Jakarta (ANTARA) - Pada Sabtu pagi di akhir November, Indonesia kembali berduka dan harus menyeka air mata ditinggal legenda sepak bola Ricky Yakobi ke peristirahatan terakhir.
Ricky Yakobi diduga terkena serangan jantung saat bermain bola di Lapangan ABC Senayan bersama pemain lain asal Medan. Ia yang kegirangan setelah mencetak gol tiba-tiba ambruk dan membuat seisi lapangan terdiam.
Kawan-kawannya mencoba untuk memberikan pertolongan dengan membawa Ricky ke Rumah Sakit Mintoharjo. Akan tetapi, Tuhan nampaknya lebih sayang kepada Ricky dan maestro sepakbola Indonesia itu dinyatakan meninggal dunia.
Baca juga: Legenda Timnas Ricky Yakobi meninggal saat bermain bola
Nama Ricky Yakobi seolah menjadi cerita pengantar tidur akan kedigdayaan sepakbola Indonesia medio 80-an. Saat itu, timnas Indonesia menjadi pahlawan karena berhasil merebut medali emas SEA Games pertamanya pada 1987.
Bukan masalah medali emas yang selalu diceritakan orang tua, tetapi permainan yang aktraktif sekaligus menghibur yang ditampilkan Ricky Yakobi dan kawan-kawan.
Dari segi kekuatan, timnas Indonesia itu dianggap merata dari lini belakang hingga depan, sebut saja nama Robby Darwis dan Jaya Hartono di lini belakang, Herry Kiswanto sebagai jenderal lapangan tengah, dan Ricky Yakobi serta Ribut Waidi sebagai ujung tombak.
Asian Games 1986
Sebelum membawa Indonesia meraih medali emas SEA Games 1987, Ricky Yacobi menjadi sorotan ketika mencetak gol fantastis pada Asian Games 1986 di Korea Selatan.
Ricky Yacobi kala itu membukukan gol tendangan voli di babak perempat final kontra Uni Emirat Arab, sekaligus melambungkan namanya di persepakbolaan Indonesia.
Pada pesta olahraga antar negara-negara Asia itu, di babak penyisihan Indonesia yang dilatih Bertje Matulapelwa berada satu grup dengan tim-tim yaitu Qatar, Arab Saudi dan Malaysia.
Pada laga pertama, Indonesia menahan Qatar dengan skor 1-1. Namun, di laga kedua melawan Arab Saudi, Timnas Indonesia kalah 2-0 dari Arab Saudi.
Ricky Yakobi dkk. maju ke perempat final setelah di laga terakhir menang atas Malaysia 1-0 lewat gol Yonas Sawor pada menit ke 35.
Di perempatfinal Timnas Indonesia menghadapi tim kuat lainnya asal Timur tengah, Uni Emirat Arab (EUA). Mereka sempat tertinggal dua kali.
Namun, Ricky Yacobi tampil gemilang. Saat Indonesia tertinggal 1-0, putra Medan itu mencetak gol indah melalui tendangan tanpa bola menyentuh tanah.
Pada menit ke-78, Indonesia kembali tertinggal. Beruntung, Jaya Hartono mencetak gol penyama kedudukan sehingga laga berujung adu penalti. Indonesia menang 4-3 dalam babak ini dan melaju ke semifinal.
Di babak semifinal, Indonesia harus mengakui keunggulan Korea Selatan. dengan skor 4-0.
Laman RSSSF merangkum, Ricky Yacobi membela Timnas Indonesia pada periode 1985-1991. Selama enam tahun, ia membukukan 31 penampilan dan mencetak lima gol.
Timnas era itu dikenal dengan sebutan The Boys of 1987. Bahkan doa-doa yang terapal di mulut orang tua jika kita bermimpi ingin menjadi pemain sepakbola; semoga bisa seperti Ricky Yakobi atau Robby Darwis.
Dari Medan ke Jepang
Ricky Yakobi lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963. Ia pun mengawali karier profesional di PSMS Medan. Bersama PSMS, Ricky sukses mempersembahkan dua gelar perserikatan pada 1983 dan 1985.
Seusai memperkuat PSMS, Ricky memutuskan pindah ke Arseto dan sinarnya semakin benderang di klub ini. Ricky memperkuat Arseto selama lima musim, 1986-1991 dan mempersembahkan gelar Galatama 1987.
Namun, yang paling dikenang adalah saat ia membela Arseto. Kepiawaiannya mencari ruang kosong serta kemampuan memanfaatkan peluang meski sekecil lubang jarum menjadi identitas Ricky kala itu.
Di era 1980-an, bisa jadi nama Ricky ibarat Marco van Basten-nya Indonesia atau banyak juga yang menyebutnya Paul Breitner-nya Indonesia. Brietner adalah salah satu pesepakbola Jerman terbaik di eranya. Ia seangkatan dengan Franz Beckenbauer dan Berti Vogts di jantung pertahanan tim Panser.
Bermain apik bersama Arseto dan timnas Indonesia, ia mampu membuat tim asal Jepang Matsushita Electric FC, yang kini berganti nama menjadi Gamba Osaka, terpincut untuk mendatangkannya pada 1988.
Ketertarikan Matsushita Electric FC tak terlepas dari penampilan apik Ricky Yakobi bersama Arseto Solo. Ketika itu, Ricky Yacobi tampil tajam dan sukses mempersembahkan gelar Galatama 1987.
Mendapat tawaran itu, Ricky tak berpikir panjang dan langsung menerima untuk meniti karier di Jepang. Bahkan ia tercatat sebagai pemain pertama asal Indonesia yang bermain di negeri sakura tersebut.
Perbedaan cuaca antara Indonesia dan Jepang menjadi faktor Ricky tak berkembang. Dalam enam pertandingan yang dimainkan, pemain asal Medan, Sumatra Utara, itu hanya mampu mencetak satu gol. Ricky tak bisa beradaptasi dengan cuaca dingin.
Tak lama membela Matsushita, ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan klub lamanya, Arseto Solo. Ricky kemudian gantung sepatu pada 1991.
Sepakbola seolah tak bisa dipisahkan dari kehidupan Ricky. Setelah gantung sepatu, ia mendirikan sekolah sepakbola (SSB) Ricky Yakobi di Senayan, Jakarta. Bahkan diujung nafasnya, ia mempersembahkan gol sebagai tanda perpisahan dengan dunia yang telah membesarkan namanya.
Selamat jalan legenda!
Baca juga: Pemain muda butuh kompetisi
Baca juga: Ricky Jacobi: Timnas Masih Memprihatinkan
Ricky Yakobi diduga terkena serangan jantung saat bermain bola di Lapangan ABC Senayan bersama pemain lain asal Medan. Ia yang kegirangan setelah mencetak gol tiba-tiba ambruk dan membuat seisi lapangan terdiam.
Kawan-kawannya mencoba untuk memberikan pertolongan dengan membawa Ricky ke Rumah Sakit Mintoharjo. Akan tetapi, Tuhan nampaknya lebih sayang kepada Ricky dan maestro sepakbola Indonesia itu dinyatakan meninggal dunia.
Baca juga: Legenda Timnas Ricky Yakobi meninggal saat bermain bola
Nama Ricky Yakobi seolah menjadi cerita pengantar tidur akan kedigdayaan sepakbola Indonesia medio 80-an. Saat itu, timnas Indonesia menjadi pahlawan karena berhasil merebut medali emas SEA Games pertamanya pada 1987.
Bukan masalah medali emas yang selalu diceritakan orang tua, tetapi permainan yang aktraktif sekaligus menghibur yang ditampilkan Ricky Yakobi dan kawan-kawan.
Dari segi kekuatan, timnas Indonesia itu dianggap merata dari lini belakang hingga depan, sebut saja nama Robby Darwis dan Jaya Hartono di lini belakang, Herry Kiswanto sebagai jenderal lapangan tengah, dan Ricky Yakobi serta Ribut Waidi sebagai ujung tombak.
Asian Games 1986
Sebelum membawa Indonesia meraih medali emas SEA Games 1987, Ricky Yacobi menjadi sorotan ketika mencetak gol fantastis pada Asian Games 1986 di Korea Selatan.
Ricky Yacobi kala itu membukukan gol tendangan voli di babak perempat final kontra Uni Emirat Arab, sekaligus melambungkan namanya di persepakbolaan Indonesia.
Pada pesta olahraga antar negara-negara Asia itu, di babak penyisihan Indonesia yang dilatih Bertje Matulapelwa berada satu grup dengan tim-tim yaitu Qatar, Arab Saudi dan Malaysia.
Pada laga pertama, Indonesia menahan Qatar dengan skor 1-1. Namun, di laga kedua melawan Arab Saudi, Timnas Indonesia kalah 2-0 dari Arab Saudi.
Ricky Yakobi dkk. maju ke perempat final setelah di laga terakhir menang atas Malaysia 1-0 lewat gol Yonas Sawor pada menit ke 35.
Di perempatfinal Timnas Indonesia menghadapi tim kuat lainnya asal Timur tengah, Uni Emirat Arab (EUA). Mereka sempat tertinggal dua kali.
Namun, Ricky Yacobi tampil gemilang. Saat Indonesia tertinggal 1-0, putra Medan itu mencetak gol indah melalui tendangan tanpa bola menyentuh tanah.
Pada menit ke-78, Indonesia kembali tertinggal. Beruntung, Jaya Hartono mencetak gol penyama kedudukan sehingga laga berujung adu penalti. Indonesia menang 4-3 dalam babak ini dan melaju ke semifinal.
Di babak semifinal, Indonesia harus mengakui keunggulan Korea Selatan. dengan skor 4-0.
Laman RSSSF merangkum, Ricky Yacobi membela Timnas Indonesia pada periode 1985-1991. Selama enam tahun, ia membukukan 31 penampilan dan mencetak lima gol.
Timnas era itu dikenal dengan sebutan The Boys of 1987. Bahkan doa-doa yang terapal di mulut orang tua jika kita bermimpi ingin menjadi pemain sepakbola; semoga bisa seperti Ricky Yakobi atau Robby Darwis.
Dari Medan ke Jepang
Ricky Yakobi lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963. Ia pun mengawali karier profesional di PSMS Medan. Bersama PSMS, Ricky sukses mempersembahkan dua gelar perserikatan pada 1983 dan 1985.
Seusai memperkuat PSMS, Ricky memutuskan pindah ke Arseto dan sinarnya semakin benderang di klub ini. Ricky memperkuat Arseto selama lima musim, 1986-1991 dan mempersembahkan gelar Galatama 1987.
Namun, yang paling dikenang adalah saat ia membela Arseto. Kepiawaiannya mencari ruang kosong serta kemampuan memanfaatkan peluang meski sekecil lubang jarum menjadi identitas Ricky kala itu.
Di era 1980-an, bisa jadi nama Ricky ibarat Marco van Basten-nya Indonesia atau banyak juga yang menyebutnya Paul Breitner-nya Indonesia. Brietner adalah salah satu pesepakbola Jerman terbaik di eranya. Ia seangkatan dengan Franz Beckenbauer dan Berti Vogts di jantung pertahanan tim Panser.
Bermain apik bersama Arseto dan timnas Indonesia, ia mampu membuat tim asal Jepang Matsushita Electric FC, yang kini berganti nama menjadi Gamba Osaka, terpincut untuk mendatangkannya pada 1988.
Ketertarikan Matsushita Electric FC tak terlepas dari penampilan apik Ricky Yakobi bersama Arseto Solo. Ketika itu, Ricky Yacobi tampil tajam dan sukses mempersembahkan gelar Galatama 1987.
Mendapat tawaran itu, Ricky tak berpikir panjang dan langsung menerima untuk meniti karier di Jepang. Bahkan ia tercatat sebagai pemain pertama asal Indonesia yang bermain di negeri sakura tersebut.
Perbedaan cuaca antara Indonesia dan Jepang menjadi faktor Ricky tak berkembang. Dalam enam pertandingan yang dimainkan, pemain asal Medan, Sumatra Utara, itu hanya mampu mencetak satu gol. Ricky tak bisa beradaptasi dengan cuaca dingin.
Tak lama membela Matsushita, ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan klub lamanya, Arseto Solo. Ricky kemudian gantung sepatu pada 1991.
Sepakbola seolah tak bisa dipisahkan dari kehidupan Ricky. Setelah gantung sepatu, ia mendirikan sekolah sepakbola (SSB) Ricky Yakobi di Senayan, Jakarta. Bahkan diujung nafasnya, ia mempersembahkan gol sebagai tanda perpisahan dengan dunia yang telah membesarkan namanya.
Selamat jalan legenda!
Baca juga: Pemain muda butuh kompetisi
Baca juga: Ricky Jacobi: Timnas Masih Memprihatinkan