Jakarta (Antaranews Jateng) - Berbicara mengenai dunia seni tari di Indonesia, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok yang satu ini. Dia adalah Uniek Sampan Hismanto, putri dari Sampan Hismanto yang dikenal sebagai legenda seniman tari di Indonesia. Uniek kini mewarisi semangat serta dedikasi ayahanda tercinta dalam memajukan kesenian tari di Indonesia.

Perkenalan Uniek dengan dunia tari terjadi begitu saja. Lahir dan besar di lingkungan keluarga yang menggeluti seni tari membuatnya akrab dengan kesenian yang satu ini. Sejak kecil, Uniek bahkan sudah mulai belajar menari. Tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia adalah bidang yang dikuasainya.

"Mungkin karena dari sejak lahir dan situasi di rumah memang seperti itu lingkungannya. Saya dari umur 2.5 tahun sudah menari di TVRI sama kakak saya yang laki-laki," ucap Uniek Sampan Hismanto seperti dikutip laman hiburan GoHitz. com.

Dirinya bahkan sempat menjadi penari di Istana Negara ketika masih duduk di bangku SMA. Uniek bercerita bahwa kedua orangtuanya tidak memaksa anak-anaknya untuk mengikuti jejak sebagai penari. Namun menari nampaknya sudah menjadi jalan hidup Uniek.

"Kita sih nggak dipaksa. Ya memang karena semua serumah istilahnya memang penari. Apalagi, bapak dan ibu. Hanya memang, bapak selalu berpesan sekolah yang paling utama. Jadi seni itu memang harus, tapi tetap sekolah harus diselesaikan," ujar Uniek.

Pendidikan formal tetap menjadi konsen utama Uniek seperti yang dipesankan ayahnya. Selepas sekolah, dia kemudian melanjutkan pendidikan kuliahnya di Belanda berbekal beasiswa yang didapat. Namun lagi-lagi, dunia seni tari tidak bisa dipisahkan darinya. Di negeri kincir angin tersebut, dia sering mendapat undangan menari dari KBRI.

"Di sana saya sering diminta menari juga oleh KBRI. Sampai selesai pendidikan terus saya bekerja di KBRI Belanda di Den Haag. Otomatis saya diminta mengajar tari juga," ungkapnya.

Salah satu memori yang tidak dilupakan oleh Uniek adalah ketika berkesempatan membawakan tarian tradisional Indonesia di depan Ratu Belanda. Menurutnya itu merupakan salah satu pengalaman yang berharga. Selama 10 tahun lebih di Belanda, Uniek memutuskan kembali ke Tanah Air melanjutkan perjuangan memajukan seni tari tradisional.

Sanggar warisan ayah

Uniek kini disibukkan dengan mengelola sanggar seni Sampan Bujana Sentra yang berada di kawasan Cikini, Jakarta. Sanggar ini didirikan oleh almarhum Sampan Hismanto. Selepas kepergian ayahnya, segala hal yang berkaitan dengan sanggar seni ini dikelola langsung oleh Uniek.

"Dulu kita latihan di daerah Roxy. Tapi setelah bapak nggak ada rumah di sana kita jual semua. Kita fokuskan di sini (Cikini). Waktu bapak masih ada memang sudah membuat sanggar," kenangnya.

Sanggar seni ini memiliki peserta didik dari berbagai usia. Dari mulai usia anak-anak hingga dewasa. Selain mengajarkan berbagai tarian daerah di Indonesia, sanggar seni Sampan Bujana Sentra juga memberikan pelajaran mengenai alat-alat musik tradisional Indonesia.

"Jadi, anak-anak kecil di sini lagi aktif belajar gamelan. Sebelumnya juga ada angklung. Jadi selain menari mereka belajar main angklung juga," ucapnya.

Sanggar seni ini rutin menggelar pertunjukan, seperti  yang dilakukan pada tahun 2016 silam dengan menggadakan pagelaran budaya bertajuk "Sumpah Palapa" dalam rangka mengenang almarhum Sampan Hismanto. Acara ini dimeriahkan oleh sederet publik figur serta beberapa alumni dari sanggar Sampan Bujana Sentra dan berlangsung sukses.

Ke depannya, Uniek pun berharap bisa terus memajukan seni tari tradisional Indonesia melalui sanggar Sampan Bujana Sentra ini, seperti yang telah diperjuangkan oleh almarhum ayahnya dulu. Dirinya juga ingin semakin banyak generasi muda yang mau menekuni seni tari tradisional dan membuatnya semakin maju.

"Untuk sanggar saya ini, terus terang sejak almarhum bapak tidak ada istilahnya, saya ini merintis kembali. Terus terang dulu nama bapak dikenal. Anak sekarang kan tidak banyak yangg tahu. Saya ingin mengembangkan lagi cita-cita beliau," tandasnya.(Editor : Paramita).


Pewarta : Yogi Rachman
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024