Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kehilangan muruahnya seiring dengan disahkannya Undang-Undang KPK.
"Dengan undang-undang ini (UU KPK hasil revisi, red.) berarti ada suatu paradigma baru pemberantasan korupsi, yang tadinya ada kewenangan yang luar biasa oleh KPK, baik penyadapan maupun upaya paksa, sekarang tidak ada suatu yang ekstra di KPK. Dengan undang-undang yang baru ini, tidak ada suatu keindependenan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Dengan paradigma yang baru tersebut, dia menduga pemerintah mengambil tengah-tengah yang berarti tidak melakukan penindakan, sedangkan pencegahan juga tidak.
Baca juga: Ini analisis Fahri mengapa Jokowi setujui revisi UU KPK
Oleh karena itu, kata dia, orang-orang mengatakan hal itu sebagai kemunduran bagi KPK yang selama ini bertindak sebagai lembaga antirasuah.
"Dengan demikian, KPK seperti lembaga biasa, dampak undang-undang ini (KPK) sebagai lembaga biasa, bukan sebagai komisi yang extraordinaire (luar biasa) dan bukan sebagai komisi yang punya 'independensi' tinggi," katanya.
Menurut dia, hal itu disebabkan sudah adanya dewan pengawas di KPK, penyadapan juga harus dengan izin dan sebagainya.
"Jadi, ya, memang 'formula baru' penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Menurut dia, UU KPK hasil revisi tersebut tidak ada nilai penguatannya meskipun pemerintah mengatakan memberi penguatan kepada lembaga antirasuah itu.
"Jadi, kalau orang mengatakan 'mengebiri' (itu) iya, tapi mungkin itu yang diinginkan pemerintah sekarang. Kalau kemarin 'kan terlalu luas sehingga dibatasi," katanya.
Baca juga: Presiden Jokowi: Tak ada pengembalian mandat dalam UU KPK
Oleh karena itu, kata dia, berkaitan dengan penegakan hukum ke depan kemungkinan mundur, bukan lagi maju.
"Jalan di tempat, sih, bagus. Akan tetapi, mundur kelihatannya," tegas Hibnu.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tugas memberantas korupsi memang harus berjalan tetapi perangkat undang-undangnya tidak seperti yang diharapkan.
Menurut dia, semangat KPK untuk memberantas korupsi masih ada tetapi semangat itu butuh regulasi.
"Akan tetapi, ketika regulasinya seperti yang kita lihat sekarang, ya, tidak banyak yang bisa kita harapkan," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengaku melihat adanya pola perubahan di KPK, yakni dari penindakan ke pencegahan.
"Dengan demikian, lebih baik dinamakan Kantor Pencegahan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi itu lebih bagus," katanya.
Baca juga: KPK terus lawan korupsi, Febri: Tak boleh patah arang
"Dengan undang-undang ini (UU KPK hasil revisi, red.) berarti ada suatu paradigma baru pemberantasan korupsi, yang tadinya ada kewenangan yang luar biasa oleh KPK, baik penyadapan maupun upaya paksa, sekarang tidak ada suatu yang ekstra di KPK. Dengan undang-undang yang baru ini, tidak ada suatu keindependenan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Dengan paradigma yang baru tersebut, dia menduga pemerintah mengambil tengah-tengah yang berarti tidak melakukan penindakan, sedangkan pencegahan juga tidak.
Baca juga: Ini analisis Fahri mengapa Jokowi setujui revisi UU KPK
Oleh karena itu, kata dia, orang-orang mengatakan hal itu sebagai kemunduran bagi KPK yang selama ini bertindak sebagai lembaga antirasuah.
"Dengan demikian, KPK seperti lembaga biasa, dampak undang-undang ini (KPK) sebagai lembaga biasa, bukan sebagai komisi yang extraordinaire (luar biasa) dan bukan sebagai komisi yang punya 'independensi' tinggi," katanya.
Menurut dia, hal itu disebabkan sudah adanya dewan pengawas di KPK, penyadapan juga harus dengan izin dan sebagainya.
"Jadi, ya, memang 'formula baru' penegakan hukum di Indonesia," katanya.
Menurut dia, UU KPK hasil revisi tersebut tidak ada nilai penguatannya meskipun pemerintah mengatakan memberi penguatan kepada lembaga antirasuah itu.
"Jadi, kalau orang mengatakan 'mengebiri' (itu) iya, tapi mungkin itu yang diinginkan pemerintah sekarang. Kalau kemarin 'kan terlalu luas sehingga dibatasi," katanya.
Baca juga: Presiden Jokowi: Tak ada pengembalian mandat dalam UU KPK
Oleh karena itu, kata dia, berkaitan dengan penegakan hukum ke depan kemungkinan mundur, bukan lagi maju.
"Jalan di tempat, sih, bagus. Akan tetapi, mundur kelihatannya," tegas Hibnu.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tugas memberantas korupsi memang harus berjalan tetapi perangkat undang-undangnya tidak seperti yang diharapkan.
Menurut dia, semangat KPK untuk memberantas korupsi masih ada tetapi semangat itu butuh regulasi.
"Akan tetapi, ketika regulasinya seperti yang kita lihat sekarang, ya, tidak banyak yang bisa kita harapkan," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengaku melihat adanya pola perubahan di KPK, yakni dari penindakan ke pencegahan.
"Dengan demikian, lebih baik dinamakan Kantor Pencegahan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi itu lebih bagus," katanya.
Baca juga: KPK terus lawan korupsi, Febri: Tak boleh patah arang