Solo (ANTARA) - Desainer busana muslim asal Kota Solo, Tuty Adib membawa 12 koleksi pada pergelaran "New York Fashion Week" (NYFW), Amerika Serikat pada 3-13 september 2019.
"Kami berangkat bersebelas tergabung dalam 'Indonesia Modest Fashion Desainer'," katanya di Solo, Rabu.
Pada pergelaran tersebut, ia menampilkan koleksi busana yang mengangkat tenun Balai Panjang Sumatra Barat dengan tema "Blossom Minang". Menurut dia, ini kali kedua wanita tersebut mengangkat tenun balai panjang ke event fashion internasional.
Tuty mengangkat tenun Balai Panjang karena memiliki ciri khas motif yang terinspirasi dari kekayaan seni budaya, salah satunya flora khas kota Payakumbuh Sumatra Barat.
"Untuk motif busana tetap menghargai kekayaan seni wastra nusantara Payakumbuh dengan motif lokal sebagai ciri khas namun dikonsep dengan modern, salah satunya saya menggunakan tanaman kumbu yang merupakan jenis tumbuhan rawa untuk dijadikan sebagai salah satu motif khas tenun Payakumbuh. Motif ini saya sematkan di dada dan lengan busana," katanya.
Ia mengatakan motif tersebut dikembangkan dengan berbagai modifikasi yang terinspirasi dari berbagai motif tradisional setempat, seperti itik tabang atau itik terbang dan gonjong limo.
Baca juga: Jateng In Fashion diharapkan padukan desainer dengan UKM
Selain menggunakan kain tenun balai panjang, ia juga menggunakan bahan lain seperti brokat, organdy, taffeta, dan sifon. Selain gamis, beberapa model lain yang didesainnya di antaranya konsep padu padan celana panjang, outer, dan blus.
"Untuk busananya sengaja saya rancang agar tetap menimbulkan kesan chic, feminin, dan elegan. Saya juga menggunakan teknik 'cutting' (potong, red) dengan siluet H," katanya.
Menariknya, pada koleksinya tersebut Tuty mengangkat konsep ramah lingkungan, salah satunya dengan menggunakan pewarna alami, seperti warna alam coklat, kuning, dan merah marun.
"Semua sudah mulai 'go green' dan 'sustainable' (berkesinambungan, red). Dengan merebaknya fenomena 'fast fashion' menjadi catatan khusus bagi dunia fashion bahwa fashion ini berdampak pada sampah karena baju yang dipakai 1-2 kali dipakai sudah rusak. Kita harus membuat fashion yang lebih sustain sehingga harga jual juga bisa lebih tinggi," katanya.
Selain pakaian, ia juga melengkapi koleksinya dengan sepatu yang terbuat dari anyaman batang tanaman mansiang. Ia mengatakan sepatu tersebut terasa ringan saat dipakai karena tanpa menggunakan alas dari kayu.
"Di dalamnya terdiri dari spon gabus padat dilapisi batang mansiang," katanya.
Ia berharap melalui keikutsertaannya di "New York Fashion Week" tersebut tenun dan batik makin diapresiasi dunia internasional.
"Kalau itu naik kan berdampak baik bagi pengrajin juga," katanya.
Baca juga: Enam desainer Indonesia ikut pagelaran Contemporary Muslim Fashions
"Kami berangkat bersebelas tergabung dalam 'Indonesia Modest Fashion Desainer'," katanya di Solo, Rabu.
Pada pergelaran tersebut, ia menampilkan koleksi busana yang mengangkat tenun Balai Panjang Sumatra Barat dengan tema "Blossom Minang". Menurut dia, ini kali kedua wanita tersebut mengangkat tenun balai panjang ke event fashion internasional.
Tuty mengangkat tenun Balai Panjang karena memiliki ciri khas motif yang terinspirasi dari kekayaan seni budaya, salah satunya flora khas kota Payakumbuh Sumatra Barat.
"Untuk motif busana tetap menghargai kekayaan seni wastra nusantara Payakumbuh dengan motif lokal sebagai ciri khas namun dikonsep dengan modern, salah satunya saya menggunakan tanaman kumbu yang merupakan jenis tumbuhan rawa untuk dijadikan sebagai salah satu motif khas tenun Payakumbuh. Motif ini saya sematkan di dada dan lengan busana," katanya.
Ia mengatakan motif tersebut dikembangkan dengan berbagai modifikasi yang terinspirasi dari berbagai motif tradisional setempat, seperti itik tabang atau itik terbang dan gonjong limo.
Baca juga: Jateng In Fashion diharapkan padukan desainer dengan UKM
Selain menggunakan kain tenun balai panjang, ia juga menggunakan bahan lain seperti brokat, organdy, taffeta, dan sifon. Selain gamis, beberapa model lain yang didesainnya di antaranya konsep padu padan celana panjang, outer, dan blus.
"Untuk busananya sengaja saya rancang agar tetap menimbulkan kesan chic, feminin, dan elegan. Saya juga menggunakan teknik 'cutting' (potong, red) dengan siluet H," katanya.
Menariknya, pada koleksinya tersebut Tuty mengangkat konsep ramah lingkungan, salah satunya dengan menggunakan pewarna alami, seperti warna alam coklat, kuning, dan merah marun.
"Semua sudah mulai 'go green' dan 'sustainable' (berkesinambungan, red). Dengan merebaknya fenomena 'fast fashion' menjadi catatan khusus bagi dunia fashion bahwa fashion ini berdampak pada sampah karena baju yang dipakai 1-2 kali dipakai sudah rusak. Kita harus membuat fashion yang lebih sustain sehingga harga jual juga bisa lebih tinggi," katanya.
Selain pakaian, ia juga melengkapi koleksinya dengan sepatu yang terbuat dari anyaman batang tanaman mansiang. Ia mengatakan sepatu tersebut terasa ringan saat dipakai karena tanpa menggunakan alas dari kayu.
"Di dalamnya terdiri dari spon gabus padat dilapisi batang mansiang," katanya.
Ia berharap melalui keikutsertaannya di "New York Fashion Week" tersebut tenun dan batik makin diapresiasi dunia internasional.
"Kalau itu naik kan berdampak baik bagi pengrajin juga," katanya.
Baca juga: Enam desainer Indonesia ikut pagelaran Contemporary Muslim Fashions