Cilacap (ANTARA) - Bulan Juli hingga Agustus diprakirakan sebagai puncak musim angin timuran di wilayah perairan selatan Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun Samudra Hindia selatan Jateng-DIY, kata Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi BMKG Cilacap Teguh Wardoyo.
"Oleh karena itu, gelombang tinggi masih berpeluang terjadi karena angin timurannya masih kuat. Selain itu, perbedaan tekanan antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan masih tinggi," katanya di Cilacap, Jateng, Selasa.
Menurut dia, kondisi tersebut berdampak terhadap peningkatan tinggi gelombang di perairan selatan Jateng-DIY maupun Samudra Hindia selatan Jateng-DIY.
Disinggung mengenai kemungkinan adanya peningkatan tinggi gelombang yang ekstrem, dia mengatakan pihaknya masih memantau perkembangan tinggi gelombang yang terjadi khususnya pada puncak musim angin timuran ini.
"Kalau ada peluang terjadi tinggi gelombang yang ekstrem seperti tahun lalu (yang mencapai lebih dari 6 meter), akan segera kami rilis. Biasanya satu minggu sebelumnya, perkembangan tinggi gelombangnya sudah kelihatan," katanya.
Ia mengatakan hingga saat ini belum terpantau kemungkinan terjadinya gelombang ekstrem. Dalam hal ini, tinggi gelombang masih berkisar 2,5-4 meter di wilayah perairan selatan Jateng-DIY dan 4-6 meter di Samudra Hindia selatan Jateng-DIY.
Terkait dengan hal itu, Teguh mengimbau nelayan di pesisir selatan Jateng-DIY untuk tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gelombang tinggi meskipun saat sekarang merupakan musim panen ikan.
Menurut dia, ilmu "titen" yang selama ini menjadi pegangan nelayan guna menentukan waktu yang untuk melaut sudah sulit diterapkan seiring dengan perubahan cuaca yang begitu cepat dan datangnya gelombang tinggi sulit diprediksi.
Jika biasanya nelayan meyakini gelombang tinggi datangnya pada siang hari sehingga mereka berangkat melaut pada pagi hari, kata dia, saat sekarang keyakinan itu sulit diterapkan karena pada pagi hari pun berpeluang terjadi gelombang tinggi.
"Saat sekarang sudah seharusnya menggunakan informasi yang valid seperti yang dikeluarkan oleh BMKG. Dalam pertanian pun sekarang tidak lagi menggunakan ilmu 'titen' atau 'pranata mangsa' karena perubahan cuaca begitu cepat," katanya.
"Oleh karena itu, gelombang tinggi masih berpeluang terjadi karena angin timurannya masih kuat. Selain itu, perbedaan tekanan antara belahan bumi utara dan belahan bumi selatan masih tinggi," katanya di Cilacap, Jateng, Selasa.
Menurut dia, kondisi tersebut berdampak terhadap peningkatan tinggi gelombang di perairan selatan Jateng-DIY maupun Samudra Hindia selatan Jateng-DIY.
Disinggung mengenai kemungkinan adanya peningkatan tinggi gelombang yang ekstrem, dia mengatakan pihaknya masih memantau perkembangan tinggi gelombang yang terjadi khususnya pada puncak musim angin timuran ini.
"Kalau ada peluang terjadi tinggi gelombang yang ekstrem seperti tahun lalu (yang mencapai lebih dari 6 meter), akan segera kami rilis. Biasanya satu minggu sebelumnya, perkembangan tinggi gelombangnya sudah kelihatan," katanya.
Ia mengatakan hingga saat ini belum terpantau kemungkinan terjadinya gelombang ekstrem. Dalam hal ini, tinggi gelombang masih berkisar 2,5-4 meter di wilayah perairan selatan Jateng-DIY dan 4-6 meter di Samudra Hindia selatan Jateng-DIY.
Terkait dengan hal itu, Teguh mengimbau nelayan di pesisir selatan Jateng-DIY untuk tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya gelombang tinggi meskipun saat sekarang merupakan musim panen ikan.
Menurut dia, ilmu "titen" yang selama ini menjadi pegangan nelayan guna menentukan waktu yang untuk melaut sudah sulit diterapkan seiring dengan perubahan cuaca yang begitu cepat dan datangnya gelombang tinggi sulit diprediksi.
Jika biasanya nelayan meyakini gelombang tinggi datangnya pada siang hari sehingga mereka berangkat melaut pada pagi hari, kata dia, saat sekarang keyakinan itu sulit diterapkan karena pada pagi hari pun berpeluang terjadi gelombang tinggi.
"Saat sekarang sudah seharusnya menggunakan informasi yang valid seperti yang dikeluarkan oleh BMKG. Dalam pertanian pun sekarang tidak lagi menggunakan ilmu 'titen' atau 'pranata mangsa' karena perubahan cuaca begitu cepat," katanya.