Jakarta (Antaranews Jateng) - Berdasarkan data perusahaan riset pasar IDC untuk pangsa pasar smartphone di Indonesia pada kuarter kedua (Q2) 2018, Xiaomi berhasil berada di posisi kedua, mengalahkan Oppo dan Vivo.
"Xiaomi sebagai "kuda hitam" yang telah melewati berbagai tantangan pertumbuhan di masa lalu dan berhasil menduduki posisi kedua pengirimansmartphone terbesar di Indonesia," ujar Market Analyst IDC Indonesia, Risky Febrian, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Posisi pertama diduduki Samsung dengan pangsa pasar 27 persen, selanjutnya Xiaomi dengan 25 persen, lalu Oppo dengan 18 persen, kemudian Vivo dengan 9 persen, menutup lima besar Advan dengan 6 persen.
Sementara itu, pengiriman smartphone di Indonesia mencapai 9,4 juta unit pada Q2 2018, dengan pertumbuhan sebesar 22 persen dari kuartal sebelumnya dan 18 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Hal ini menjadikan pengiriman pada kuartal ini menjadi tertinggi di Indonesia.
Pencapaian tersebut disebabkan oleh besarnya pertumbuhan pengiriman smartphone Xiaomi -- dari 3 persen pada Q2 2017 menjadi 25 persen pada Q2 2018.
Keberhasilan Xiaomi tersebut, menurut Febrian, dikarenakan strategi Xiaomi yang melakukan kegiatan pemasaran jauh lebih sederhana dari para kompetitornya, Oppo dan Vivo.
Xiaomi juga memberikan keuntungan yang lebih sedikit untuk mitra distribusinya, dan memberikan perangkat dengan rasio price-to-spec yang lebih kompetitif, sehingga memberikan konsumen value-for-money yang lebih baik.
"Dengan menerapkan strategi ini, Xiaomi berhasil memperoleh market sharedan mind share yang signifikan," kata Febrian.
Sebelumnya, Oppo dan Vivo mampu melangkah jauh di pasar Indonesia dengan kegiatan pemasaran yang agresif dan keuntungan yang lebih besar bagi mitra distribusinya.
Hal ini, menurut Febrian, bersifat disruptif di pasar yang berdampak pada meningkatnya pangsa pasar smartphone mid-range (Rp2,9 juta-Rp5,8 juta), dimana hal itu berhasil menarik minat konsumen yang berencana untuk mengganti smartphone-nya.
Pada Q2 2018, harga penjualan rata-rata (ASP) untuk produk Oppo dan Vivo berkisar di Rp3,2 juta, sementara Xiaomi berkisar di Rp1,9 juta.
Selain rentang harga yang kompetitif, kegiatan marketing Xiaomi lebih berfokus pada pemasaran yang bersifat internet-centric seperti mengadakanflash sale berkala melalui mitra e-commerce dan mobile gaming.
Xiaomi juga memberikan dukungan penuh terhadap komunitas penggemarnya yang pada akhirnya berperan untuk menyebarkan branding Xiaomi dari mulut ke mulut dan di media sosial.
IDC memperkirakan Xiaomi akan terus menerapkan strategi ini dalam usahanya untuk meraih posisi teratas di pasar smartphone Indonesia.
"Pada kuartal mendatang, pemain lain mau tidak mau harus mempertimbangkan strategi pricing-nya untuk dapat berkompetisi secara efektif, dan pemain lokal diperkirakan akan menerima dampak yang paling besar dari agresifnya strategi Xiaomi," ujar Febrian.
Meski demikian, menurut Febrian, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi Xiaomi, seperti kendala pasokan dan produk ilegal untuk beberapa modelsmartphone populernya, di mana hal tersebut memiliki dampak negatif terhadap harga dan permintaan di pasar lokal.
"Xiaomi sebagai "kuda hitam" yang telah melewati berbagai tantangan pertumbuhan di masa lalu dan berhasil menduduki posisi kedua pengirimansmartphone terbesar di Indonesia," ujar Market Analyst IDC Indonesia, Risky Febrian, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Posisi pertama diduduki Samsung dengan pangsa pasar 27 persen, selanjutnya Xiaomi dengan 25 persen, lalu Oppo dengan 18 persen, kemudian Vivo dengan 9 persen, menutup lima besar Advan dengan 6 persen.
Sementara itu, pengiriman smartphone di Indonesia mencapai 9,4 juta unit pada Q2 2018, dengan pertumbuhan sebesar 22 persen dari kuartal sebelumnya dan 18 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Hal ini menjadikan pengiriman pada kuartal ini menjadi tertinggi di Indonesia.
Pencapaian tersebut disebabkan oleh besarnya pertumbuhan pengiriman smartphone Xiaomi -- dari 3 persen pada Q2 2017 menjadi 25 persen pada Q2 2018.
Keberhasilan Xiaomi tersebut, menurut Febrian, dikarenakan strategi Xiaomi yang melakukan kegiatan pemasaran jauh lebih sederhana dari para kompetitornya, Oppo dan Vivo.
Xiaomi juga memberikan keuntungan yang lebih sedikit untuk mitra distribusinya, dan memberikan perangkat dengan rasio price-to-spec yang lebih kompetitif, sehingga memberikan konsumen value-for-money yang lebih baik.
"Dengan menerapkan strategi ini, Xiaomi berhasil memperoleh market sharedan mind share yang signifikan," kata Febrian.
Sebelumnya, Oppo dan Vivo mampu melangkah jauh di pasar Indonesia dengan kegiatan pemasaran yang agresif dan keuntungan yang lebih besar bagi mitra distribusinya.
Hal ini, menurut Febrian, bersifat disruptif di pasar yang berdampak pada meningkatnya pangsa pasar smartphone mid-range (Rp2,9 juta-Rp5,8 juta), dimana hal itu berhasil menarik minat konsumen yang berencana untuk mengganti smartphone-nya.
Pada Q2 2018, harga penjualan rata-rata (ASP) untuk produk Oppo dan Vivo berkisar di Rp3,2 juta, sementara Xiaomi berkisar di Rp1,9 juta.
Selain rentang harga yang kompetitif, kegiatan marketing Xiaomi lebih berfokus pada pemasaran yang bersifat internet-centric seperti mengadakanflash sale berkala melalui mitra e-commerce dan mobile gaming.
Xiaomi juga memberikan dukungan penuh terhadap komunitas penggemarnya yang pada akhirnya berperan untuk menyebarkan branding Xiaomi dari mulut ke mulut dan di media sosial.
IDC memperkirakan Xiaomi akan terus menerapkan strategi ini dalam usahanya untuk meraih posisi teratas di pasar smartphone Indonesia.
"Pada kuartal mendatang, pemain lain mau tidak mau harus mempertimbangkan strategi pricing-nya untuk dapat berkompetisi secara efektif, dan pemain lokal diperkirakan akan menerima dampak yang paling besar dari agresifnya strategi Xiaomi," ujar Febrian.
Meski demikian, menurut Febrian, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi Xiaomi, seperti kendala pasokan dan produk ilegal untuk beberapa modelsmartphone populernya, di mana hal tersebut memiliki dampak negatif terhadap harga dan permintaan di pasar lokal.