Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai pembahasan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tampak tertutup dan dilakukan buru-buru.
"Mengapa UU KPK itu seakan-akan tertutup dan dikebut diselesaikan? Ada kegentingan apa sehingga tertutup antara pemerintah dan parlemen? Contohnya diusulkan oleh badan legislasi dimasukkan ke paripurna, pendapat para fraksi pun tidak terbuka tapi ditulis dan langsung diketok dikirim ke pemerintah. Presiden seharusnya punya waktu 60 hari untuk memikirkan itu tapi tidak lama surat persetujuan dikirim lagi ke DPR," kata Laode di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Baca juga: Abraham Samad: Jika revisi UU KPK disetujui, koruptor harus dikeluarkan
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.
"Dari semua surat itu yang akan direvisi kan UU KPK, seharusnya surat ditembuskan juga ke KPK agar kami bisa melihat supaya kalau mau diganti jadi A, kami sesuaikan, kalau pergantian ke arah x maka bisa kami sikapi seperti apa tapi sampai hari ini kami tidak bisa memberikan sikap karena proses itu tertutup," ungkap Laode.
Padahal menurut Laode, Indonesia bukan negara tertutup tapi negara demokrasi.
Baca juga: UNS: tolak segala bentuk pelemahan KPK
"Negara ini menjunjung tinggi transparansi oleh karena itu kita harus meminta kepada DPR dan parlemen untuk mentransparankan semua kalau semua sudah terbuka maka kita bisa menilai secara bersama. Semoga tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam proses UU KPK itu," ungkap Laode.
Pimpinan KPK sebelumnya sudah menyatakan menolak revisi UU KPK tersebut. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.
Sejumlah keberatan KPK terhadap RUU KPK tersebut adalah (1) pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai tetap akan berubah dengan merujuk kepada UU Aparatur Sipil Negara (ASN), (2) KPK memiliki Dewan Pengawas dan menghapus penasihat karena dalam draf unsur KPK adalah pimpinan, Dewan Pengawas dan pegawai (3) KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.
Selanjutnya (4) penyelidik hanya boleh dari kepolisian, (5) tidak ada penyidik independen, (6) penuntutan KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, (7) Hilangnya kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik, (8) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan pentutan.
Kemudian (9) KPK hanya menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, (10) Definisi penyelenggara negara dipersempit, (11) KPK tidak berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, (12) KPK hanya berwenang mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan, (13) Kewenangan khusus penegakan hukum yang dimiliki KPK hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, (14) Pimpinan KPK bukan lagi penyidik, penuntut umum dan penanggung jawab tertinggi KPK.
Masih ada (15) KPK harus mengikuti prosedur khusus jika memeriksa tersangka, (16) hasil penggeledahan dan penyitaan bisa dilelang tanpa mekanisme hukum yang jelas, (17) ketentuan peralihan tidak memberikan kepastian hukum.
"Mengapa UU KPK itu seakan-akan tertutup dan dikebut diselesaikan? Ada kegentingan apa sehingga tertutup antara pemerintah dan parlemen? Contohnya diusulkan oleh badan legislasi dimasukkan ke paripurna, pendapat para fraksi pun tidak terbuka tapi ditulis dan langsung diketok dikirim ke pemerintah. Presiden seharusnya punya waktu 60 hari untuk memikirkan itu tapi tidak lama surat persetujuan dikirim lagi ke DPR," kata Laode di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Baca juga: Abraham Samad: Jika revisi UU KPK disetujui, koruptor harus dikeluarkan
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.
"Dari semua surat itu yang akan direvisi kan UU KPK, seharusnya surat ditembuskan juga ke KPK agar kami bisa melihat supaya kalau mau diganti jadi A, kami sesuaikan, kalau pergantian ke arah x maka bisa kami sikapi seperti apa tapi sampai hari ini kami tidak bisa memberikan sikap karena proses itu tertutup," ungkap Laode.
Padahal menurut Laode, Indonesia bukan negara tertutup tapi negara demokrasi.
Baca juga: UNS: tolak segala bentuk pelemahan KPK
"Negara ini menjunjung tinggi transparansi oleh karena itu kita harus meminta kepada DPR dan parlemen untuk mentransparankan semua kalau semua sudah terbuka maka kita bisa menilai secara bersama. Semoga tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam proses UU KPK itu," ungkap Laode.
Pimpinan KPK sebelumnya sudah menyatakan menolak revisi UU KPK tersebut. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.
Sejumlah keberatan KPK terhadap RUU KPK tersebut adalah (1) pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai tetap akan berubah dengan merujuk kepada UU Aparatur Sipil Negara (ASN), (2) KPK memiliki Dewan Pengawas dan menghapus penasihat karena dalam draf unsur KPK adalah pimpinan, Dewan Pengawas dan pegawai (3) KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.
Selanjutnya (4) penyelidik hanya boleh dari kepolisian, (5) tidak ada penyidik independen, (6) penuntutan KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, (7) Hilangnya kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik, (8) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan pentutan.
Kemudian (9) KPK hanya menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, (10) Definisi penyelenggara negara dipersempit, (11) KPK tidak berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, (12) KPK hanya berwenang mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan, (13) Kewenangan khusus penegakan hukum yang dimiliki KPK hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, (14) Pimpinan KPK bukan lagi penyidik, penuntut umum dan penanggung jawab tertinggi KPK.
Masih ada (15) KPK harus mengikuti prosedur khusus jika memeriksa tersangka, (16) hasil penggeledahan dan penyitaan bisa dilelang tanpa mekanisme hukum yang jelas, (17) ketentuan peralihan tidak memberikan kepastian hukum.