnya sebagai negara yang kaya akan budaya," katanya.
Baca juga: Mendoan khas Banyumas jadi warisan budaya takbenda
Baca juga: Ragam budaya Indonesia warnai peringatan Hari Sumpah Pemuda di Jateng