Semarang (Antaranews Jateng) - Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) meminta Pemerintah untuk menindak tegas terhadap pelaku jual beli data masyarakat.
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Minggu malam, mengatakan hal itu ketika merespons maraknya aksi miss call dari nomor luar yang sempat menghebohkan masyarakat.
Aksi tersebut ditengarai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, kata Pratama, sebagai bentuk aksi kejahatan sedot pulsa yang kerap disebut "wangiri".
Menurut dia, wangiri sendiri tidak pertama kali terjadi. Pada tahun 2016, misalnya, sejumlah operator melaporkan adanya miss call secara masif dari prefix luar negeri dengan nomor +77.
"Kali ini prefix yang `menyerang` masyarakat adalah +242 yang berasal dari Kongo. Wangiri dengan prefix +242 pernah membuat heboh warga Swedia pada tahun 2013," katanya.
Pakar keamanan siber itu menjelaskan bahwa praktik wangiri ini cukup meresahkan masyarakat. Bahkan, jaringan yang bermain ini sudah sangat berpengalaman, terbukti tidak hanya nomor prabayar saja yang diserang, tetapi juga nomor pascabayar.
Bagi pemilik nomor prabayar, lanjut dia, mungkin pulsanya akan tersedot habis. Namun, bagi pemilik kartu pascabayar, tagihannya bisa membengkak luar biasa bila nomornya melakukan panggilan balik ke nomor wangiri tersebut.
Langkah Kominfo mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan panggilan balik, menurut Pratama, sudah tepat. Namun, perlu sosialisasi lebih mendalam, terutama dengan SMS resmi dari Kominfo agar seluruh masyarakat bisa mendapatkan informasi tersebut.
Oleh karena itu, kata Pratama, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan agar masyarakat dilindungi dan para pelaku usaha serta pemerintah yang memegang data masyarakat bisa dimintai pertanggunjawaban bila membiarkan data tersebut diambil oleh pihak yang tidak berwenang.
Bagi warga yang menjadi korban wangiri, dia menyarankan agar mereka ada baiknya melaporkan hal tersebut ke provider masing-masing. Selain guna pendataan, warga juga bisa meminta penghapusan tagihan karena wangiri maupun mengembalikan pulsa yang hilang.
"Kasus ini sendiri muncul ke publik setelah banyak pengguna melaporkan nomor asing tersebut ke akun media sosial provider," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Minggu malam, mengatakan hal itu ketika merespons maraknya aksi miss call dari nomor luar yang sempat menghebohkan masyarakat.
Aksi tersebut ditengarai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, kata Pratama, sebagai bentuk aksi kejahatan sedot pulsa yang kerap disebut "wangiri".
Menurut dia, wangiri sendiri tidak pertama kali terjadi. Pada tahun 2016, misalnya, sejumlah operator melaporkan adanya miss call secara masif dari prefix luar negeri dengan nomor +77.
"Kali ini prefix yang `menyerang` masyarakat adalah +242 yang berasal dari Kongo. Wangiri dengan prefix +242 pernah membuat heboh warga Swedia pada tahun 2013," katanya.
Pakar keamanan siber itu menjelaskan bahwa praktik wangiri ini cukup meresahkan masyarakat. Bahkan, jaringan yang bermain ini sudah sangat berpengalaman, terbukti tidak hanya nomor prabayar saja yang diserang, tetapi juga nomor pascabayar.
Bagi pemilik nomor prabayar, lanjut dia, mungkin pulsanya akan tersedot habis. Namun, bagi pemilik kartu pascabayar, tagihannya bisa membengkak luar biasa bila nomornya melakukan panggilan balik ke nomor wangiri tersebut.
Langkah Kominfo mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan panggilan balik, menurut Pratama, sudah tepat. Namun, perlu sosialisasi lebih mendalam, terutama dengan SMS resmi dari Kominfo agar seluruh masyarakat bisa mendapatkan informasi tersebut.
Oleh karena itu, kata Pratama, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan agar masyarakat dilindungi dan para pelaku usaha serta pemerintah yang memegang data masyarakat bisa dimintai pertanggunjawaban bila membiarkan data tersebut diambil oleh pihak yang tidak berwenang.
Bagi warga yang menjadi korban wangiri, dia menyarankan agar mereka ada baiknya melaporkan hal tersebut ke provider masing-masing. Selain guna pendataan, warga juga bisa meminta penghapusan tagihan karena wangiri maupun mengembalikan pulsa yang hilang.
"Kasus ini sendiri muncul ke publik setelah banyak pengguna melaporkan nomor asing tersebut ke akun media sosial provider," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg).