Semarang (ANTARA) - Rekonsiliasi pascapenetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019, Minggu (30/6),  janganlah "dimaknai" bagi-bagi kursi menteri kepada kader partai pengusung pasangan calon yang kalah. Cara seperti ini terkesan jalan pintas untuk mengatasi polarisasi atau terbelahnya masyarakat pada saat pesta demokrasi lima tahunan.

Oposisi masih perlu untuk mengawasi jalannya pemerintahan serta  mengkritik jika ada kekeliruan dalam penyelengaraannya. Oleh karena itu, sebaiknya partai pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno atau Koalisi Adil Makmur, terutama Partai Gerindra, tetap berada di luar pemerintahan. Lebih kuat lagi kalau Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Berkarya menempatkan sebagai partai oposisi.

Namun, semua itu bergantung pada pucuk pimpinan partai politik peserta Pemilu 2019 apakah mau bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin atau sebaliknya. Mereka yang lebih tahu kalkulasi politiknya, atau keuntungan/kerugian "menempatkan" kadernya di dalam pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin.

Siapa yang kelak bakal masuk dalam Kabinet Kerja Jilid II? Itu semua bergantung pada Presiden RI. Meski itu merupakan hak prerogatif, Joko Widodo yang terpilih kembali sebagai presiden tampaknya perlu mendengar masukan dari berbagai pihak.

Masih cukup waktu menimang-nimang siapa yang kelak menduduki kursi menteri selama 5 tahun ke depan. Setidaknya, sebelum pelantikan pasangan calon terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, 20 Oktober 2019, nama-nama menteri sudah ada di kantong Presiden.

Seyogianya, hindari perombakan kabinet di tengah jalan jika tidak terpaksa, misalnya karena meninggal dunia atau tersandung masalah hukum. Oleh sebab itu, pilihlah pembantu Presiden yang jujur dan mumpuni, bukan atas dasar balas budi, apalagi rekonsiliasi.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024