Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho menilai pembatalan surat dakwaan 13 terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta bukan suatu petaka.
"Seperti kita ketahui, Kejaksaan Agung sedang melakukan penuntutan kasus PT Asabri yang melibatkan 13 terdakwa. Ini harus diapresiasi karena rupanya Kejaksaan Agung sekarang dengan situasi seperti ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedikit 'agak kendur', Kejaksaan Agung naik," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Akan tetapi, dalam pengajuan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta awal pekan lalu, kata dia, majelis hakim membatalkan surat dakwaan yang diajukan Kejaksaan Agung.
Baca juga: BPK: Kerugian negara dari kasus Asabri Rp22,78 triliun
"Hukum itu ada dua kontrol, yakni pertama namanya praperadilan, bukti cukup atau tidak, sah atau tidak, kalau tidak sah dikembalikan, kalau sah lanjut ke sidang. Kontrol yang kedua adalah tingkat putusan eksepsi," katanya menjelaskan.
Menurut dia, tidak salah jika Kejaksaan Agung membuat suatu penggabungan perkara, yakni menggabungkan beberapa dakwaan dengan 13 terdakwa dalam satu surat dakwaan.
Dalam penggabungan tersebut, kata dia, rupanya hakim melihatnya obscuur sehingga sulit untuk menguraikannya, khususnya yang berkaitan dengan peran dari 13 terdakwa.
Hingga akhirnya, lanjut dia, ke-13 terdakwa dalam kasus dugaan korupsi tersebut mengajukan eksepsi dan diterima oleh majelis hakim.
"Saya kira ini bukan suatu masalah besar dalam sistem peradilan Kejaksaan Agung. Ini justru bagian dari suatu kontrol, kontrol apa? Kontrol sebelum masuk pokok perkara," katanya.
Terkait dengan hal itu, Hibnu mengharapkan Kejaksaan Agung melakukan perbaikan kembali terhadap surat dakwaan tersebut untuk diterjemahkan seperti keinginan majelis hakim.
"Di sinilah terjadi sinerginya. Jadi, sebelum hakim melakukan pemeriksaan, tolong dibuat dipecah, jangan 13 (terdakwa) menjadi satu (surat dakwaan), sulit untuk membuktikan," katanya menjelaskan.
Menurut dia, hal itu perlu diapresiasi karena adanya suatu integritas dalam sistem peradilan terpadu antara penuntut hukum dan hakim.
Jika dakwaan dalam kasus dugaan korupsi tersebut dipecah untuk masing-masing terdakwa, menurut dia, pembuktiannya akan lebih mudah.
Ia berpendapat bahwa pengembalian surat dakwaan tersebut bukan berarti batal perkaranya, melainkan untuk diperbaiki oleh jaksa penuntut umum.
"Ini tidak akan memengaruhi dan belum merupakan ne bis in idem (perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya, red.). Ne bis in idem itu kalau sudah putusan akhir, itu seseorang tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya," kata Hibnu.
Surat dakwaan yang dibatalkan tersebut, kata dia, masih dapat diperbaiki sampai berapa kali pun karena pembatalannya baru putusan sela, belum sampai tingkat pembuktian maupun putusan akhir.
"Dengan adanya perbaikan dan pemecahan surat dakwaan, tujuan besar pemberantasan korupsi akan ketemu," ucapnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor dalam putusan sela pada tanggal 16 Agustus 2021 membatalkan dakwaan jaksa pada Kejaksaan Agung terkait dengan 13 korporasi yang didakwa melakukan korupsi bersama tersangka kasus dugaan korupsi di PT Asabri (Persero), Benny Tjokrosaputro dan kawan-kawan.
Dalam hal ini, hakim mengabulkan eksepsi ke-13 korporasi dengan pertimbangan dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum untuk 13 terdakwa yang merupakan Manajemen Investasi itu dalam satu surat dakwaan akan menyulitkan, sedangkan tindak pidana yang dilakukan para terdakwa tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga dalam konferensi pers virtual mengatakan bahwa pihaknya pada hari Jumat (20/8) telah melimpahkan berkas perkara 13 terdakwa korporasi Manajer Investasi yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada PT Asabri (Persero) ke Pengadilan Tipikor Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut dia, berkas perkara tersebut dipisahkan untuk 13 terdakwa, yakni satu berkas perkara dengan satu surat dakwaan.
Baca juga: 17 bus PO Restu Wijaya di Boyolali disita, terkait kasus Asabri
"Seperti kita ketahui, Kejaksaan Agung sedang melakukan penuntutan kasus PT Asabri yang melibatkan 13 terdakwa. Ini harus diapresiasi karena rupanya Kejaksaan Agung sekarang dengan situasi seperti ini, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedikit 'agak kendur', Kejaksaan Agung naik," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Akan tetapi, dalam pengajuan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta awal pekan lalu, kata dia, majelis hakim membatalkan surat dakwaan yang diajukan Kejaksaan Agung.
Baca juga: BPK: Kerugian negara dari kasus Asabri Rp22,78 triliun
"Hukum itu ada dua kontrol, yakni pertama namanya praperadilan, bukti cukup atau tidak, sah atau tidak, kalau tidak sah dikembalikan, kalau sah lanjut ke sidang. Kontrol yang kedua adalah tingkat putusan eksepsi," katanya menjelaskan.
Menurut dia, tidak salah jika Kejaksaan Agung membuat suatu penggabungan perkara, yakni menggabungkan beberapa dakwaan dengan 13 terdakwa dalam satu surat dakwaan.
Dalam penggabungan tersebut, kata dia, rupanya hakim melihatnya obscuur sehingga sulit untuk menguraikannya, khususnya yang berkaitan dengan peran dari 13 terdakwa.
Hingga akhirnya, lanjut dia, ke-13 terdakwa dalam kasus dugaan korupsi tersebut mengajukan eksepsi dan diterima oleh majelis hakim.
"Saya kira ini bukan suatu masalah besar dalam sistem peradilan Kejaksaan Agung. Ini justru bagian dari suatu kontrol, kontrol apa? Kontrol sebelum masuk pokok perkara," katanya.
Terkait dengan hal itu, Hibnu mengharapkan Kejaksaan Agung melakukan perbaikan kembali terhadap surat dakwaan tersebut untuk diterjemahkan seperti keinginan majelis hakim.
"Di sinilah terjadi sinerginya. Jadi, sebelum hakim melakukan pemeriksaan, tolong dibuat dipecah, jangan 13 (terdakwa) menjadi satu (surat dakwaan), sulit untuk membuktikan," katanya menjelaskan.
Menurut dia, hal itu perlu diapresiasi karena adanya suatu integritas dalam sistem peradilan terpadu antara penuntut hukum dan hakim.
Jika dakwaan dalam kasus dugaan korupsi tersebut dipecah untuk masing-masing terdakwa, menurut dia, pembuktiannya akan lebih mudah.
Ia berpendapat bahwa pengembalian surat dakwaan tersebut bukan berarti batal perkaranya, melainkan untuk diperbaiki oleh jaksa penuntut umum.
"Ini tidak akan memengaruhi dan belum merupakan ne bis in idem (perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya, red.). Ne bis in idem itu kalau sudah putusan akhir, itu seseorang tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya," kata Hibnu.
Surat dakwaan yang dibatalkan tersebut, kata dia, masih dapat diperbaiki sampai berapa kali pun karena pembatalannya baru putusan sela, belum sampai tingkat pembuktian maupun putusan akhir.
"Dengan adanya perbaikan dan pemecahan surat dakwaan, tujuan besar pemberantasan korupsi akan ketemu," ucapnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor dalam putusan sela pada tanggal 16 Agustus 2021 membatalkan dakwaan jaksa pada Kejaksaan Agung terkait dengan 13 korporasi yang didakwa melakukan korupsi bersama tersangka kasus dugaan korupsi di PT Asabri (Persero), Benny Tjokrosaputro dan kawan-kawan.
Dalam hal ini, hakim mengabulkan eksepsi ke-13 korporasi dengan pertimbangan dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum untuk 13 terdakwa yang merupakan Manajemen Investasi itu dalam satu surat dakwaan akan menyulitkan, sedangkan tindak pidana yang dilakukan para terdakwa tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga dalam konferensi pers virtual mengatakan bahwa pihaknya pada hari Jumat (20/8) telah melimpahkan berkas perkara 13 terdakwa korporasi Manajer Investasi yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada PT Asabri (Persero) ke Pengadilan Tipikor Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut dia, berkas perkara tersebut dipisahkan untuk 13 terdakwa, yakni satu berkas perkara dengan satu surat dakwaan.
Baca juga: 17 bus PO Restu Wijaya di Boyolali disita, terkait kasus Asabri