Magelang (ANTARA) - Di mana-mana sudah berkibar bendera Merah Putih. Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang kali ini sebagai ke-76 tahun segera tiba dengan sendirinya meskipun situasinya berselimut kelam pandemi COVID-19.
Umbul-umbul juga menyemarakkan suasana lingkungan tempat tinggal warga. Gapura pintu masuk kompleks perumahan atau kampung pun direhab dengan pengecatan ulang dan penulisan penanda HUT RI tahun ini.
Depan setiap rumah warga dipasang bendera kebangsaan. Jalan-jalan perumahan dan perkampungan dipasang instalasi bendera Merah Putih ukuran kecil-kecil, ditautkan tali dan dipasang melintang di atas jalan. Bahkan ada yang memasang juga lampu warna-warni di depan rumah-rumah warga. Mereka ingin menghadirkan semarak dan semringah peringatan Hari Kemerdekaan.
Jagad maya juga berhias unggahan ungkapan warganet menyambut HUT RI, termasuk aneka rupa kreativitas berupa "twibbon" ditawarkan kepada publik.
Itulah kiranya sebagian aktivitas bersama masyarakat menjelang "tujuh belasan". Mereka bersatu-padu, meluangkan waktu khusus bergotong royong dengan menerapkan protokol kesehatan untuk menyambut Hari Kemerdekaan di tengah pandemi. Bolehlah kiranya dibilang, mereka menjalani tradisi menyambut HUT RI. Puncaknya setiap 17 Agustus.
Kalau sebelum pandemi, ada yang membuat upacara bendera besar-besaran, terlebih di lingkungan perkantoran. Di masyarakat sipil dengan berbagai genre komunitasnya pun membikin upacara unik "tujuh belasan".
Selain itu, warga mengikuti lomba-lomba permainan dan pertandingan, seperti panjat pinang, sepak bola bersarung, dan lomba makan kerupuk. Malam Hari Kemerdekaan, warga di berbagai kampung menjalani tirakatan, membuat renungan bersama, dan berdoa lintas agama atas nikmat hidup sebagai bangsa dan negara merdeka.
Berbagai pentas kesenian atau acara jalan santai dibuat warga di setiap rukun tetangga sebagai ungkapan gembira bersama atas Hari Kemerdekaan. Begitu pula kirab pembangunan dibuat pemerintah hingga tingkat desa. Semua dilakukan agar peringatan kepemilikan kemerdekaan bersama itu menjadi meriah.
Oleh karena pandemi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0031/4297/SJ tertanggal 10 Agustus 2021 ditujukan kepada para kepala daerah tentang Pedoman Teknis Peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2021.
Isi surat yang terkait dengan upaya pencegahan penularan COVID-19 itu, antara lain peringatan HUT RI secara sederhana namun khidmat dengan menerapkan protokol kesehatan, peniadaan berbagai lomba yang berpotensi kerumunan massa, acara seremonial dan perlombaan mengutamakan pemanfaatan teknologi informatika atau secara virtual.
Masyarakat memang didorong mengemas wujud peringatan dan perayaan "tujuh belasan" dengan tepat di tengah pandemi supaya tidak berisiko penularan COVID-19. Tentunya wujudnya tidak seperti situasi normal sebelum pandemi. Mungkin terkesan menjadi lebih sederhana, bisa secara virtual, atau bentuk lainnya yang menjamin lebih kuat tidak terjadi penularan virus.
Hal yang jelas masyarakat tak ingin melepas begitu saja momentum pencarian pemaknaan baru atas peristiwa kemerdekaan RI pada 76 tahun lalu. Masyarakat tetap ingin menyatakan syukur atas kemerdekaan dan meng-"upgrade" semangatnya sesuai tuntutan kekiniannya.
Tentu saja, spirit peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini, menjadi kekuatan penting pemaknaan masyarakat dalam menghadapi tantangan bersama, yakni pandemi COVID-19.
Sejumlah warga salah satu perumahan di Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menyiapkan hiasan bernuansa Merah Putih untuk dipasang di kompleksnya guna menyambut HUT Ke-76 RI, belum lama ini. (ANTARA/Hari Atmoko)
Serangan pandemi selama lebih dari 1,5 tahun terakhir ini bukan sekadar menyasar orang per orang atau sebagai penyakit herediter. Pandemi virus sebagai serangan masif, anarkis, sembarangan, dan tiada ampun kepada siapa saja yang terlena.
Tingkat serangannya mungkin dipahami sebagai mengerikan kepada mereka yang sama sekali tak paham tentang COVID-19, pandemi, dan protokol kesehatan. Serangan pandemi terkesan makin brutal dengan sekarang muncul macam-macam varian mutasinya.
Risiko tinggi penularan juga terhadap mereka yang imunitasnya sedang drop, belum mengikuti vaksinasi, dan mereka yang masih terjebak kebiasaan berrelasi sebagaimana sebelum pandemi, seperti berkerumun, bersalaman, cipika-cipiki, dan menjalani mobilitas tinggi.
Peristiwa pandemi boleh dikatakan sebagai bentuk penjajahan terbaru atas kebebasan masyarakat abad ini. Serangan virus dengan varian baru ini butuh jalinan persatuan dan kesatuan berbagai lapisan masyarakat, bangsa, dan negara untuk menghadapinya.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pandemi tidak bisa hanya dihadapi pemerintah, tetapi harus dengan kebersamaan, persatuan, dan kesatuan seluruh bangsa dan negara.
Begitu pula para pemimpin, tokoh, dan pemuka masyarakat lainnya. Mereka pun menyadari dengan baik pentingnya persatuan dan kesatuan itu, sebagai kekuatan perjuangan menghadapi pandemi.
Jika ada oknum elite masih saja menyatakan tidak percaya dan bahkan abai terhadap serangan virus, patutlah dipertanyakan kualitas dan integritas kepemimpinan, serta tanggung jawab terhadap konstituennya. Toh pada akhirnya, di antara mereka pun ada yang tertular virus, butuh pemulihan, dan bahkan tak sedikit menemui ajal.
Kemerdekaan Indonesia dari penjajahan berabad-abad harus diraih dengan upaya bertahun-tahun mewujudkan jalinan persatuan dan kesatuan bangsa, hingga tercapai proklamasi 17 Agustus 1945.
Para pahlawan dan pendiri bangsa menggalang serta memelopori perjuangan meraih kemerdekaan. Ada yang melalui medan pertempuran bersenjata, tirakat pendidikan dan pencerahan, jalur politik dan diplomasi, kekuatan kesenian dan kebudayaan, serta tentu saja daya spiritual yang dibangun melalui doa terus-menerus secara takzim. Tak terhitung di antara mereka, bahkan bertaruh nyawa hingga berkalang Bumi Pertiwi.
Kiranya, begitu pula semangat pemaknaan kemerdekaan itu beroleh zaman yang tepat ditempakan pada era sekarang. Penjajahan virus mesti disudahi dan kemerdekaan darinya harus diraih dengan berjuang tak seorang diri.
Perjuangan agung membebaskan bangsa dari pandemi telah mengantarkan anak-anak terbaik bangsa menjadi pupuk penyubur spirit merdeka dari virus. Mereka, antara lain para dokter dan tenaga medis, peneliti dan pakar kesehatan, kepala daerah, tokoh agama, pemuka masyarakat, dan relawan berhati mulia.
Begitu pula dengan ratusan ribu warga dan orang-orang dekat kita yang harus berpulang karena terinfeksi virus. Selayaknya nestapa itu dipetik pemaknaannya menjadi kumpulan gereget perjuangan bersama membebaskan negeri dari pagebluk.
Kalau sekarang di mana-mana berkibar Merah Putih, meriah umbul-umbul, bertebaran "twibbon", dan semarak pernak-pernik Hari Kemerdekaan, itu semua bukan sekadar pemandangan kasat mata. Itulah orkestrasi seruan aktual atas pemaknaan spirit kemerdekaan dari belenggu virus.
Segala rupa semarak kibaran itu mesti dipandang sebagai teriakan lantang yang menggema, menghadirkan pemaknaan baru tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang menjiwa, "Ayo merdeka dari pandemi!".
Umbul-umbul juga menyemarakkan suasana lingkungan tempat tinggal warga. Gapura pintu masuk kompleks perumahan atau kampung pun direhab dengan pengecatan ulang dan penulisan penanda HUT RI tahun ini.
Depan setiap rumah warga dipasang bendera kebangsaan. Jalan-jalan perumahan dan perkampungan dipasang instalasi bendera Merah Putih ukuran kecil-kecil, ditautkan tali dan dipasang melintang di atas jalan. Bahkan ada yang memasang juga lampu warna-warni di depan rumah-rumah warga. Mereka ingin menghadirkan semarak dan semringah peringatan Hari Kemerdekaan.
Jagad maya juga berhias unggahan ungkapan warganet menyambut HUT RI, termasuk aneka rupa kreativitas berupa "twibbon" ditawarkan kepada publik.
Itulah kiranya sebagian aktivitas bersama masyarakat menjelang "tujuh belasan". Mereka bersatu-padu, meluangkan waktu khusus bergotong royong dengan menerapkan protokol kesehatan untuk menyambut Hari Kemerdekaan di tengah pandemi. Bolehlah kiranya dibilang, mereka menjalani tradisi menyambut HUT RI. Puncaknya setiap 17 Agustus.
Kalau sebelum pandemi, ada yang membuat upacara bendera besar-besaran, terlebih di lingkungan perkantoran. Di masyarakat sipil dengan berbagai genre komunitasnya pun membikin upacara unik "tujuh belasan".
Selain itu, warga mengikuti lomba-lomba permainan dan pertandingan, seperti panjat pinang, sepak bola bersarung, dan lomba makan kerupuk. Malam Hari Kemerdekaan, warga di berbagai kampung menjalani tirakatan, membuat renungan bersama, dan berdoa lintas agama atas nikmat hidup sebagai bangsa dan negara merdeka.
Berbagai pentas kesenian atau acara jalan santai dibuat warga di setiap rukun tetangga sebagai ungkapan gembira bersama atas Hari Kemerdekaan. Begitu pula kirab pembangunan dibuat pemerintah hingga tingkat desa. Semua dilakukan agar peringatan kepemilikan kemerdekaan bersama itu menjadi meriah.
Oleh karena pandemi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0031/4297/SJ tertanggal 10 Agustus 2021 ditujukan kepada para kepala daerah tentang Pedoman Teknis Peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2021.
Isi surat yang terkait dengan upaya pencegahan penularan COVID-19 itu, antara lain peringatan HUT RI secara sederhana namun khidmat dengan menerapkan protokol kesehatan, peniadaan berbagai lomba yang berpotensi kerumunan massa, acara seremonial dan perlombaan mengutamakan pemanfaatan teknologi informatika atau secara virtual.
Masyarakat memang didorong mengemas wujud peringatan dan perayaan "tujuh belasan" dengan tepat di tengah pandemi supaya tidak berisiko penularan COVID-19. Tentunya wujudnya tidak seperti situasi normal sebelum pandemi. Mungkin terkesan menjadi lebih sederhana, bisa secara virtual, atau bentuk lainnya yang menjamin lebih kuat tidak terjadi penularan virus.
Hal yang jelas masyarakat tak ingin melepas begitu saja momentum pencarian pemaknaan baru atas peristiwa kemerdekaan RI pada 76 tahun lalu. Masyarakat tetap ingin menyatakan syukur atas kemerdekaan dan meng-"upgrade" semangatnya sesuai tuntutan kekiniannya.
Tentu saja, spirit peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini, menjadi kekuatan penting pemaknaan masyarakat dalam menghadapi tantangan bersama, yakni pandemi COVID-19.
Serangan pandemi selama lebih dari 1,5 tahun terakhir ini bukan sekadar menyasar orang per orang atau sebagai penyakit herediter. Pandemi virus sebagai serangan masif, anarkis, sembarangan, dan tiada ampun kepada siapa saja yang terlena.
Tingkat serangannya mungkin dipahami sebagai mengerikan kepada mereka yang sama sekali tak paham tentang COVID-19, pandemi, dan protokol kesehatan. Serangan pandemi terkesan makin brutal dengan sekarang muncul macam-macam varian mutasinya.
Risiko tinggi penularan juga terhadap mereka yang imunitasnya sedang drop, belum mengikuti vaksinasi, dan mereka yang masih terjebak kebiasaan berrelasi sebagaimana sebelum pandemi, seperti berkerumun, bersalaman, cipika-cipiki, dan menjalani mobilitas tinggi.
Peristiwa pandemi boleh dikatakan sebagai bentuk penjajahan terbaru atas kebebasan masyarakat abad ini. Serangan virus dengan varian baru ini butuh jalinan persatuan dan kesatuan berbagai lapisan masyarakat, bangsa, dan negara untuk menghadapinya.
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pandemi tidak bisa hanya dihadapi pemerintah, tetapi harus dengan kebersamaan, persatuan, dan kesatuan seluruh bangsa dan negara.
Begitu pula para pemimpin, tokoh, dan pemuka masyarakat lainnya. Mereka pun menyadari dengan baik pentingnya persatuan dan kesatuan itu, sebagai kekuatan perjuangan menghadapi pandemi.
Jika ada oknum elite masih saja menyatakan tidak percaya dan bahkan abai terhadap serangan virus, patutlah dipertanyakan kualitas dan integritas kepemimpinan, serta tanggung jawab terhadap konstituennya. Toh pada akhirnya, di antara mereka pun ada yang tertular virus, butuh pemulihan, dan bahkan tak sedikit menemui ajal.
Kemerdekaan Indonesia dari penjajahan berabad-abad harus diraih dengan upaya bertahun-tahun mewujudkan jalinan persatuan dan kesatuan bangsa, hingga tercapai proklamasi 17 Agustus 1945.
Para pahlawan dan pendiri bangsa menggalang serta memelopori perjuangan meraih kemerdekaan. Ada yang melalui medan pertempuran bersenjata, tirakat pendidikan dan pencerahan, jalur politik dan diplomasi, kekuatan kesenian dan kebudayaan, serta tentu saja daya spiritual yang dibangun melalui doa terus-menerus secara takzim. Tak terhitung di antara mereka, bahkan bertaruh nyawa hingga berkalang Bumi Pertiwi.
Kiranya, begitu pula semangat pemaknaan kemerdekaan itu beroleh zaman yang tepat ditempakan pada era sekarang. Penjajahan virus mesti disudahi dan kemerdekaan darinya harus diraih dengan berjuang tak seorang diri.
Perjuangan agung membebaskan bangsa dari pandemi telah mengantarkan anak-anak terbaik bangsa menjadi pupuk penyubur spirit merdeka dari virus. Mereka, antara lain para dokter dan tenaga medis, peneliti dan pakar kesehatan, kepala daerah, tokoh agama, pemuka masyarakat, dan relawan berhati mulia.
Begitu pula dengan ratusan ribu warga dan orang-orang dekat kita yang harus berpulang karena terinfeksi virus. Selayaknya nestapa itu dipetik pemaknaannya menjadi kumpulan gereget perjuangan bersama membebaskan negeri dari pagebluk.
Kalau sekarang di mana-mana berkibar Merah Putih, meriah umbul-umbul, bertebaran "twibbon", dan semarak pernak-pernik Hari Kemerdekaan, itu semua bukan sekadar pemandangan kasat mata. Itulah orkestrasi seruan aktual atas pemaknaan spirit kemerdekaan dari belenggu virus.
Segala rupa semarak kibaran itu mesti dipandang sebagai teriakan lantang yang menggema, menghadirkan pemaknaan baru tentang persatuan dan kesatuan bangsa yang menjiwa, "Ayo merdeka dari pandemi!".