Jakarta (ANTARA) - Autisme memengaruhi lebih dari satu persen populasi umum atau memengaruhi 1:59 subjek, dan memiliki karakteristik dua gejala utama, yakni gangguan komunikasi sosial dan aktivitas. Gangguan komunikasi dan aktivitas itu berupa minat, perilaku terbatas, dan berulang. Karakteristik tersebut semakin jelas saat anak berusia 3 tahun.
Problematika terbesar autisme dipicu oleh berbagai gejala, seperti iritabilitas, cemas, agresi, kompulsi, kestabilan mood, permasalahan gastrointestinal (saluran pencernaan), depresi, dan gangguan tidur.
Kelainan yang juga disebut sebagai autism spectrum disorders ini memiliki penyebab yang multifaktor dan poligenik. Kombinasi dari faktor genetik, epigenetik, dan interaksi lingkungan, termasuk agen infeksi, polusi udara, organofosfat, dan logam berat.
Pada autisme, mutasi de novo bersifat heterogen dan hanya dijumpai pada kurang dari 1 persen kasus. Beberapa subset gen teridentifikasi dalam autisme, mengindikasikan sifat poligenik, misalnya CHD8, DYRK1, FMR1, NLGN3, PTEN, dan delesi 16p11. Kesemuanya boleh jadi terlibat dalam perubahan volume otak dan konektivitas sistem persarafan. Sebagian fungsinya dapat dipelajari melalui hewan coba dan sel-sel manusia yang telah melalui upaya rekayasa genetika.
Beberapa proses biokimiawi juga terkait dengan autisme. Contohnya, disbiosis intestinal, disfungsi mitokondria, keterbatasan produksi glutathione, stres oksidatif (termasuk stres retikulum endoplasmik), penurunan kapasitas metilasi, peningkatan logam toksik, serta berbagai abnormalitas imun lainnya.
Survei epidemiologi menyatakan bahwa prevalensi autisme di dunia sekitar 77 per 10 ribu populasi. Di beberapa negara, angka autisme beraneka-ragam. Prevalensi di Oman, diperkirakan 1,4 kasus di antara 10 ribu anak berusia 0-14 tahun terdiagnosis autisme.
Di Libya, prevalensinya 1 dari 300. Di Mesir dan Tunisia, rerata frekuensi autisme sebesar 33,6 persen dan 11,5 persen. Di Arab Saudi, prevalensi autisme 18 per 10 ribu anak-anak. Di Uni Emirat Arab, 29 dari 10 ribu anak didiagnosis autisme. Menurut kemenpppa.go.id (2018), penyandang autisme di Indonesia kini mencapai 2,4 juta orang.
Autisme dapat didiagnosis melalui uji psikometrik dan observasi. Oleh karena itu, diagnosis klinis dibuat berdasarkan ada atau tidaknya perilaku inti.
Kriteria DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, International Classification of Diseases, Eleventh Revision, Clinical Modification (ICD-11-CM), dan Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) digunakan oleh tim medis (psikiater, neurolog, ahli pediatri, dokter umum), psikolog, dan profesional sebagai standar baku untuk penegakan diagnosis autisme.
Multiperspektif
Tatalaksana autisme bervariasi dan multiperspektif. Dapat menggunakan terapi konvensional, seperti pelatihan keterampilan sosial, terapi perilaku intensif dini, analisis perilaku teraplikasi, terapi wicara, terapi okupasi, disertai medikamentosa golongan psikotropika, stimulasi magnetik transkranial.
Beberapa tatalaksana alternatif lain berpotensi pula sebagai tatalaksana pelengkap autisme, seperti: terapi musik, terapi oksigen hiperbarik, terapi perilaku sosial dan kognitif, terapi menulis, terapi menggambar, terapi warna, terapi puisi, serta intervensi psikososial. Tatalaksana hormonal dengan oksitosin juga menjanjikan dalam mengatasi gejala inti autisme.
Penggunaan vitamin, suplementasi nutrisi tertentu, herbal, minyak esensial, serta terapi konvensional memiliki beberapa efek dalam perbaikan simtomatik autisme, meskipun studi dan riset lanjutan diperlukan sebagai konfirmasi.
Perkembangan teknologi terkini berbasis genomik, rekayasa genetika, dan bioinformatika berhasil melahirkan intervensi terbaru untuk autisme. Misalnya: terapi gen dan terapi stem cell yang berpotensi besar mengatasi autisme.
Ada indikasi kuat bahwa diagnosis dini, diiringi intervensi dini, dapat menjadi indikator prognostik yang baik untuk autisme.
stem cell
Beberapa tipe stem cell berpotensi dikembangkan sebagai terapi autisme. Misalnya: fetal stem cells (FSCs) yang berasal dari janin, darah janin, plasenta, membran amnion, cairan amnion, dan tali pusat. Mekanisme aksi FSCs dalam terapi autisme melalui sekresi berbagai faktor neurotrofik dan imunomodulator yang memicu pertumbuhan neuron, serta menghambat (supresi) aksi sitokin-sitokin proinflamasi. Keistimewaan karakteristik inilah yang membuat FSCs sebagai kandidat potensial untuk terapi autisme dan berbagai penyakit neurodegeneratif lainnya.
FSCs yang berasal dari sumsum tulang mengekspresikan marker pluripoten, seperti: Nanog, Tra-1-81, Oct-4, SSEA-3, Tra-1-60, Rex-1, SSEA-4, dan menunjukkan aktivitas telomerase yang lebih tinggi, yang membuatnya cocok sebagai kandidat terapeutik.
Mesenchymal stem cells (MSCs) dijumpai di hampir semua jaringan dewasa. MSCs berasal dari sumsum tulang dan tali pusat (umbilical cord). Bila digunakan sebagai terapi autisme, maka mekanisme aksinya melalui sekresi parakrin dari beberapa anti-inflamasi dan beragam molekul atau faktor survival-promoting (seperti: VEGF, HGF, BDNF, NGF), efek-efek neuroprotektif, melalui mekanisme hipoimunogenik dan imunosupresif, induksi plastisitas, dan engrafting menjadi jaringan saraf.
MSCs dipercaya sebagai kandidat terapi seluler karena memiliki multifungsi, seperti: kecepatan proliferasi, diferensiasi menjadi tipe-tipe sel endodermal dan ektodermal, sekresi berbagai faktor trofik, dan aksi imunomodulator.
Selain keistimewaan karakteristik di atas, MSCs juga memiliki kemampuan neuroproteksi terutama melalui sekresi berbagai faktor imunomodulator dan neurotrofik, lalu memfasilitasi rekrutmen stem cell endogen untuk memicu regenerasi dan proses downregulating sel-sel T, sel-sel B, dan sel-sel NK dari sistem imun.
Hal inilah yang menjadikan MSCs sebagai kandidat uji clinical trials untuk berbagai macam penyakit. Misalnya: stroke, multipel sklerosis, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, penyakit Alzheimer, dan penyakit autoimun sistemik.
Neural stem cells (NSCs), berasal dari otak (terutama dari zona subventrikular dari ventrikel lateral dan zona subgranular dari hipokampus). Mekanisme aksi NSCs melalui sekresi faktor-faktor neurotrofik, pemeliharaan homeostasis, efek-efek neuroprotektif, dan diferensiasi menjadi sel-sel saraf. NSCs janin bersifat multipoten, memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri, dapat berdiferensiasi menjadi neuron, oligodendrosit, dan astrosit.
Adipose-derived stem cells (ASCs) adalah sel punca yang diisolasi dari berbagai jaringan lemak (adipose) yang berbeda di tubuh melalui proses invasif minimal. Mekanisme kerja ASCs melalui sekresi berbagai faktor trofik, efek imunosupresif dan hipoimunogenik. Sama seperti halnya MSCs, ASCs bersifat plastic adherent, mampu berdeferensiasi menjadi sel dari tiga lapis germinal, mengekspresikan CD44, CD73, CD90, CD105, CD166, sedikit atau tidak mengekspresikan CD34 dan CD45.
Umbilical cord- and amniotic fluid-derived stem cells (UC-AFSCs) adalah sel punca yang berasal dari tali pusat, plasenta, dan cairan amnion. Mekanisme aksi UC-AFSCs melalui kapasitas pertumbuhan in vitro, efek imunogenisitas yang rendah, serta imunomodulasi.
Wharton Jelly dari tali pusat dan cairan amnion merupakan sumber stem cells dengan kapasitas pertumbuhan in vitro tinggi, mengekspresikan profil antigen tipikal dari MSCs. Keuntungan UC-AFSCs adalah tidak ada kontroversi etis, tidak berisiko terbentuk menjadi teratoma, dan dapat dipakai untuk transplantasi autologus setelah proses banking.
Hematopoietic stem cells (HSCs) berasal dari darah, sumsum tulang, dan tali pusat. Mekanisme aksi HSCs di dalam tatalaksana autisme diduga melalui aktivitas parakrin, pelepasan molekul-molekul bioaktif, dan kecepatan menuju daerah inflamasi.
Aplikasi terapeutik HSCs perlu mempertimbangkan sinyal sitokin yang tepat. Medikasi anti-inflamasi dan efek potensial anti-inflamasi dari terapi biologis, seperti: kurkumin atau luteolin, berpotensi mengganggu target stem cell dan membiarkan mereka melakukan eksaserbasi kondisi peradangan terkini.
Induced pluripotent stem cells (iPSCs) merupakan stem cells yang telah diprogram ulang dari sel-sel dewasa, berasal dari sel tipe apapun. Penggunaan neuron yang berasal dari iPSCs memicu penguraian fenotip sinaptik neuronal pleiotropik dan konvergen yang dijumpai pada gangguan neurodevelopmental, seperti autisme.
Mekanisme aksi pada terapi autisme melalui kapasitas diferensiasi. Model iPSCs manusia menyediakan kesempatan unik untuk mempelajari fenotip molekuler dan seluler manusia terkait dengan autisme.
Pemahaman mekanisme molekuler stem cells yang lebih baik, didukung dengan data eksperimental atau data klinis amatlah diperlukan untuk menyediakan bank data guna pengembangan strategi dan kebijakan tentang penggunaan stem cells sebagai terapi autisme.
*) Dito Anurogo adalah dosen FKIK Unismuh Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, dan kontributor dalam perumusan rancangan Permenkes Republik Indonesia No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel)
Problematika terbesar autisme dipicu oleh berbagai gejala, seperti iritabilitas, cemas, agresi, kompulsi, kestabilan mood, permasalahan gastrointestinal (saluran pencernaan), depresi, dan gangguan tidur.
Kelainan yang juga disebut sebagai autism spectrum disorders ini memiliki penyebab yang multifaktor dan poligenik. Kombinasi dari faktor genetik, epigenetik, dan interaksi lingkungan, termasuk agen infeksi, polusi udara, organofosfat, dan logam berat.
Pada autisme, mutasi de novo bersifat heterogen dan hanya dijumpai pada kurang dari 1 persen kasus. Beberapa subset gen teridentifikasi dalam autisme, mengindikasikan sifat poligenik, misalnya CHD8, DYRK1, FMR1, NLGN3, PTEN, dan delesi 16p11. Kesemuanya boleh jadi terlibat dalam perubahan volume otak dan konektivitas sistem persarafan. Sebagian fungsinya dapat dipelajari melalui hewan coba dan sel-sel manusia yang telah melalui upaya rekayasa genetika.
Beberapa proses biokimiawi juga terkait dengan autisme. Contohnya, disbiosis intestinal, disfungsi mitokondria, keterbatasan produksi glutathione, stres oksidatif (termasuk stres retikulum endoplasmik), penurunan kapasitas metilasi, peningkatan logam toksik, serta berbagai abnormalitas imun lainnya.
Survei epidemiologi menyatakan bahwa prevalensi autisme di dunia sekitar 77 per 10 ribu populasi. Di beberapa negara, angka autisme beraneka-ragam. Prevalensi di Oman, diperkirakan 1,4 kasus di antara 10 ribu anak berusia 0-14 tahun terdiagnosis autisme.
Di Libya, prevalensinya 1 dari 300. Di Mesir dan Tunisia, rerata frekuensi autisme sebesar 33,6 persen dan 11,5 persen. Di Arab Saudi, prevalensi autisme 18 per 10 ribu anak-anak. Di Uni Emirat Arab, 29 dari 10 ribu anak didiagnosis autisme. Menurut kemenpppa.go.id (2018), penyandang autisme di Indonesia kini mencapai 2,4 juta orang.
Autisme dapat didiagnosis melalui uji psikometrik dan observasi. Oleh karena itu, diagnosis klinis dibuat berdasarkan ada atau tidaknya perilaku inti.
Kriteria DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, International Classification of Diseases, Eleventh Revision, Clinical Modification (ICD-11-CM), dan Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) digunakan oleh tim medis (psikiater, neurolog, ahli pediatri, dokter umum), psikolog, dan profesional sebagai standar baku untuk penegakan diagnosis autisme.
Multiperspektif
Tatalaksana autisme bervariasi dan multiperspektif. Dapat menggunakan terapi konvensional, seperti pelatihan keterampilan sosial, terapi perilaku intensif dini, analisis perilaku teraplikasi, terapi wicara, terapi okupasi, disertai medikamentosa golongan psikotropika, stimulasi magnetik transkranial.
Beberapa tatalaksana alternatif lain berpotensi pula sebagai tatalaksana pelengkap autisme, seperti: terapi musik, terapi oksigen hiperbarik, terapi perilaku sosial dan kognitif, terapi menulis, terapi menggambar, terapi warna, terapi puisi, serta intervensi psikososial. Tatalaksana hormonal dengan oksitosin juga menjanjikan dalam mengatasi gejala inti autisme.
Penggunaan vitamin, suplementasi nutrisi tertentu, herbal, minyak esensial, serta terapi konvensional memiliki beberapa efek dalam perbaikan simtomatik autisme, meskipun studi dan riset lanjutan diperlukan sebagai konfirmasi.
Perkembangan teknologi terkini berbasis genomik, rekayasa genetika, dan bioinformatika berhasil melahirkan intervensi terbaru untuk autisme. Misalnya: terapi gen dan terapi stem cell yang berpotensi besar mengatasi autisme.
Ada indikasi kuat bahwa diagnosis dini, diiringi intervensi dini, dapat menjadi indikator prognostik yang baik untuk autisme.
stem cell
Beberapa tipe stem cell berpotensi dikembangkan sebagai terapi autisme. Misalnya: fetal stem cells (FSCs) yang berasal dari janin, darah janin, plasenta, membran amnion, cairan amnion, dan tali pusat. Mekanisme aksi FSCs dalam terapi autisme melalui sekresi berbagai faktor neurotrofik dan imunomodulator yang memicu pertumbuhan neuron, serta menghambat (supresi) aksi sitokin-sitokin proinflamasi. Keistimewaan karakteristik inilah yang membuat FSCs sebagai kandidat potensial untuk terapi autisme dan berbagai penyakit neurodegeneratif lainnya.
FSCs yang berasal dari sumsum tulang mengekspresikan marker pluripoten, seperti: Nanog, Tra-1-81, Oct-4, SSEA-3, Tra-1-60, Rex-1, SSEA-4, dan menunjukkan aktivitas telomerase yang lebih tinggi, yang membuatnya cocok sebagai kandidat terapeutik.
Mesenchymal stem cells (MSCs) dijumpai di hampir semua jaringan dewasa. MSCs berasal dari sumsum tulang dan tali pusat (umbilical cord). Bila digunakan sebagai terapi autisme, maka mekanisme aksinya melalui sekresi parakrin dari beberapa anti-inflamasi dan beragam molekul atau faktor survival-promoting (seperti: VEGF, HGF, BDNF, NGF), efek-efek neuroprotektif, melalui mekanisme hipoimunogenik dan imunosupresif, induksi plastisitas, dan engrafting menjadi jaringan saraf.
MSCs dipercaya sebagai kandidat terapi seluler karena memiliki multifungsi, seperti: kecepatan proliferasi, diferensiasi menjadi tipe-tipe sel endodermal dan ektodermal, sekresi berbagai faktor trofik, dan aksi imunomodulator.
Selain keistimewaan karakteristik di atas, MSCs juga memiliki kemampuan neuroproteksi terutama melalui sekresi berbagai faktor imunomodulator dan neurotrofik, lalu memfasilitasi rekrutmen stem cell endogen untuk memicu regenerasi dan proses downregulating sel-sel T, sel-sel B, dan sel-sel NK dari sistem imun.
Hal inilah yang menjadikan MSCs sebagai kandidat uji clinical trials untuk berbagai macam penyakit. Misalnya: stroke, multipel sklerosis, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, penyakit Alzheimer, dan penyakit autoimun sistemik.
Neural stem cells (NSCs), berasal dari otak (terutama dari zona subventrikular dari ventrikel lateral dan zona subgranular dari hipokampus). Mekanisme aksi NSCs melalui sekresi faktor-faktor neurotrofik, pemeliharaan homeostasis, efek-efek neuroprotektif, dan diferensiasi menjadi sel-sel saraf. NSCs janin bersifat multipoten, memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri, dapat berdiferensiasi menjadi neuron, oligodendrosit, dan astrosit.
Adipose-derived stem cells (ASCs) adalah sel punca yang diisolasi dari berbagai jaringan lemak (adipose) yang berbeda di tubuh melalui proses invasif minimal. Mekanisme kerja ASCs melalui sekresi berbagai faktor trofik, efek imunosupresif dan hipoimunogenik. Sama seperti halnya MSCs, ASCs bersifat plastic adherent, mampu berdeferensiasi menjadi sel dari tiga lapis germinal, mengekspresikan CD44, CD73, CD90, CD105, CD166, sedikit atau tidak mengekspresikan CD34 dan CD45.
Umbilical cord- and amniotic fluid-derived stem cells (UC-AFSCs) adalah sel punca yang berasal dari tali pusat, plasenta, dan cairan amnion. Mekanisme aksi UC-AFSCs melalui kapasitas pertumbuhan in vitro, efek imunogenisitas yang rendah, serta imunomodulasi.
Wharton Jelly dari tali pusat dan cairan amnion merupakan sumber stem cells dengan kapasitas pertumbuhan in vitro tinggi, mengekspresikan profil antigen tipikal dari MSCs. Keuntungan UC-AFSCs adalah tidak ada kontroversi etis, tidak berisiko terbentuk menjadi teratoma, dan dapat dipakai untuk transplantasi autologus setelah proses banking.
Hematopoietic stem cells (HSCs) berasal dari darah, sumsum tulang, dan tali pusat. Mekanisme aksi HSCs di dalam tatalaksana autisme diduga melalui aktivitas parakrin, pelepasan molekul-molekul bioaktif, dan kecepatan menuju daerah inflamasi.
Aplikasi terapeutik HSCs perlu mempertimbangkan sinyal sitokin yang tepat. Medikasi anti-inflamasi dan efek potensial anti-inflamasi dari terapi biologis, seperti: kurkumin atau luteolin, berpotensi mengganggu target stem cell dan membiarkan mereka melakukan eksaserbasi kondisi peradangan terkini.
Induced pluripotent stem cells (iPSCs) merupakan stem cells yang telah diprogram ulang dari sel-sel dewasa, berasal dari sel tipe apapun. Penggunaan neuron yang berasal dari iPSCs memicu penguraian fenotip sinaptik neuronal pleiotropik dan konvergen yang dijumpai pada gangguan neurodevelopmental, seperti autisme.
Mekanisme aksi pada terapi autisme melalui kapasitas diferensiasi. Model iPSCs manusia menyediakan kesempatan unik untuk mempelajari fenotip molekuler dan seluler manusia terkait dengan autisme.
Pemahaman mekanisme molekuler stem cells yang lebih baik, didukung dengan data eksperimental atau data klinis amatlah diperlukan untuk menyediakan bank data guna pengembangan strategi dan kebijakan tentang penggunaan stem cells sebagai terapi autisme.
*) Dito Anurogo adalah dosen FKIK Unismuh Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, dan kontributor dalam perumusan rancangan Permenkes Republik Indonesia No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel)