Jakarta (ANTARA) - Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan akronim atau singkatan "Jas Merah" untuk judul pidato "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!" bukan berasal dari Presiden Indonesia Pertama Soekarno atau Bung Karno.
"Menurut AH Nasution, 'Jas Merah' adalah judul yang diberikan Kesatuan Aksi 66 terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno," kata Rushdy dalam bedah pidato Bung Karno di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu.
Rushdy mengatakan Bung Karno sama sekali tidak menyinggung istilah "Jas Merah" saat menyampaikan pidato berjudul "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!" pada 17 Agustus 1966.
Bung Karno, menurut dia, memberikan judul tersebut pada pidatonya untuk mempertahankan garis politiknya yang berlaku.
Dalam pidato tersebut Bung Karno menyebutkan beberapa hal penting seperti tahun-tahun yang gawat, dan konflik sesama anak bangsa.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Suyatno, pidato tersebut merupakan pidato kepresidenan terakhir Bung Karno.
"Saya mencatat, terdapat 89 kata revolusi dan 50 kata sejarah dalam pidato tersebut. Itu menunjukkan betapa penting revolusi dan sejarah bagi Bung Karno," tuturnya.
Pidato tersebut disampaikan pada peringatan 21 tahun kemerdekaan Indonesia. Selama 21 tahun, revolusi Indonesia penuh dengan dinamika, romantika dan dialektika.
Sementara penulis Roso Daras mengemukakan perlunya paya untuk menjembatani pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan generasi muda.
"Harus ada penafsiran terhadap pidato-pidato dan karya-karya Bung Karno dalam konteks kekinian sehingga generasi muda bisa memahami Bung Karno," kata penulis "Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" itu.
Menurut Roso, generasi muda Indonesia harus diajak memahami pemikiran para pendiri bangsa, tidak hanya Bung Karno.
"Pemikiran-pemikiran Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir juga sangat luar biasa. Perlu ada upaya menjembatani generasi muda dengan pemikiran-pemikiran mereka," tuturnya.
"Menurut AH Nasution, 'Jas Merah' adalah judul yang diberikan Kesatuan Aksi 66 terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno," kata Rushdy dalam bedah pidato Bung Karno di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu.
Rushdy mengatakan Bung Karno sama sekali tidak menyinggung istilah "Jas Merah" saat menyampaikan pidato berjudul "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!" pada 17 Agustus 1966.
Bung Karno, menurut dia, memberikan judul tersebut pada pidatonya untuk mempertahankan garis politiknya yang berlaku.
Dalam pidato tersebut Bung Karno menyebutkan beberapa hal penting seperti tahun-tahun yang gawat, dan konflik sesama anak bangsa.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Suyatno, pidato tersebut merupakan pidato kepresidenan terakhir Bung Karno.
"Saya mencatat, terdapat 89 kata revolusi dan 50 kata sejarah dalam pidato tersebut. Itu menunjukkan betapa penting revolusi dan sejarah bagi Bung Karno," tuturnya.
Pidato tersebut disampaikan pada peringatan 21 tahun kemerdekaan Indonesia. Selama 21 tahun, revolusi Indonesia penuh dengan dinamika, romantika dan dialektika.
Sementara penulis Roso Daras mengemukakan perlunya paya untuk menjembatani pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan generasi muda.
"Harus ada penafsiran terhadap pidato-pidato dan karya-karya Bung Karno dalam konteks kekinian sehingga generasi muda bisa memahami Bung Karno," kata penulis "Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" itu.
Menurut Roso, generasi muda Indonesia harus diajak memahami pemikiran para pendiri bangsa, tidak hanya Bung Karno.
"Pemikiran-pemikiran Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir juga sangat luar biasa. Perlu ada upaya menjembatani generasi muda dengan pemikiran-pemikiran mereka," tuturnya.