Banjarnegara (Antaranews Jateng) - Kabupaten Banjarnegara hingga saat ini dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan terjadi bencana tanah longsor di Jawa Tengah.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, sekitar 70 persen wilayah atau 13 dari 20 kecamatan yang ada, termasuk daerah rawan longsor kategori rendah hingga tinggi.
Selain itu, selama kurun waktu tujuh tahun terakhir, BPBD mencatat sebanyak 367 kali kejadian tanah longsor di wilayah Banjarnegara dengan jumlah korban jiwa sebanyak 113 orang dan kerugian material hingga mencapai miliaran rupiah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim geologi Universitas Gadjah Mada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sejumlah lembaga lainnya, bencana tanah longsor yang sering melanda Banjarnegara disebabkan oleh batuan yang rapuh, tanah yang gembur, dan lereng yang miring terjal.
Di sisi lain, salak yang banyak dikembangkan petani di Banjarnegara juga disebut-sebut turut menyebabkan longsor karena akarnya tidak mampu mengikat tanah.
Bahkan, tanaman sayuran khususnya kentang yang banyak dibudidayakan di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya juga disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang sedimentasi di Waduk Mrica, Banjarnegara.
Atas dasar kondisi tersebut, Bank Indonesia menggelontorkan Program Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Kopi sebagai upaya konservasi lahan dan peningkatan perekonomian petani.
Dalam hal ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto memilih Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, sebagai lokasi proyek percontohan karena tanaman kopi telah dibudidyakan di daerah itu sejak tahun 2010.
Kepala KPw BI Purwokerto Agus Chusaini mengatakan Program LED Kopi dengan tema "Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani" tersebut dilatarbelakangi topografi wilayah Banjarnegara sangat bervariasi dengan kontur sebagian besar berbukit dan mempunyai struktur tanah yang labil menyebabkan 70 persen wilayah kabupaten itu dinilai rawan longsor.
Di sisi lain, kata dia, pertanian hortikultura seperti sayuran, kentang, dan salak sebagai komoditas unggulan Kabupaten Banjarnegara sedang diliputi permasalahan klasik, yaitu munculnya hama penyakit serta ketidakpastian harga pada saat panen.
Komoditas-komoditas tersebut juga diduga menjadi faktor yang meningkatkan risiko kejadian longsor mengingat tanaman tersebut mempunyai spesifikasi akar serabut yang tidak mampu mencengkram tanah.
"Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka program pengembangan kopi sebagai pendorong ekonomi dan konservasi sangat strategis diterapkan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Banjarnegara," katanya.
Ia mengatakan dipilihnya kopi sebagai tanaman konservasi dikarenakan selain mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, komoditas tersebut juga memiliki nilai strategis sebagai tanaman konservasi tanah dan air.
Kopi mempunyai akar tunggang yang kuat sampai kedalaman 3 meter, akar lateral sampai sepanjang 2 meter, dan membentuk anyaman ke segala arah.
"Sifat ini dapat melindungi dan memegang tanah dari daya erosi," katanya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014, menunjukkan bahwa kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cukup berpotensi untuk dikembangkan terutama jika dilihat dari proporsi luas lahan tanaman kopi.
Selain itu, produktivitas kopi di Kabupaten Banjarnegara, yaitu produksi kopi robusta tercatat rata-rata sekitar 865 ton dalam satu kali panen atau lebih kurang 755 kilogram per hektare, sedangkan untuk kopi arabica sekitar 201 ton atau lebih kurang 805 kilogram per hektare.
Program LED Kopi di Banjarnegara telah dirintis KPw BI Purwokerto bersama Pemerintah Kabupaten Banjarnegara sejak tahun 2018 dengan berbagai kegiatan seperti memberikan pelatihan, bantuan bibit kopi unggul bersertifikat, memfasilitasi penguatan kelembagaan petani melalui pembentukan koperasi, serta bantuan sejumlah mesin pascapanen.
Kepala Departemen Regional II BI Dwi Pranoto mengatakan ada dua tujuan utama dari penananaman kopi di Desa Babadan.
"Yang pertama untuk konservasi lahan karena kopi itu akar tunggangnya sangat dalam dan akar serabutnya juga lebar. Yang kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani," katanya.
Menurut dia, hal itu merupakan dua kata kunci yang harus dilakukan meskipun ada yang ketiga kalau dikembangkan lebih lanjut, yakni keterkaitan kopi dengan sektor-sektor lain seperti pariwisata.
Jika hal itu bisa diintegrasikan dengan baik akan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.
"Saya kira ini kata kunci yang harus kita pegang dan kita sikapi dengan baik," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati mengakui kopi merupakan tanaman konservasi sehingga dapat mengantisipasi terjadinya bencana tanah longsor di Desa Babadan topografinya berbukit.
Selain itu, kata dia, sedimentasi di Sungai Tulis mulai berkurang sejak petani di Desa Babadan menanam kopi.
"Dulu juga sempat terjadi longsor di wilayah Sikopel. Nantinya lahan seluas 2 hektare di sekitar lokasi wisata Curug Sikopel juga akan ditanami dengan tanaman kopi," katanya.
Ketua Gabungan Kelompok Tani "Sida Makmur" Desa Babadan, Turno mengatakan upaya konservasi lahan dengan menggunakan tanaman kopi itu dilakukan secara perlahan.
Hal itu disebabkan petani yang penting merasakan hasilnya lebih dulu dan selanjutnya sambil berjalan, mereka akan diberi masukan terkait dengan manfaat konservasi.
"Sambil jalan, mereka dikasih tahu bahwa di samping kita menikmati hasil yang lebih juga mereka memberikan lahan atau mewariskan lahan ke anak-cucu itu dalam kondisi baik, konservasinya baik," katanya.
Menurut dia, lahan pertanian sayuran saat sekarang sangat parah karena kemiringannya sudah terjal sekali dan tidak bisa dihindari, kebutuhan pupuk sangat tinggi, dan kerusakan tanah pun makin tinggi.
Kondisi tersebut berbeda dengan tanaman kopi yang tidak membutuhkan pupuk terlalu besar, produksinya tinggi, dan lahan makin bagus.
Dengan upaya konservasi lahan menggunakan tanaman kopi ini, setidaknya petani bisa meningkatkan perekonomian mereka di samping kesuburan tanah tetap terjaga dan meminimalisasi terjadinya longsor.
Jika dihitung secara ekonomi, penghasilan dari menanam kopi jauh lebih menguntungkan daripada tanaman sayuran.
Sebelumnya, Turno menanam cabai, kol, dan sayuran lainnya pada lahan seluas satu hektare dalam satu tahun mendapat penghasilan kotor sekitar Rp50 juta, sedangkan biaya perawatan dan sebagainya mencapai Rp30 juta sehingga pendapatan bersihnya sebesar Rp20 juta.
Setelah panen, petani sayuran harus menanam lagi dan hasilnya belum tentu sebaik sebelumnya karena sangat tergantung pada cuaca dan harga pasar.
Sementara untuk tanaman kopi, jika pendapatan kotornya Rp50 juta per tahun, biaya perawatan dan sebagainya sekitar Rp10 juta, sehingga penghasilan bersih yang diterima bisa mencapai Rp40 juta per tahun dan petani setelah panen tidak perlu menanam lagi karena komoditas itu bisa dipanen seumur hidup.
Selain itu, keuntungan budi daya kopi ketika panen raya bisa disimpan untuk dijual pada waktu yang tepat dan harganya cenderung stabil, tidak seperti sayuran yang sangat berfluktuatif.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara, sekitar 70 persen wilayah atau 13 dari 20 kecamatan yang ada, termasuk daerah rawan longsor kategori rendah hingga tinggi.
Selain itu, selama kurun waktu tujuh tahun terakhir, BPBD mencatat sebanyak 367 kali kejadian tanah longsor di wilayah Banjarnegara dengan jumlah korban jiwa sebanyak 113 orang dan kerugian material hingga mencapai miliaran rupiah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim geologi Universitas Gadjah Mada, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sejumlah lembaga lainnya, bencana tanah longsor yang sering melanda Banjarnegara disebabkan oleh batuan yang rapuh, tanah yang gembur, dan lereng yang miring terjal.
Di sisi lain, salak yang banyak dikembangkan petani di Banjarnegara juga disebut-sebut turut menyebabkan longsor karena akarnya tidak mampu mengikat tanah.
Bahkan, tanaman sayuran khususnya kentang yang banyak dibudidayakan di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya juga disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang sedimentasi di Waduk Mrica, Banjarnegara.
Atas dasar kondisi tersebut, Bank Indonesia menggelontorkan Program Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development) Kopi sebagai upaya konservasi lahan dan peningkatan perekonomian petani.
Dalam hal ini, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto memilih Desa Babadan, Kecamatan Pagentan, Banjarnegara, sebagai lokasi proyek percontohan karena tanaman kopi telah dibudidyakan di daerah itu sejak tahun 2010.
Kepala KPw BI Purwokerto Agus Chusaini mengatakan Program LED Kopi dengan tema "Sejuta Pohon Kopi untuk Konservasi dan Peningkatan Ekonomi Petani" tersebut dilatarbelakangi topografi wilayah Banjarnegara sangat bervariasi dengan kontur sebagian besar berbukit dan mempunyai struktur tanah yang labil menyebabkan 70 persen wilayah kabupaten itu dinilai rawan longsor.
Di sisi lain, kata dia, pertanian hortikultura seperti sayuran, kentang, dan salak sebagai komoditas unggulan Kabupaten Banjarnegara sedang diliputi permasalahan klasik, yaitu munculnya hama penyakit serta ketidakpastian harga pada saat panen.
Komoditas-komoditas tersebut juga diduga menjadi faktor yang meningkatkan risiko kejadian longsor mengingat tanaman tersebut mempunyai spesifikasi akar serabut yang tidak mampu mencengkram tanah.
"Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka program pengembangan kopi sebagai pendorong ekonomi dan konservasi sangat strategis diterapkan di Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Banjarnegara," katanya.
Ia mengatakan dipilihnya kopi sebagai tanaman konservasi dikarenakan selain mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, komoditas tersebut juga memiliki nilai strategis sebagai tanaman konservasi tanah dan air.
Kopi mempunyai akar tunggang yang kuat sampai kedalaman 3 meter, akar lateral sampai sepanjang 2 meter, dan membentuk anyaman ke segala arah.
"Sifat ini dapat melindungi dan memegang tanah dari daya erosi," katanya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014, menunjukkan bahwa kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cukup berpotensi untuk dikembangkan terutama jika dilihat dari proporsi luas lahan tanaman kopi.
Selain itu, produktivitas kopi di Kabupaten Banjarnegara, yaitu produksi kopi robusta tercatat rata-rata sekitar 865 ton dalam satu kali panen atau lebih kurang 755 kilogram per hektare, sedangkan untuk kopi arabica sekitar 201 ton atau lebih kurang 805 kilogram per hektare.
Program LED Kopi di Banjarnegara telah dirintis KPw BI Purwokerto bersama Pemerintah Kabupaten Banjarnegara sejak tahun 2018 dengan berbagai kegiatan seperti memberikan pelatihan, bantuan bibit kopi unggul bersertifikat, memfasilitasi penguatan kelembagaan petani melalui pembentukan koperasi, serta bantuan sejumlah mesin pascapanen.
Kepala Departemen Regional II BI Dwi Pranoto mengatakan ada dua tujuan utama dari penananaman kopi di Desa Babadan.
"Yang pertama untuk konservasi lahan karena kopi itu akar tunggangnya sangat dalam dan akar serabutnya juga lebar. Yang kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani," katanya.
Menurut dia, hal itu merupakan dua kata kunci yang harus dilakukan meskipun ada yang ketiga kalau dikembangkan lebih lanjut, yakni keterkaitan kopi dengan sektor-sektor lain seperti pariwisata.
Jika hal itu bisa diintegrasikan dengan baik akan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.
"Saya kira ini kata kunci yang harus kita pegang dan kita sikapi dengan baik," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Babadan Wahyu Setiawati mengakui kopi merupakan tanaman konservasi sehingga dapat mengantisipasi terjadinya bencana tanah longsor di Desa Babadan topografinya berbukit.
Selain itu, kata dia, sedimentasi di Sungai Tulis mulai berkurang sejak petani di Desa Babadan menanam kopi.
"Dulu juga sempat terjadi longsor di wilayah Sikopel. Nantinya lahan seluas 2 hektare di sekitar lokasi wisata Curug Sikopel juga akan ditanami dengan tanaman kopi," katanya.
Ketua Gabungan Kelompok Tani "Sida Makmur" Desa Babadan, Turno mengatakan upaya konservasi lahan dengan menggunakan tanaman kopi itu dilakukan secara perlahan.
Hal itu disebabkan petani yang penting merasakan hasilnya lebih dulu dan selanjutnya sambil berjalan, mereka akan diberi masukan terkait dengan manfaat konservasi.
"Sambil jalan, mereka dikasih tahu bahwa di samping kita menikmati hasil yang lebih juga mereka memberikan lahan atau mewariskan lahan ke anak-cucu itu dalam kondisi baik, konservasinya baik," katanya.
Menurut dia, lahan pertanian sayuran saat sekarang sangat parah karena kemiringannya sudah terjal sekali dan tidak bisa dihindari, kebutuhan pupuk sangat tinggi, dan kerusakan tanah pun makin tinggi.
Kondisi tersebut berbeda dengan tanaman kopi yang tidak membutuhkan pupuk terlalu besar, produksinya tinggi, dan lahan makin bagus.
Dengan upaya konservasi lahan menggunakan tanaman kopi ini, setidaknya petani bisa meningkatkan perekonomian mereka di samping kesuburan tanah tetap terjaga dan meminimalisasi terjadinya longsor.
Jika dihitung secara ekonomi, penghasilan dari menanam kopi jauh lebih menguntungkan daripada tanaman sayuran.
Sebelumnya, Turno menanam cabai, kol, dan sayuran lainnya pada lahan seluas satu hektare dalam satu tahun mendapat penghasilan kotor sekitar Rp50 juta, sedangkan biaya perawatan dan sebagainya mencapai Rp30 juta sehingga pendapatan bersihnya sebesar Rp20 juta.
Setelah panen, petani sayuran harus menanam lagi dan hasilnya belum tentu sebaik sebelumnya karena sangat tergantung pada cuaca dan harga pasar.
Sementara untuk tanaman kopi, jika pendapatan kotornya Rp50 juta per tahun, biaya perawatan dan sebagainya sekitar Rp10 juta, sehingga penghasilan bersih yang diterima bisa mencapai Rp40 juta per tahun dan petani setelah panen tidak perlu menanam lagi karena komoditas itu bisa dipanen seumur hidup.
Selain itu, keuntungan budi daya kopi ketika panen raya bisa disimpan untuk dijual pada waktu yang tepat dan harganya cenderung stabil, tidak seperti sayuran yang sangat berfluktuatif.