Saat ini tahapan kampanye pemilu serentak 2019 memasuki bulan keempat. Genderangnya mulai ditabuh 23 September 2018, tiga hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden serta Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu Legislatif.

Segera setelah itu, kita saksikan suhu politik di negeri ini terasa meningkat. Nuansa kompetisi dan kontestasi pun ikut menguat.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.

Dalam praktiknya, makna kampanye seringkali tereduksi. Bahkan peserta pemilu, terutama para calon legislatif memahami aktivitas kampanye hanya terjadi apabila ada orasi dengan unsur utama ajakan untuk memilih.

Sementara kegiatan-kegiatan lain yang sesungguhnya dimaksudkan sebagai upaya mengajak untuk memilih, apabila tanpa adanya orasi dianggap bukan kampanye. Dalihnya hanya sosialisasi.

Padahal, melihat rumusan yang digariskan UU tersebut, makna kampanye sebenarnya sangat luas. Frasa dalam pasal yang mendefinisikan kampanye itu bersifat alternatif. Setiap kegiatan dimaksudkan untuk mengajak memilih dengan menawarkan visi, misi, program bisa dikategorikan sebagai kampanye, meski tanpa adanya orasi. Bahkan sekadar menyampaikan citra diri peserta pemilu pun bisa disebut sebagai kampanye.

Secara teknis, makna citra diri ini digariskan oleh KPU dan Bawaslu sebagai akumulasi dari tanda gambar dan nomor urut. Artinya, untuk kampanye pilpres, maka cukup dengan menyampaikan tanda gambar dan nomor urut pasangan calon sudah bisa disebut sebagai kampanye.

Demikian juga untuk pemilu legislatif, cukup kumulatif tanda gambar partai dan nomor urut bisa disebut sebagai citra diri. Ketentuan yang sama untuk kampanye calon perseorang DPD, citra dirinya adalah kumulatif tanda gambar dan nomor urut calon.

Metode Kampanye
Secara normatif, UU No. 7 Tahun 2017 menentukan sembilan metode kampanye sebagaimana diatur dalam pasal 275, meliputi (a) pertemuan terbatas, (b) pertemuan tatap muka, (c) penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum, (d) pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum. (e) media sosial, (f) iklan media cetak, media massa elektronik, dan internet, (g) rapat umum, (h) debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon, (i) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan perundang-undangan.

Di antara sembilan metode tersebut, yang paling populer dilakukan oleh peserta pemilu adalah pemasangan alat peraga kampanye (APK).  

Setidaknya, hal itu terlihat dari menjamurnya APK para peserta pemilu yang terpasang di tempat-tempat yang di anggap strategis. Bukan hanya di wilayah perkotaan, akan tetapi hingga pelosok-pelosok desa.

Kita bisa menyaksikan secara langsung, begitu banyak APK pemilu yang terpasang. Baliho, spanduk, rontek, dan umbul-umbul menghiasi setiap sudut strategis, bak jamur di musim hujan.

APK ini pula yang membuat personel pengawas dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di seantero negeri ini dibuat sibuk luar biasa dalam 3,5 bulan terakhir.

Dua lembaga ini tak kenal lelah. Siang dan malam melakukan penertiban APK yang pemasangannya melanggar aturan. Tindakan penertiban tersebut bahkan dilakukan dengan bertaruh keselamatan. Demi memastikan proses pemilu dilaksanakan dalam koridor peraturan.

Semangat
Semangat UU Nomor 7 tahun 2017 sebenarnya mengharapkan adanya pembatasan dalam pemasangan APK.

UU tentu bukan bermaksud mempersempit ruang gerak peserta pemilu dalam melakukan kegiatan kampanye, tetapi agar pemasangan APK berjalan tertib dan teratur.

Para perumus UU ini mengandaikan agar selama proses kampanye, wilayah-wilayah yang ada tidak dikotori oleh sampah-sampah visual yang justru merusak tata lingkungan.

Kampanye diharapkan lebih banyak dilakukan dengan kegiatan-kegiatan tatap muka antara calon dengan konstituen.

Semangat itu setidaknya jelas terlihat dalam ketentuan pasal 298 ayat (2). Pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila dianalisa berdasarkan teori Politik Hukum yang dintrodusir oleh Ahli Tata Negara Prof. Dr. Moch Mahfud MD, maka sebenarnya dari rumusan pasal tersebut bisa dibaca bahwa para penyusun UU menghendaki faktor kebersihan, estetika dan keindahan, serta bahkan kebersihan lingkungan juga diperhatikan dalam pemasangan APK.

Maknanya bahwa APK tidak dipasang sembarangan dan justru menjadi sampah yang merusak pemandangan dan tata keindahan.

Untuk memastikan itu, maka pasal 298 ayat (1) eksplisit memberikan wewenang kepada KPU hingga tingkat kabupaten/kota untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Koordinasi dalam rangka menentukan lokasi-lokasi yang diperbolehkan sebagai tempat pemasangan APK. Hasil koordinasi tersebut dituangkan dalam regulasi yang bersifat lokal berupa peraturan bupati/wali kota tentang tempat-tempat kampanye, termasuk mengatur lokasi-lokasi yang diperkenankan maupun dilarang untuk pemasangan APK.

Unsur etika dan estika itu terejawantah melalui larangan pemasangan APK dengan cara dipaku di pohon, jarak lokasi pemasangan dari tempat-tempat yang dilarang, seperti rumah ibadah, gedung perkantoran pemerintah, fasilitas milik pemerintah, dan gedung pendidikan.

Urgensi unsur etika dan estetika ini dipertegas oleh Bawaslu dalam penyusunan standar norma pengawasan yang tertuang dalam Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perbawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum.

Dalam perbawaslu tersebut, personel pengawas juga diinstruksikan untuk mengawasi dan memastikan agar pemasangan APK oleh peserta pemilu harus mempertimbangkan unsur etika dan estetika.

Konsekuensinya, pelanggaran atas ketentuan itu, pengawas diminta untuk tidak segan-segan melakukan penindakan dengan kegiatan penertiban.

Pada akhirnya, peserta pemilu atau siapapun yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk melakukan pemasangan APK, semestinya juga menyadari pentingnya unsur etika dan estetika karena sesungguhnya kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan dalam pasal 267 ayat (1).

Peserta pemilu harus benar-benar menyadari bahwa pemasangan APK sebagai salah satu metode kampanye harus memberikan nilai tambah pembelajaran politik.

Rakyat juga perlu mempertimbangkan unsur etika dan estika dalam menilai komitmen dan kepedulian para kontestan pemilu.

Jika cara kampanyenya justru mencederai nilai-nilai etika dan merusak estetika lingkungan, rakyat harus berani untuk tidak memilih mereka.

Bukankah kampanye sesungguhnya untuk menarik simpati? Jika caranya saja sudah tidak simpatik, bagaimana kalau mereka terpilih menjadi pemimpin nantinya? Semoga semua pihak tersadarkan.


*) Penulis Ketua Bawaslu Kabupaten Purworejo

 

Pewarta : Nur Kholiq *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024