Semarang (Antaranews Jateng) - Politik saling menjatuhkan antarpeserta Pemilu Presiden 2019 bakal menurunkan tingkat partisipasi masyarakat sehingga perlu menyudahinya, kata dosen Komunikasi Politik STIKOM Semarang Suryanto.
Menurut Suryanto, S.Sos., M.Si. di Semarang, Sabtu, semestinya para elite belajar banyak dari pemilu sebelumnya bahwa kampanye hitam kontraproduktif (tidak menguntungkan) terhadap demokrasi di Tanah Air, malah berdampak pada tingkat golput yang makin meningkat.
Suryanto mencontohkan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilpres 2014 tidak bertambah, malah berkurang dari data pemilih pada pilpres sebelumnya. Angka persen pemilih pada tahun 2009 mencapai 71,17 persen, turun menjadi 69,58 persen pada tahun 2014.
Pada tahun politik, terutama sejak awal kampanye (23 September 2018) hingga sekarang, kata dia, pelbagai "postingan" tentang politik yang berisi komentar tajam dan pedas membanjiri media massa dan media sosial. Para kandidat saling serang, bahkan mereka mencari kelemahan satu sama lain.
"Meskipun dalam politik, hal itu lumrah terjadi. Namun, jika dilakukan secara tidak sehat, akan terjadi disintegrasi bangsa," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan peserta Pemilu 2019, baik pasangan calon peserta pilpres maupun calon anggota legislatif, beserta pendukungnya untuk tidak menyebar berita bohong (hoaks), fitnah, kampanye hitam, serta isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Lagi pula, kata Suryanto, kampanye hitam tidak hanya menggerogoti elektabilitas peserta pemilu, tetapi juga merugikan rakyat Indonesia karena akan kehilangan kesempatan untuk mendudukkan orang terbaik di pemerintahan.
"Fenomena black campaign (kampanye hitam) ini tidak mendidik masyarakat, tidak mencerahkan, serta merusak kualitas pemilu dan demokrasi," kata Suryanto.
Bahkan, menurut dia, akan ada dampak yang begitu buruk jika kampanye hitam terus dibiarkan tanpa penanganan. Pasalnya, daya rusak yang paling mendasar adalah hilangnya fungsi substansi pemilu sebagai mekanisme demokrasi.
Menurut Suryanto, S.Sos., M.Si. di Semarang, Sabtu, semestinya para elite belajar banyak dari pemilu sebelumnya bahwa kampanye hitam kontraproduktif (tidak menguntungkan) terhadap demokrasi di Tanah Air, malah berdampak pada tingkat golput yang makin meningkat.
Suryanto mencontohkan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilpres 2014 tidak bertambah, malah berkurang dari data pemilih pada pilpres sebelumnya. Angka persen pemilih pada tahun 2009 mencapai 71,17 persen, turun menjadi 69,58 persen pada tahun 2014.
Pada tahun politik, terutama sejak awal kampanye (23 September 2018) hingga sekarang, kata dia, pelbagai "postingan" tentang politik yang berisi komentar tajam dan pedas membanjiri media massa dan media sosial. Para kandidat saling serang, bahkan mereka mencari kelemahan satu sama lain.
"Meskipun dalam politik, hal itu lumrah terjadi. Namun, jika dilakukan secara tidak sehat, akan terjadi disintegrasi bangsa," ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan peserta Pemilu 2019, baik pasangan calon peserta pilpres maupun calon anggota legislatif, beserta pendukungnya untuk tidak menyebar berita bohong (hoaks), fitnah, kampanye hitam, serta isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Lagi pula, kata Suryanto, kampanye hitam tidak hanya menggerogoti elektabilitas peserta pemilu, tetapi juga merugikan rakyat Indonesia karena akan kehilangan kesempatan untuk mendudukkan orang terbaik di pemerintahan.
"Fenomena black campaign (kampanye hitam) ini tidak mendidik masyarakat, tidak mencerahkan, serta merusak kualitas pemilu dan demokrasi," kata Suryanto.
Bahkan, menurut dia, akan ada dampak yang begitu buruk jika kampanye hitam terus dibiarkan tanpa penanganan. Pasalnya, daya rusak yang paling mendasar adalah hilangnya fungsi substansi pemilu sebagai mekanisme demokrasi.