Jakarta (ANTARA) - Penjualan mobil nasional pada bulan April dan Mei diprediksi akan semakin anjlok, menyusul berhentinya pabrik-pabrik otomotif, dirumahkannya pegawai di industri tersebut karena pandemi virus corona baru (COVID-19), menurut pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu.
"Sekarang kalau kita lihat industri otomotif mati semua, stop produksi. Diler otomatis pada tutup, dan dia tidak bisa memasarkan kalau tidak ada pegawai. Jalur distribusi ke hilir pun stop," kata Yannes saat dihubungi ANTARA, Kamis (16/4).
Lebih lanjut, dengan ditetapkannya pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional, masyarakat menjadi lebih memprioritaskan kebutuhan primernya daripada tersier seperti membeli kendaraan.
"Di kondisi seperti ini, masyarakat pasti safety first. Akibatnya, kendaraan yang termasuk barang konsumsi tersier, jadi pembelian akan drop drastis," kata akademisi Institut Teknologi Bandung itu.
Momen Ramadan dan Lebaran Idul Fitri yang biasanya mampu mendongkrak keinginan masyarakat untuk membeli mobil baru pun ia nilai juga tidak terlalu berdampak besar, karena daya beli berkaitan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik.
"Diprediksi kalau berlanjut sampai Juli, menuju ke puncak peledakan kedua atau mudik dari Jabodetabek ke daerah lebih meluas dan parah, akibatnya bisa sampai akhir tahun drop dan kebutuhan tersier tidak akan dilihat," ujar Yannes.
Sementara, kondisi ini berbanding lurus dengan keadaan di pelaku industri otomotif, yang ia ibaratkan seperti efek bola salju.
"Efeknya di rantai pasok. Orang tidak ada yang mau beli, industri juga tidak produksi, sales juga tidak ada yang jalan. Kalaupun ada, itu sisa-sisa inden sebelum COVID ini ramai," kata Yannes.
Indonesia, walaupun mampu merakit mobil sendiri dengan komponen lokalnya (local content), juga masih membutuhkan komponen dari negara lain yang memproduksi, seperti India, China, dan Thailand.
"Otomotif ini multinasional, kalau negara induknya (principal) tidak bisa kirim komponen, tidak bisa produksi, jadi tidak bisa dibuat (mobilnya). Saling berkaitan," kata dia.
Yannes juga menilai, komponen lokal yang ada di Indonesia jumlahnya terbatas, dan stok di after market juga tidak memungkinkan untuk dipakai.
Karena terbatasnya stok komponen di dalam negeri, memaksa pelaku industri otomotif tidak dapat menyelesaikan proses perakitan produknya.
Ia berharap, kondisi bisa membaik perlahan setidaknya pada Juli, dimana rantai virus dapat dihentikan dan pemulihan penjualan dan ekonomi dapat terlihat.
"Mudah-mudahan skenario super optimis pada Juli ini sudah normal, sehingga rantai virus ini bisa dihentikan," kata Yannes.
"Akhir tahun bisa pelan-pelan recovery di akhir Desember. Otomatis penjualan hancur, ya, paling bagus 20 persen dari penjualan umum pada periode yang sama di tahun kemarin," pungkasnya.
Baca juga: Ekonom ini usul bunga nol persen untuk kredit mobil listrik
"Sekarang kalau kita lihat industri otomotif mati semua, stop produksi. Diler otomatis pada tutup, dan dia tidak bisa memasarkan kalau tidak ada pegawai. Jalur distribusi ke hilir pun stop," kata Yannes saat dihubungi ANTARA, Kamis (16/4).
Lebih lanjut, dengan ditetapkannya pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional, masyarakat menjadi lebih memprioritaskan kebutuhan primernya daripada tersier seperti membeli kendaraan.
"Di kondisi seperti ini, masyarakat pasti safety first. Akibatnya, kendaraan yang termasuk barang konsumsi tersier, jadi pembelian akan drop drastis," kata akademisi Institut Teknologi Bandung itu.
Momen Ramadan dan Lebaran Idul Fitri yang biasanya mampu mendongkrak keinginan masyarakat untuk membeli mobil baru pun ia nilai juga tidak terlalu berdampak besar, karena daya beli berkaitan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik.
"Diprediksi kalau berlanjut sampai Juli, menuju ke puncak peledakan kedua atau mudik dari Jabodetabek ke daerah lebih meluas dan parah, akibatnya bisa sampai akhir tahun drop dan kebutuhan tersier tidak akan dilihat," ujar Yannes.
Sementara, kondisi ini berbanding lurus dengan keadaan di pelaku industri otomotif, yang ia ibaratkan seperti efek bola salju.
"Efeknya di rantai pasok. Orang tidak ada yang mau beli, industri juga tidak produksi, sales juga tidak ada yang jalan. Kalaupun ada, itu sisa-sisa inden sebelum COVID ini ramai," kata Yannes.
Indonesia, walaupun mampu merakit mobil sendiri dengan komponen lokalnya (local content), juga masih membutuhkan komponen dari negara lain yang memproduksi, seperti India, China, dan Thailand.
"Otomotif ini multinasional, kalau negara induknya (principal) tidak bisa kirim komponen, tidak bisa produksi, jadi tidak bisa dibuat (mobilnya). Saling berkaitan," kata dia.
Yannes juga menilai, komponen lokal yang ada di Indonesia jumlahnya terbatas, dan stok di after market juga tidak memungkinkan untuk dipakai.
Karena terbatasnya stok komponen di dalam negeri, memaksa pelaku industri otomotif tidak dapat menyelesaikan proses perakitan produknya.
Ia berharap, kondisi bisa membaik perlahan setidaknya pada Juli, dimana rantai virus dapat dihentikan dan pemulihan penjualan dan ekonomi dapat terlihat.
"Mudah-mudahan skenario super optimis pada Juli ini sudah normal, sehingga rantai virus ini bisa dihentikan," kata Yannes.
"Akhir tahun bisa pelan-pelan recovery di akhir Desember. Otomatis penjualan hancur, ya, paling bagus 20 persen dari penjualan umum pada periode yang sama di tahun kemarin," pungkasnya.
Baca juga: Ekonom ini usul bunga nol persen untuk kredit mobil listrik