Solo (Antaranews Jateng) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI memastikan peran pemerintah untuk memberikan pembinaan terhadap terpidana anak.
"Saat ini ada kasus, anak-anak mulai dimanfaatkan untuk menjual sabu-sabu. Anak ini dilihat sebagai aset yang tepat melakukan kegiatan tersebut," kata Menteri PPPA RI Yohana Yambise di Solo, Senin.
Ia mengatakan anak lebih mudah dilibatkan karena mereka cenderung menuruti apa yang diperintahkan. Selain itu, dikatakannya, jika anak terbukti melakukan aktivitas tersebut ancaman hukuman tidak seperti pelaku dewasa.
"Sistemnya tidak sama seperti peradilan orang dewasa. Tidak ada anak dihukum mati. Prosesnya melalui 'restoratif justice', yaitu diversi dan mediasi. Kalau orang dewasa bisa saja kena hukuman mati," katanya.
Meski terbebas dari hukuman mati, dikatakannya, bukan berarti anak tersebut bebas dari sanksi apapun. Ia mengatakan saat ini pemerintah meniadakan penjara anak, sebagai gantinya adalah mendirikan lembaga pembinaan khusus anak.
"Untuk menangani kasus anak di pengadilan pakai sistem peradilan pidana khusus. Sistem ini berpola asrama," katanya.
Ia mengatakan selama mengikuti sanksi tersebut anak-anak tetap memperoleh haknya untuk menerima pendidikan.
"Di dalam tempat tinggal mereka ada kelas untuk proses belajar mengajar, jadi seperti sekolah. Mereka tetap sekolah dan menikmati hak mereka. Bisa tetap bermain dan berkreasi," katanya.
Sementara itu, untuk mengantisipasi hal serupa kembali terjadi, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengatakan pemerintah mendirikan Puspaga atau Pusat Pembelajaran Keluarga.
"Kalau di Solo namanya Sekolah Keluarga. Jadi untuk memastikan keluarga tidak melakukan kekerasan terhadap anak, anak tidak tergiur dengan miras atau narkoba atau ikut menjual," katanya.
Selain itu, dikatakannya, anggota keluarga yang merokok diarahkan agar tidak merokok di depan anak-anak.
"Jadi mereka tahu tempatnya, tidak di dalam rumah sehingga tidak mempengaruhi kesehatan anak," katanya.
"Saat ini ada kasus, anak-anak mulai dimanfaatkan untuk menjual sabu-sabu. Anak ini dilihat sebagai aset yang tepat melakukan kegiatan tersebut," kata Menteri PPPA RI Yohana Yambise di Solo, Senin.
Ia mengatakan anak lebih mudah dilibatkan karena mereka cenderung menuruti apa yang diperintahkan. Selain itu, dikatakannya, jika anak terbukti melakukan aktivitas tersebut ancaman hukuman tidak seperti pelaku dewasa.
"Sistemnya tidak sama seperti peradilan orang dewasa. Tidak ada anak dihukum mati. Prosesnya melalui 'restoratif justice', yaitu diversi dan mediasi. Kalau orang dewasa bisa saja kena hukuman mati," katanya.
Meski terbebas dari hukuman mati, dikatakannya, bukan berarti anak tersebut bebas dari sanksi apapun. Ia mengatakan saat ini pemerintah meniadakan penjara anak, sebagai gantinya adalah mendirikan lembaga pembinaan khusus anak.
"Untuk menangani kasus anak di pengadilan pakai sistem peradilan pidana khusus. Sistem ini berpola asrama," katanya.
Ia mengatakan selama mengikuti sanksi tersebut anak-anak tetap memperoleh haknya untuk menerima pendidikan.
"Di dalam tempat tinggal mereka ada kelas untuk proses belajar mengajar, jadi seperti sekolah. Mereka tetap sekolah dan menikmati hak mereka. Bisa tetap bermain dan berkreasi," katanya.
Sementara itu, untuk mengantisipasi hal serupa kembali terjadi, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengatakan pemerintah mendirikan Puspaga atau Pusat Pembelajaran Keluarga.
"Kalau di Solo namanya Sekolah Keluarga. Jadi untuk memastikan keluarga tidak melakukan kekerasan terhadap anak, anak tidak tergiur dengan miras atau narkoba atau ikut menjual," katanya.
Selain itu, dikatakannya, anggota keluarga yang merokok diarahkan agar tidak merokok di depan anak-anak.
"Jadi mereka tahu tempatnya, tidak di dalam rumah sehingga tidak mempengaruhi kesehatan anak," katanya.