Semarang (ANTARA) - Aliansi Nelayan Indonesia (Anni) mengkhawatirkan nasib nelayan dan masyarakat pesisir atas berlakunya Omnibus Law UU Cipta Kerja karena regulasi tersebut bakal berimplikasi pada tata kelola wilayah laut, kesejahteraan nelayan, dan kedaulatan negara. 

"Dalam draf final Tim Perumus Baleg DPR sebagai bahan akhir menuju pengambilan putusan tingkat 1 di Baleg dijelaskan bahwa status nelayan kecil sudah tidak berbasis kepemilikan kapal yang memiliki bobot maksimal 10 GT, tapi hanya berbasis kegiatan tangkap ikan. Bahkan definisi nelayan makin kabur karena bersifat umum," kata Ketua DPP Ani, Riyono, dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Jumat.

Implikasinya, menurut dia, nasib dan kehidupan nelayan tradisional dan kecil bakal makin sengsara.

Isu lain yang krusial adalah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K) bisa diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan berlindung pada PSN (proyek strategis nasional).

"Ini jelas sangat merugikan daerah dan mengancam kelestarian wilayah pesisir, sumber saya alam, dan berpotensi merusak laut sehingga nasib nelayan akan makin susah," kata Riyono yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah itu.

UU Cipta Kerja, menurut dia, juga memberikan ruang laut untuk dikuasai oleh kapal asing. Dalam UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal berbendara asing harus menggunakan ABK dalam negeri minimal 70 persen, sedangkan pada UU Cipta Kerja, pasal tersebut malah dihapuskan.

"Laut di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) bisa makin sulit mengontrolnya," katanya. 

Dengan regulasi tersebut, Anni mengkhawatirkan operasi penangkapan ikan asing di ZEEI bakal kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal. 

Selain itu, penangkapan ikan skala besar pun dikhawatirkan akan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri

"Empat alasan tersebut bakal membuat kehidupan nelayan makin sulit  bahkan kita akan sulit menemukan nelayan kecil atau tradisional di laut karena ruang laut bisa jadi dikuasai oleh pengusaha dan investor asing yang berlindung di balik UU Cipta Kerja," kata mantan aktivis mahasiswa tersebut.

Ia mengemukakan sejak diajukan oleh Presiden pada Februari 2020, UU tersebut sudah menuai pro dan kontra.

Kalangan aktivis nelayan dan perikanan, akademisi, serta organisasi profesi keilmuan serta kampus melihat UU ini cacat secara prosedur dan bahkan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Bahkan, menurut dia, sampai sekarang dokumen resmi UU Cipta Kerja sulit diakses oleh publik. DPR mengakui setelah disahkan masih ada yang difinalisasi atau dirapikan. 

"Ini jelas sangat rawan dan cacat secara prosedural, UU sudah disahkan ternyata belum final di tingkat naskah aslinya," tutup Riyono, anggota DPRD Jateng dari Fraksi PKS. 

 

Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024