Purwokerto (ANTARA) - Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Cabang Purwokerto menyalurkan bantuan berupa paket sembako untuk satu keluarga miskin yang menghuni sebuah gubuk berukuran 2 x 3 meter dengan tinggi 1 meter di kebun salah seorang warga di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

"Setelah menerima informasi tentang Mbah Tarso (90) dan istrinya Sugiani (45) yang tinggal di gubuk yang terbuat dari karung dan plastik di kebun salah seorang warga Kelurahan Kedungwuluh RT 07 RW 06, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, kami segera mendatanginya pada Selasa (7/7) sore untuk menyerahkan bantuan," kata Staf Program ACT Cabang Purwokerto Rama di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis.

Ia mengatakan bantuan berupa paket sembako tersebut merupakan sedekah dari para dermawan dan mitra ACT Cabang Purwokerto.

Rama mengaku sangat prihatin saat mengetahui kondisi gubuk yang telah 5 tahun dihuni Mbah Tarso bersama istrinya karena lokasinya jauh dari pemukiman dan untuk menjangkaunya harus dengan berjalan kaki melalui sawah dan perkebunan.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya tidak menutup kemungkinan akan kembali menyalurkan bantuan untuk Mbah Tarso.

"Insya Allah akan kami salurkan lagi, nantinya dari hasil survei ini. Mungkin bantuanya bisa dalam bentuk paket pangan lagi, atau pendampingan medis jika suatu saat diperlukan, karena kami di ACT ada relawan medis (Masyarakat Relawan Indonesia/MRI) yang berasal dari kalangan dokter," katanya.

Sementara itu, Mbah Tarso mengaku telah mendapat izin dari pemilik kebun untuk membangun gubuk yang telah dihuni selama 5 tahun bersama istrinya.

"Saya dipersilakan untuk tinggal di sini sekalian untuk jaga kebun, bikin gubuk seadanya. Sebelumnya, saya hidupnya mengontrak tanah,dan dibangun rumah kayu, tapi karena sudah tidak punya uang yang cukup, saya tidak bisa melanjutkan kontrak tanah, jadi pindah ke sini," katanya.

Kendati demikian, dia mengakui tinggal di gubuk kecil itu tidaklah nyaman karena sangat terasa dingin pada malam hari dan ketika terjadi hujan dapat dipastikan kebanjiran. Sementara untuk penerangan pada malam hari, dia hanya mengandalkan lilin.

Dia mengatakan usia sebenarnya 90 tahun namun di dalam kartu tanda penduduk (KTP) dimudakan 20 tahun sehingga tercantum 70 tahun,

"Ya, ini saya sudah tua, saudara saya sudah tidak ada, saya pernah merasakan zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Saya dulu ikut kerja rodi pada saat usia 12 tahun, dan dari 50 orang yang saat itu ikut kerja rodi, hanya 3 orang yang selamat dari kematian pada saat bekerja, salah satunya saya," katanya.

Terkait dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia mengaku hanya mengandalkan hasil dari memancing di sungai yang sebagian hasilnya dijual dan sebagian untuk dimakan.

Dia hanya mengandalkan kayu bakar untuk memasak makanan karena tidak memiliki kompor, sedangkan airnya mengambil dari sungai.

"Saya pernah digigit ular kobra dan racunnya masih mengalir di darah saya sehingga saya tidak bisa punya anak. Ya seperti inilah keadaan saya dan istri, hanya mengandalkan pertolongan dari Allah," katanya. 

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024