Salatiga (ANTARA) - Indonesia sampai hari ini masih bergelut dengan stunting atau keterlambatan pertumbuhan fisik dan kemampuan berpikir anak.
Masalah serupa juga dihadapi Kota Salatiga, Jawa Tengah, meskipun persentasenya jauh di bawah angka nasional.
Pemerintah Kota Salatiga menegaskan komitmennya untuk terus menekan kasus stunting. Sejumlah upaya dilakukan, antara lain dengan menempatkan posyandu sebagai ujung tombak memerangi stunting dan pelayanan kesehatan umum di tingkat akar rumput.
Hasilnya nyata. Kasus stunting di Kota Salatiga pada 2019 turun 25 persen. Data Dinas Kesehatan Kota Salatiga menunjukkan dari 11.374 balita pada 2018, tercatat yang mengalami stunting 1.660 anak atau 14,6 persen, sedangkan pada 2019 dari 11.155 balita, yang mengidap stunting tercatat 1.227 anak atau hampir 11 persen.
Dibandingikan dengan persentase stunting di Indonesia, prevalensi stunting di Salatiga jauh lebih rendah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi stunting Indonesia memang menurun, namun tetap masih tinggi. Pada 2018 tercatat 30,8 persen, kemudian pada 2019 sedikit menurun menjadi 27,67 persen.
Kendati persentase stunting di kota berhawa sejuk itu relatif rendah, Pemkot Salatiga bertekad terus menurunkannya melalui serangkaian kebijakan langsung dengan melibatkan masyarakat terutama di daerah dengan kasus stunting tinggi.
Salah satu daerah dengan angka stunting tinggi di Salatiga adalah Ledok, Kecamatan Argomulyo. Di daerah ini tercatat 204 balita mengidap stunting.
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa stunting terjadi karena pemenuhan gizi tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
"Ngidam"
Kehamilan menjadi bagian penting dalam pemenuhan gizi bagi jabang bayi dan ibu hamil. Sayangnya, tak jarang ketika mengandung, ibu menginginkan makanan berlebihan atau malah enggan makan secuil makanan dengan dalih sedang "ngidam".
Kader Posyandu Melati Ledok RT 02 RW 12, Argomulyo Salatiga, Noersetiani, ketika ditemui pada 3 Maret 2020 menyatakan seharusnya ibu hamil tidak hanya menggunakan perasaan, namun selalu berpikir dengan logika.
Budaya yang belum tentu terjamin kebenarannya, menurut dia, harus dipikirkan ulang, seperti kepercayaan ketika "ngidam" tidak dituruti maka bayi akan “ngeces”, sehingga "ngidam" untuk tidak makan pun harus dituruti.
Kadang, "ngidam" memang tidak masuk akal, namun karena sudah menjadi budaya, ibu hamil tetap menuruti keinginan aneh yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bayi.
“Bayi di dalam kandungan juga membutuhkan nutrisi, kalau ibu hamil menuruti 'ngidam' tidak mau makan maka nutrisi bayi pun tidak akan terpenuhi," tutur Noersetiani.
Ilustrasi budaya "ngidam". Dok. Yosua
Nutrisi bayi yang tidak terpenuhi pada masa kehamilan menjadi faktor penting penyebab stunting. Pada fase ini diperlukan peran suami untuk memastikan ibu hamil memberikan nutrisi yang cukup bagi kandungannya.
“Dulu saya juga ngidam tidak mau makan, makan buah saja rasanya mual. Tapi suami menunggui saya sampai makanannya habis. Jika tidak mau makan lalu dituruti dan tidak dilawan mungkin anak saya juga bisa stunting,” terang Noersetiani
Kegiatan dalam posyandu dan Kelompok Sayang Ibu (KSI) juga berperan penting dalam menurunkan stunting, antara lain sosialisasi pemenuhan gizi bayi, menyadarkan pentingnya pemenuhan nutrisi selama kehamilan, pendampingan ANC (ante natal care) untuk menjaga kesehatan mental dan fisik ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi badan rutin anak, serta pemberian makanan tambahan (PMT).
Kebijakan tersebut membuahkan hasil. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari strategi kreatif kebijakan Dinas Kesehatan Kota Salatiga. Dinkes sadar bahwa anemia atau kekurangan sel darah merah pada ibu hamil menjadi salah satu penyebab utama terjadinya stunting.
Untuk itu dilakukan pemberian tablet tambah darah bagi semua siswi perempuan di SMP dan SMA sederajat seluruh kota Salatiga. Dengan pemberian tablet tambah darah sedari masih muda, diharapkan akan makin banyak siswi yang tidak anemia sehingga ketika nantinya hamil dapat memenuhi nutrisi darah kandungan, yang akhirnya mampu menurunkan jumlah pengidap stunting.
Terdapat beberapa kebijakan Dinkes Salatiga yang layak ditiru untuk menekan angka stunting, seperti pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI) dan pemberian makanan tambahan (PMT), lokakarya pemulihan gizi (konsultasi anak gizi buruk dengan spesialis gizi), lokakarya air asi eksklusif (seminar ibu hamil).
Kemudian sosialisasi screening hipotiroid kongenital (pemeriksaan darah bayi lahir), kampanye ASI, pengadaan lomba balita untuk memancing semangat disiplin pemenuhan gizi, perawatan ibu hamil anemia, dan gizi buruk di RS, menyediakan rumah pemulihan gizi, serta melakukan koordinasi program gizi (evaluasi kegiatan program gizi).
Serangkaian kebijakan terpadu untuk menanggulangi stunting di Salatiga tersebut membuahkan hasil. Memang belum mencapai satu digit, namun melihat pencapaian pada 2019, diperkirakan Salatiga bakal mampu menekan angka stunting satu digit dalam 3 tahun mendatang.
Kategori berat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan angka stunting sebuah negara di atas 20 persen tergolong berat. Itu artinya Indonesia masuk dalam kategori tersebut. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting Indonesia sebesar 30,8 persen dan pada tahun 2019 menurun 3,1 persen menjadi 27,67 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan Nila F. Moeloek menjelang akhir masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan dalam soft launching Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) di Kantor Kementerian Kesehatan pada 18 Oktober 2019.
Stunting sendiri terjadi akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (golden age).
Dosen Ilmu Gizi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Sarah Davidson mengatakan stunting bersifat tidak dapat diubah atau irreversible, artinya masyarakat harus lebih mengenal penyebab maupun tanda stunting dalam rangka pencegahan.
“Stunting terjadi karena kurangnya pemenuhan gizi masa lampau dalam periode lama, kita tidak bisa mengubah tapi berupaya untuk mengoptimalkan anak yang sudah stunting dan berfokus pada pencegahan.” tutur Sarah.
Ia juga menjelaskan dua faktor utama penyebab stunting layaknya lingkaran setan adalah nutrisi makanan yang masuk dan infeksi.
Ibu hamil harus memenuhi asupan makanan lengkap selama masa kehamilan, mulai dari energi, protein, lemak, serat, dan mineral. Kalori yang dibutuhkan sekitar 350 – 400 kl tambahan dari jumlah kalori awal kebutuhan ibu hamil.
Selain itu, ibu hamil juga harus melakukan pola hidup sehat (sanitasi) untuk menjaga kesehatan dan menghindari infeksi.
Ketika sang ibu sakit maka nutrisi yang masuk akan digunakan terlebih dahulu untuk menyembuhkan ibu, artinya bisa saja kandungan tidak cukup memperoleh nutrisi yang mungkin habis untuk pemulihan sang ibu.
Seorang anak dikatakan stunting apabila badan lebih pendek dibanding anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih kecil dibanding anak seusianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, serta pertumbuhan tulang dan kemampuan berpikir (kognitif) lambat.
Buktinya masih banyak masyarakat yang belum sadar akan bahaya stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Salatiga, praktik pola pengasuhan yang tidak baik masih banyak terjadi.
Sekitar 60 persen dari bayi usia 0-6 bulan, misalnya, tidak mendapat ASI eksklusif. Kemudian 2 dari 3 bayi usia 0-24 bulan tidak menerima MPASI bergizi, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai, 1 dari 3 ibu hamil terkena anemia, 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di pendidikan anak usia dini (PAUD), 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Makin tinggi angka stunting Indonesia maka kian besar pula bencana populasi negara. Keterlambatan kemampuan berpikir akan menyulitkan anak memperoleh prestasi belajar.
Selain itu, anak yang mengalami stunting dapat menurunkan kekebalan tubuhnya sehingga bisa dengan mudah sakit dan cenderung memiliki risiko tinggi terkena diabetes, kegemukan, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
Jika makin banyak anak dengan kondisi tersebut maka kemajuan negara akan turut melambat mengingat anak-anak merupakan calon penerus bangsa. Padahal pada tahun 2030 Indonesia memasuki masa bonus demografi yaitu usia muda mendominasi struktur usia negara.
Untuk mencegah stunting diperlukan usaha bersama dalam menyadarkan pentingnya pemenuhan gizi di masyarakat terkhusus optimalisasi intervensi pemerintah, berupa intervensi dengan sasaran ibu hamil, intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan bayi 0-6 bulan, intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak 7-23 bulan.
Berbagai intervensi gizi sensitif tersebut diperlukan untuk memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi sehingga nantinya tidak stunting, dan anak akan memiliki tumbuh kembang yang baik. ***
(Bahan dikumpulkan dan diolah oleh: Mulia, Lulu, Vira, Oliv, Lisa, Widya, Yosua, Hanan, Carlos, Bintang, Arya)
Masalah serupa juga dihadapi Kota Salatiga, Jawa Tengah, meskipun persentasenya jauh di bawah angka nasional.
Pemerintah Kota Salatiga menegaskan komitmennya untuk terus menekan kasus stunting. Sejumlah upaya dilakukan, antara lain dengan menempatkan posyandu sebagai ujung tombak memerangi stunting dan pelayanan kesehatan umum di tingkat akar rumput.
Hasilnya nyata. Kasus stunting di Kota Salatiga pada 2019 turun 25 persen. Data Dinas Kesehatan Kota Salatiga menunjukkan dari 11.374 balita pada 2018, tercatat yang mengalami stunting 1.660 anak atau 14,6 persen, sedangkan pada 2019 dari 11.155 balita, yang mengidap stunting tercatat 1.227 anak atau hampir 11 persen.
Dibandingikan dengan persentase stunting di Indonesia, prevalensi stunting di Salatiga jauh lebih rendah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi stunting Indonesia memang menurun, namun tetap masih tinggi. Pada 2018 tercatat 30,8 persen, kemudian pada 2019 sedikit menurun menjadi 27,67 persen.
Kendati persentase stunting di kota berhawa sejuk itu relatif rendah, Pemkot Salatiga bertekad terus menurunkannya melalui serangkaian kebijakan langsung dengan melibatkan masyarakat terutama di daerah dengan kasus stunting tinggi.
Salah satu daerah dengan angka stunting tinggi di Salatiga adalah Ledok, Kecamatan Argomulyo. Di daerah ini tercatat 204 balita mengidap stunting.
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa stunting terjadi karena pemenuhan gizi tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
"Ngidam"
Kehamilan menjadi bagian penting dalam pemenuhan gizi bagi jabang bayi dan ibu hamil. Sayangnya, tak jarang ketika mengandung, ibu menginginkan makanan berlebihan atau malah enggan makan secuil makanan dengan dalih sedang "ngidam".
Kader Posyandu Melati Ledok RT 02 RW 12, Argomulyo Salatiga, Noersetiani, ketika ditemui pada 3 Maret 2020 menyatakan seharusnya ibu hamil tidak hanya menggunakan perasaan, namun selalu berpikir dengan logika.
Budaya yang belum tentu terjamin kebenarannya, menurut dia, harus dipikirkan ulang, seperti kepercayaan ketika "ngidam" tidak dituruti maka bayi akan “ngeces”, sehingga "ngidam" untuk tidak makan pun harus dituruti.
Kadang, "ngidam" memang tidak masuk akal, namun karena sudah menjadi budaya, ibu hamil tetap menuruti keinginan aneh yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bayi.
“Bayi di dalam kandungan juga membutuhkan nutrisi, kalau ibu hamil menuruti 'ngidam' tidak mau makan maka nutrisi bayi pun tidak akan terpenuhi," tutur Noersetiani.
Nutrisi bayi yang tidak terpenuhi pada masa kehamilan menjadi faktor penting penyebab stunting. Pada fase ini diperlukan peran suami untuk memastikan ibu hamil memberikan nutrisi yang cukup bagi kandungannya.
“Dulu saya juga ngidam tidak mau makan, makan buah saja rasanya mual. Tapi suami menunggui saya sampai makanannya habis. Jika tidak mau makan lalu dituruti dan tidak dilawan mungkin anak saya juga bisa stunting,” terang Noersetiani
Kegiatan dalam posyandu dan Kelompok Sayang Ibu (KSI) juga berperan penting dalam menurunkan stunting, antara lain sosialisasi pemenuhan gizi bayi, menyadarkan pentingnya pemenuhan nutrisi selama kehamilan, pendampingan ANC (ante natal care) untuk menjaga kesehatan mental dan fisik ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi badan rutin anak, serta pemberian makanan tambahan (PMT).
Kebijakan tersebut membuahkan hasil. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari strategi kreatif kebijakan Dinas Kesehatan Kota Salatiga. Dinkes sadar bahwa anemia atau kekurangan sel darah merah pada ibu hamil menjadi salah satu penyebab utama terjadinya stunting.
Untuk itu dilakukan pemberian tablet tambah darah bagi semua siswi perempuan di SMP dan SMA sederajat seluruh kota Salatiga. Dengan pemberian tablet tambah darah sedari masih muda, diharapkan akan makin banyak siswi yang tidak anemia sehingga ketika nantinya hamil dapat memenuhi nutrisi darah kandungan, yang akhirnya mampu menurunkan jumlah pengidap stunting.
Terdapat beberapa kebijakan Dinkes Salatiga yang layak ditiru untuk menekan angka stunting, seperti pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI) dan pemberian makanan tambahan (PMT), lokakarya pemulihan gizi (konsultasi anak gizi buruk dengan spesialis gizi), lokakarya air asi eksklusif (seminar ibu hamil).
Kemudian sosialisasi screening hipotiroid kongenital (pemeriksaan darah bayi lahir), kampanye ASI, pengadaan lomba balita untuk memancing semangat disiplin pemenuhan gizi, perawatan ibu hamil anemia, dan gizi buruk di RS, menyediakan rumah pemulihan gizi, serta melakukan koordinasi program gizi (evaluasi kegiatan program gizi).
Serangkaian kebijakan terpadu untuk menanggulangi stunting di Salatiga tersebut membuahkan hasil. Memang belum mencapai satu digit, namun melihat pencapaian pada 2019, diperkirakan Salatiga bakal mampu menekan angka stunting satu digit dalam 3 tahun mendatang.
Kategori berat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan angka stunting sebuah negara di atas 20 persen tergolong berat. Itu artinya Indonesia masuk dalam kategori tersebut. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting Indonesia sebesar 30,8 persen dan pada tahun 2019 menurun 3,1 persen menjadi 27,67 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan Nila F. Moeloek menjelang akhir masa jabatannya sebagai Menteri Kesehatan dalam soft launching Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) di Kantor Kementerian Kesehatan pada 18 Oktober 2019.
Stunting sendiri terjadi akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (golden age).
Dosen Ilmu Gizi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Sarah Davidson mengatakan stunting bersifat tidak dapat diubah atau irreversible, artinya masyarakat harus lebih mengenal penyebab maupun tanda stunting dalam rangka pencegahan.
“Stunting terjadi karena kurangnya pemenuhan gizi masa lampau dalam periode lama, kita tidak bisa mengubah tapi berupaya untuk mengoptimalkan anak yang sudah stunting dan berfokus pada pencegahan.” tutur Sarah.
Ia juga menjelaskan dua faktor utama penyebab stunting layaknya lingkaran setan adalah nutrisi makanan yang masuk dan infeksi.
Ibu hamil harus memenuhi asupan makanan lengkap selama masa kehamilan, mulai dari energi, protein, lemak, serat, dan mineral. Kalori yang dibutuhkan sekitar 350 – 400 kl tambahan dari jumlah kalori awal kebutuhan ibu hamil.
Selain itu, ibu hamil juga harus melakukan pola hidup sehat (sanitasi) untuk menjaga kesehatan dan menghindari infeksi.
Ketika sang ibu sakit maka nutrisi yang masuk akan digunakan terlebih dahulu untuk menyembuhkan ibu, artinya bisa saja kandungan tidak cukup memperoleh nutrisi yang mungkin habis untuk pemulihan sang ibu.
Seorang anak dikatakan stunting apabila badan lebih pendek dibanding anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih kecil dibanding anak seusianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, serta pertumbuhan tulang dan kemampuan berpikir (kognitif) lambat.
Buktinya masih banyak masyarakat yang belum sadar akan bahaya stunting. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Salatiga, praktik pola pengasuhan yang tidak baik masih banyak terjadi.
Sekitar 60 persen dari bayi usia 0-6 bulan, misalnya, tidak mendapat ASI eksklusif. Kemudian 2 dari 3 bayi usia 0-24 bulan tidak menerima MPASI bergizi, 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai, 1 dari 3 ibu hamil terkena anemia, 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di pendidikan anak usia dini (PAUD), 1 dari 5 rumah tangga masih BAB di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Makin tinggi angka stunting Indonesia maka kian besar pula bencana populasi negara. Keterlambatan kemampuan berpikir akan menyulitkan anak memperoleh prestasi belajar.
Selain itu, anak yang mengalami stunting dapat menurunkan kekebalan tubuhnya sehingga bisa dengan mudah sakit dan cenderung memiliki risiko tinggi terkena diabetes, kegemukan, penyakit jantung, pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.
Jika makin banyak anak dengan kondisi tersebut maka kemajuan negara akan turut melambat mengingat anak-anak merupakan calon penerus bangsa. Padahal pada tahun 2030 Indonesia memasuki masa bonus demografi yaitu usia muda mendominasi struktur usia negara.
Untuk mencegah stunting diperlukan usaha bersama dalam menyadarkan pentingnya pemenuhan gizi di masyarakat terkhusus optimalisasi intervensi pemerintah, berupa intervensi dengan sasaran ibu hamil, intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan bayi 0-6 bulan, intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak 7-23 bulan.
Berbagai intervensi gizi sensitif tersebut diperlukan untuk memastikan kebutuhan gizi anak terpenuhi sehingga nantinya tidak stunting, dan anak akan memiliki tumbuh kembang yang baik. ***
(Bahan dikumpulkan dan diolah oleh: Mulia, Lulu, Vira, Oliv, Lisa, Widya, Yosua, Hanan, Carlos, Bintang, Arya)