Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengimbau semua pihak untuk mengutamakan mediasi dalam penyelesaian sengketa jaminan fidusia.

"Saya merujuk mahasiswa yang kemarin saya minta untuk penelitian, di Banyumas sejak 2016 sampai 2018, laporan tentang pelanggaran fidusia itu mencapai 130 kasus, tetapi yang naik (ke pengadilan) tidak lebih dari tiga kasus. Ini bagus sekali," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Hibnu mengatakan hal itu saat menjadi pembicara pada kegiatan Seminar Dalam Rangka HUT Ke-78 Bhayangkara dengan tema "Kupas Tuntas Undang-Undang RI tentang Jaminan Fidusia" yang diselenggarakan Kepolisian Resor Banyumas di Purwokerto.

Menurut dia, hal itu berarti permasalahan-permasalahan sengketa jaminan fidusia tersebut dapat diselesaikan dengan damai karena prinsip fidusia adalah perdata.

"Jadi kalau bisa (diselesaikan dengan) perdata. Bagaimana (fidusia) masuk ke pidana," kata dia yang mengaku beberapa kali diminta sebagai saksi ahli dalam permasalahan tersebut.

Menurut dia, hal itu sebenarnya bukan berkaitan dengan fidusianya melainkan karena adanya pemaksaan untuk mengembalikan.

Lebih lanjut, dia mengaku melihat adanya penyelesaian nonlitigasi atau penyelesaian masalah hukum di luar proses peradilan dalam menyelesaikan sengketa jaminan fidusia di Banyumas pada periode 2016-2018.

Kendati demikian, dia mengharapkan masyarakat yang menjadi debitur untuk melihat aspek hukum sehingga tidak terjebak dalam kasus pidana.

Saat ditemui usai seminar, Hibnu mengatakan spirit fidusia sebenarnya adalah untuk meningkatkan perekonomian, menggairahkan perdagangan, mendamaikan dinamika masyarakat.

"Masyarakat ingin hidup layak, masyarakat ingin hidup meningkat. Oleh karena itu, negara membuat aturan namanya perjanjian fidusia. Konteks perjanjian fidusia ini sebetulnya keperdataan tetapi banyak ekses-ekses ke pidana," katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan jaminan kepercayaan tersebut benar-benar menjadi kepercayaan sehingga tidak membuat ekses dan tidak sampai dibawa ke ranah pidana.

Dalam hal ini, kata dia, jika debitur belum membayar utang jangan sampai langsung disita barangnya melainkan diberikan peringatan atau somasi lebih dulu.

"Tetapi pihak ketiga pun harus ingat bahwa ini adalah jaminan keperdataan, jangan memaksa. Kita sekarang eranya keterbukaan, hak asasi manusia tinggi, jangan dilaporkan, kadang-kadang pencemaran nama baik, penghinaan. Demikian juga dengan debitur jangan sampai mengubah, jangan sampai mengalihkan, kita juga perlu debitur yang berintegritas," katanya.

Ia memberikan apresiasi kepada Polres Banyumas yang memberikan solusi penyelesaian masalahan jaminan fidusia tersebut melalui mediasi. "Bersifat perdata, selesaikan dengan perdata," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Polres Banyumas Ajun Komisaris Besar Polisi Bambang Yudhantara Salamun mengatakan penegakan hukum menjadi pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan jaminan fidusia.

"Penegakan hukum itu menjadi pilihan terakhir buat Polres Banyumas, apalagi yang terkait dengan masalah fidusia ini. Ini adalah sebuah masalah perdata sebenarnya. Kami mencoba memilah-milah yang mana yang benar-benar ini suatu perbuatan pidana yang memang harus kita proses atau bisa kita lakukan mediasi, apakah bisa kita terapkan 'alternative dispute resolution', kita cari solusi dari permasalahan yang ada sehingga tidak perlu dibawa ke proses hukum," katanya.

Dengan demikian, kata dia, pihaknya lebih mengedepankan tindakan pencegahan yang lebih humanis daripada penegakan hukum.

Ia mengatakan jika penegakan hukum ditegakkan pasti ada pihak yang dirugikan dan pihaknya tidak ingin hal itu terjadi.

"Semua saudara kita, ini keluarga kita, kita ingin semua masalah dikomunikasikan dengan baik," katanya. 

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024