Sektor pariwisata cukup membantu memajukan perekonomian masyarakat di suatu daerah dan sangat potensial untuk menarik retribusi bagi pemerintah setempat guna menghasilkan pendapatan asli daerah.
Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat yang wilayahnya meliputi tiga pulau, yakni Gili Air, Gili Trawangan, dan Gili Meno memiliki potensi pariwisata laut yang sangat besar.
Selama ini, daerah tersebut dikenal memiliki pantai dan pemandangan alam bawah laut yang indah dan ribuan wisatawan asing setiap hari berkunjung ke daerah tersebut, baik melalui Pulau Bali dengan menggunakan kapal cepat maupun penerbangan langsung ke Bandara Internasional Lombok.
Desa dengan tiga pulau ini memiliki luas daratan sekitar 678 hektare dengan jumlah penduduk sebanyak 5.100 jiwa atau 1.113 keluarga. Di desa ini berdiri puluhan hotel berbintang dan restoran untuk mendukung kepariwisataan.
Dalam pengembangan pariwisata di Desa Gili Indah, pemerintah setempat tidak menarik retribusi apa pun kepada para wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
"Desa kami juga tidak memungut retribusi kepada para pengusaha hotel maupun restoran, mereka hanya dikenai pajak dari pemerintah kabupaten," kata Kepala Desa Giri Indah, Muhammad Taufik.
Pihaknya tidak mau memungut retribusi karena tidak ingin ada keluhan dari pengusaha. Mereka sudah dipungut pajak oleh pemerintah.
"Kami memang pernah memungut sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat, namun banyak keluhan dari mereka akhirnya kami tiadakan dan biarkan kami cukup mendapat bagi hasil pajak dari pemerintah kabupaten," katanya.
Dari 33 desa di Kabupaten Lombok Utara ini, pembagian hasil pajak daerah yang paling besar adalah Desa Gili Indah, yakni sekitar Rp4 miliar setahun. Pada 2018, pihaknya menargetkan bisa mendapat Rp5 miliar hingga Rp6 miliar untuk Desa Giri Indah.
"Cukuplah kami mengelola uang sekitar Rp4 miliar itu, karena kalau terlalu banyak juga pusing, nanti diaudit padahal SDM kami kurang, salah penggunaan anggaran yang kena juga kami. Hal itu yang kami khawatirkan, maka untuk membantu keuangan desa kami tidak pungut retribusi," katanya.
Penghasilan pajak Pemkab Lombok Utara dari sektor pariwisata mencapai 70 persen, di mana 45 persen di antaranya berasal dari Desa Gili Indah.
Selain menerima bagi hasil pajak, Desa Gili Indah juga menerima dana desa Rp879 juta dan alokasi dana desa sekitar Rp900 juta.
Dengan tidak adanya retribusi tersebut, maka semua wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan, Gili Air, maupun Gili Meno tidak dikenakan pembelian tiket alias gratis.
Jika mau menerapkan retribusi sebenarnya potensinya besar sekali, karena pengunjung pada hari biasa minimal 1.500 orang dan kalau masa ramai bisa 4.000 hingga 5.000 orang per hari.
Guna menambah pemasukan pendapatan desa secara mandiri kini Desa Giri Indah tengah mengembangkan dua BUMDes Mart. Kebetulan Pemkab Lombok Utara melarang berdirinya toko waralaba.
Ia menuturkan bangunannya sudah jadi tinggal mengisi barang-barang yang mau dijual dengan menggunakan dana desa. Sesuai aturan dari pemkab, Rp100 juta bisa digunakan untuk pengembangan BUMDes. Dalam pengelolaan BUMDes, pihaknya akan bekerja sama dengan karang taruna.
Pihaknya juga mendapat penawaran dari pengusaha untuk mengelola air bersih yang diambil dari daratan yang disalurkan melalui pipa bawah laut, nantinya kerja sama dengan BUMDes.
Proyek tersebut diperkirakan menelan dana sekitar Rp220 miliar.
" Kami coba memberanikan diri asal saling menguntungkan supaya BUMDes bisa maju," katanya saat menerima kunjungan kerja Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah bersama para wartawan.
Dalam pemberdayaan masyarakat, desa wisata dunia ini juga memiliki beberapa koperasi, untuk transportasi laut ada koperasi Karya Bahari, untuk transportasi darat berupa andong ada koperasi Jalur Indah.
Pihaknya juga mempunyai koperasi simpan pinjam di kantor desa di Gili Air. Keberadaan koperasi ini cukup membantu dalam peningkatan kehidupan masyarakat.
Tiga pulau di Gili Indah yang semuanya merupakan tempat tujuan wisata tersebut, memiliki ciri khas masing-masing. Rata-rata pulau tersebut banyak turis asingnya, terutama di Gili Trawangan.
Gili Trawangan identik dengan ikon "island party", yakni untuk anak muda yang suka hiburan, kemudian di Gili Air "midle party", dan kalau Gili Meno identik dengan "honey moon party" yang disukai orang-orang yang baru nikah atau orang-orang yang sudah tua pasangan suami-istri ke pulau tersebut untuk bersantai dan di pulau ini tidak ada hiburan.
Di ketiga pulau tersebut tidak ada kendaraan bermotor, sedangkan alat transportasi yang ada berupa sepeda dan andong.
"Kami memang tidak membolehkan kendaraan di sini, karena nanti akan menghilangkan ciri khas Gili Trawangan dan dua pulau lainnya. Selain itu jika kendaraan masuk, terutama roda empat maka akan berjubel, karena pulaunya kecil," katanya.
Mata pencarian penduduk di ketiga pulau tersebut awalnya adalah nelayan dan petani kelapa.
Pada 1985, beberapa wisatawan dari Jerman dan Swiss mulai masuk Gili Trawangan. Mereka tertarik akan taman bawah lautnya yang indah dan hal itu kemudian mereka promosikan.
Waktu itu mereka menginap di rumah-rumah penduduk, karena warga belum ada yang bisa berbahasa Inggris maka komunikasi menggunakan bahasa isyarat.
"Mereka tinggal di rumah penduduk dengan fasilitas seadanya, kadang mereka juga buang kotoran di pinggir pantai karena kita waktu itu belum ada apa-apa, jangankan listrik, lampu yang sedikit moderen pun belum ada, waktu itu kami masih menggunakan lampu dari minyak jarak, tetapi justrau para turis senang," katanya.
Seiring terus meningkatnya kunjungan wisatawan, masyarakat mulai berpikir bahwa turis ini harus diberikan fasilitas. Akhirnya, masyarakat membuat usaha jenis bungalau dengan fasilitas seadanya. Bungalau yang terbuat dari kayu itu kemudian disewakan dengan harga tidak mahal, hanya Rp1.000 hingga Rp1.500 per malam, wisatawan dapat tiga kali makan dengan lauk ikan dan daging ayam.
Mata pencarian masyarakat Desa Gili Indah sekarang dari sektor pariwisata.
"Hampir semua masyarakat kami mata pencariannya dari pariwisata, kemudian berdagang dan sisanya nelayan. Nelayan ini pun tidak nelayan aktif tetapi hanya sambilan waktu mengantar tamu pergi mancing dia juga bawa pancing, kalau tidak mereka kembali ke pariwisata lagi," katanya.
Di Desa Giri Indah tidak ada pengangguran, 99 persen masyarakat bekerja dan kehidupan mereka secara ekonomi meningkat. Kalau semula hanya karyawan kini mempunyai usaha sendiri, mempunyai kapal cepat untuk menjemput tamu yang mau datang ke tempat itu.
Mereka yang bekerja di tempat itu bukan hanya orang Gili Indah dan desa ini mempunyai peraturan bahwa perusahaan harus mempekerjakan 40 persen orang Gili Indah, sedangkan 60 persen lainnya dari luar desa.
"Kelihatannya timpang, tetapi buat kami tidak karena disesuaikan dengan `skill` dan pendidikan mereka. Rata-rata pendidikan anak di Gili Indah hanya SMA/SMK, maka kami memasukkan dalam perdes itu hanya 40 persen untuk orang dalam, karena tidak mungkin tamatan SMA itu menjadi manajer atau akunting," katanya.
Dampak Negatif
Kemajuan sektor pariwisata, apalagi wisatawan yang berkunjung mayoritas wisatawan mancanegara tentu juga membawa dampak negatif, antara lain dahulu warga tidak kenal kehidupan malam sekarang ada bar dan pap.
Kades Gili Indah mengatakan dampak negatif harus disikapi dengan serius bersama babinsa dan kepolisian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Alhamdulillah warga kami baik-baik saja berkat bimbingan babinsa dan kepolisian, memang ada yang `nakal` tetapi tidak banyak, karena warga kami lebih banyak dengan kesibukannya," katanya.
Desa itu juga mempunyai fasilitas pendidikan dari TK hingga SMK, untuk SMK jurusan pariwisata.
"SMK yang ada merupakan sekolah swasta yang merupakan inisiatif dari kami, manajer-manajer hotel yang jadi pengajarnya. Jadi mereka tidak digaji dari sekolah, mereka sumbangkan tenaga dan pikirannya dan ilmunya untuk mendidik anak-anak kami," katanya.
Setelah tamat sekolah, mereka bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di desa ini, maka 99 persen masyarakat Desa Gili Indah bekerja, tidak ada pengangguran.
Selain dampak sosial, pengaruh lain dari pariwisata adalah persoalan sampah yang harus ditangani secara serius.
Pada 2017, Pemkab Lombok Utara sudah membeli lahan untuk pengolahan sampah di Gili Trawangan seluas 60 hektare dan rencananya pada tahun ini dibangun tempat pengolah sampah dan limbah.
Untuk Gili Air dan Gili Beno, karena pulaunya agak lebih kecil maka sampah diangkut ke daratan karena menurut ilmu lingkungan hidup, tidak boleh mengelola sampah dekat permukiman.
"Di Gili Beno kami punya sekelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungannya, jadi setiap hari minggu mereka gotong royong mengumpulkan sampah dan hari Senin kapal dari Dinas Lingkungan Hidup datang mengambil sampah. Sampah di Gili Beno itu masih sedikit, berbeda dengan dua gili lainnya," katanya.
Asisten Administrasi Sekda Kabupaten Temanggung Sigit Purwanto yang memimpin rombongan dalam kunjungan kerja tersebut mengatakan banyak hal yang bisa didapat dari belajar di Desa Gili Indah.
Selain pengelolaan pariwisata, di tempat itu ada inovasi pengembangan BUMDes dengan mendirikan Bumdes Mart, bahkan BUMDes juga akan kerja sama dalam pengelolaan air bersih.
"Kita belum sampai di sana, maka inovasi pengembangan BUMDes bisa dicontoh," katanya.
Ia menuturkan pengelolaan potensi wisata bisa juga dicontoh di Temanggung, sepanjang dengan keinginan yang sungguh-sungguh pasti bisa. Persoalannya mau atau tidak.
Hal lain yang mungkin menarik adalah kebijakan pemerintah setempat tidak memungut retribusi bagi para wisatawan. Padahal ribuan wisatawan berkunjung ke pulau ini setiap hari.
Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat yang wilayahnya meliputi tiga pulau, yakni Gili Air, Gili Trawangan, dan Gili Meno memiliki potensi pariwisata laut yang sangat besar.
Selama ini, daerah tersebut dikenal memiliki pantai dan pemandangan alam bawah laut yang indah dan ribuan wisatawan asing setiap hari berkunjung ke daerah tersebut, baik melalui Pulau Bali dengan menggunakan kapal cepat maupun penerbangan langsung ke Bandara Internasional Lombok.
Desa dengan tiga pulau ini memiliki luas daratan sekitar 678 hektare dengan jumlah penduduk sebanyak 5.100 jiwa atau 1.113 keluarga. Di desa ini berdiri puluhan hotel berbintang dan restoran untuk mendukung kepariwisataan.
Dalam pengembangan pariwisata di Desa Gili Indah, pemerintah setempat tidak menarik retribusi apa pun kepada para wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
"Desa kami juga tidak memungut retribusi kepada para pengusaha hotel maupun restoran, mereka hanya dikenai pajak dari pemerintah kabupaten," kata Kepala Desa Giri Indah, Muhammad Taufik.
Pihaknya tidak mau memungut retribusi karena tidak ingin ada keluhan dari pengusaha. Mereka sudah dipungut pajak oleh pemerintah.
"Kami memang pernah memungut sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat, namun banyak keluhan dari mereka akhirnya kami tiadakan dan biarkan kami cukup mendapat bagi hasil pajak dari pemerintah kabupaten," katanya.
Dari 33 desa di Kabupaten Lombok Utara ini, pembagian hasil pajak daerah yang paling besar adalah Desa Gili Indah, yakni sekitar Rp4 miliar setahun. Pada 2018, pihaknya menargetkan bisa mendapat Rp5 miliar hingga Rp6 miliar untuk Desa Giri Indah.
"Cukuplah kami mengelola uang sekitar Rp4 miliar itu, karena kalau terlalu banyak juga pusing, nanti diaudit padahal SDM kami kurang, salah penggunaan anggaran yang kena juga kami. Hal itu yang kami khawatirkan, maka untuk membantu keuangan desa kami tidak pungut retribusi," katanya.
Penghasilan pajak Pemkab Lombok Utara dari sektor pariwisata mencapai 70 persen, di mana 45 persen di antaranya berasal dari Desa Gili Indah.
Selain menerima bagi hasil pajak, Desa Gili Indah juga menerima dana desa Rp879 juta dan alokasi dana desa sekitar Rp900 juta.
Dengan tidak adanya retribusi tersebut, maka semua wisatawan yang berkunjung ke Gili Trawangan, Gili Air, maupun Gili Meno tidak dikenakan pembelian tiket alias gratis.
Jika mau menerapkan retribusi sebenarnya potensinya besar sekali, karena pengunjung pada hari biasa minimal 1.500 orang dan kalau masa ramai bisa 4.000 hingga 5.000 orang per hari.
Guna menambah pemasukan pendapatan desa secara mandiri kini Desa Giri Indah tengah mengembangkan dua BUMDes Mart. Kebetulan Pemkab Lombok Utara melarang berdirinya toko waralaba.
Ia menuturkan bangunannya sudah jadi tinggal mengisi barang-barang yang mau dijual dengan menggunakan dana desa. Sesuai aturan dari pemkab, Rp100 juta bisa digunakan untuk pengembangan BUMDes. Dalam pengelolaan BUMDes, pihaknya akan bekerja sama dengan karang taruna.
Pihaknya juga mendapat penawaran dari pengusaha untuk mengelola air bersih yang diambil dari daratan yang disalurkan melalui pipa bawah laut, nantinya kerja sama dengan BUMDes.
Proyek tersebut diperkirakan menelan dana sekitar Rp220 miliar.
" Kami coba memberanikan diri asal saling menguntungkan supaya BUMDes bisa maju," katanya saat menerima kunjungan kerja Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah bersama para wartawan.
Dalam pemberdayaan masyarakat, desa wisata dunia ini juga memiliki beberapa koperasi, untuk transportasi laut ada koperasi Karya Bahari, untuk transportasi darat berupa andong ada koperasi Jalur Indah.
Pihaknya juga mempunyai koperasi simpan pinjam di kantor desa di Gili Air. Keberadaan koperasi ini cukup membantu dalam peningkatan kehidupan masyarakat.
Tiga pulau di Gili Indah yang semuanya merupakan tempat tujuan wisata tersebut, memiliki ciri khas masing-masing. Rata-rata pulau tersebut banyak turis asingnya, terutama di Gili Trawangan.
Gili Trawangan identik dengan ikon "island party", yakni untuk anak muda yang suka hiburan, kemudian di Gili Air "midle party", dan kalau Gili Meno identik dengan "honey moon party" yang disukai orang-orang yang baru nikah atau orang-orang yang sudah tua pasangan suami-istri ke pulau tersebut untuk bersantai dan di pulau ini tidak ada hiburan.
Di ketiga pulau tersebut tidak ada kendaraan bermotor, sedangkan alat transportasi yang ada berupa sepeda dan andong.
"Kami memang tidak membolehkan kendaraan di sini, karena nanti akan menghilangkan ciri khas Gili Trawangan dan dua pulau lainnya. Selain itu jika kendaraan masuk, terutama roda empat maka akan berjubel, karena pulaunya kecil," katanya.
Mata pencarian penduduk di ketiga pulau tersebut awalnya adalah nelayan dan petani kelapa.
Pada 1985, beberapa wisatawan dari Jerman dan Swiss mulai masuk Gili Trawangan. Mereka tertarik akan taman bawah lautnya yang indah dan hal itu kemudian mereka promosikan.
Waktu itu mereka menginap di rumah-rumah penduduk, karena warga belum ada yang bisa berbahasa Inggris maka komunikasi menggunakan bahasa isyarat.
"Mereka tinggal di rumah penduduk dengan fasilitas seadanya, kadang mereka juga buang kotoran di pinggir pantai karena kita waktu itu belum ada apa-apa, jangankan listrik, lampu yang sedikit moderen pun belum ada, waktu itu kami masih menggunakan lampu dari minyak jarak, tetapi justrau para turis senang," katanya.
Seiring terus meningkatnya kunjungan wisatawan, masyarakat mulai berpikir bahwa turis ini harus diberikan fasilitas. Akhirnya, masyarakat membuat usaha jenis bungalau dengan fasilitas seadanya. Bungalau yang terbuat dari kayu itu kemudian disewakan dengan harga tidak mahal, hanya Rp1.000 hingga Rp1.500 per malam, wisatawan dapat tiga kali makan dengan lauk ikan dan daging ayam.
Mata pencarian masyarakat Desa Gili Indah sekarang dari sektor pariwisata.
"Hampir semua masyarakat kami mata pencariannya dari pariwisata, kemudian berdagang dan sisanya nelayan. Nelayan ini pun tidak nelayan aktif tetapi hanya sambilan waktu mengantar tamu pergi mancing dia juga bawa pancing, kalau tidak mereka kembali ke pariwisata lagi," katanya.
Di Desa Giri Indah tidak ada pengangguran, 99 persen masyarakat bekerja dan kehidupan mereka secara ekonomi meningkat. Kalau semula hanya karyawan kini mempunyai usaha sendiri, mempunyai kapal cepat untuk menjemput tamu yang mau datang ke tempat itu.
Mereka yang bekerja di tempat itu bukan hanya orang Gili Indah dan desa ini mempunyai peraturan bahwa perusahaan harus mempekerjakan 40 persen orang Gili Indah, sedangkan 60 persen lainnya dari luar desa.
"Kelihatannya timpang, tetapi buat kami tidak karena disesuaikan dengan `skill` dan pendidikan mereka. Rata-rata pendidikan anak di Gili Indah hanya SMA/SMK, maka kami memasukkan dalam perdes itu hanya 40 persen untuk orang dalam, karena tidak mungkin tamatan SMA itu menjadi manajer atau akunting," katanya.
Dampak Negatif
Kemajuan sektor pariwisata, apalagi wisatawan yang berkunjung mayoritas wisatawan mancanegara tentu juga membawa dampak negatif, antara lain dahulu warga tidak kenal kehidupan malam sekarang ada bar dan pap.
Kades Gili Indah mengatakan dampak negatif harus disikapi dengan serius bersama babinsa dan kepolisian untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Alhamdulillah warga kami baik-baik saja berkat bimbingan babinsa dan kepolisian, memang ada yang `nakal` tetapi tidak banyak, karena warga kami lebih banyak dengan kesibukannya," katanya.
Desa itu juga mempunyai fasilitas pendidikan dari TK hingga SMK, untuk SMK jurusan pariwisata.
"SMK yang ada merupakan sekolah swasta yang merupakan inisiatif dari kami, manajer-manajer hotel yang jadi pengajarnya. Jadi mereka tidak digaji dari sekolah, mereka sumbangkan tenaga dan pikirannya dan ilmunya untuk mendidik anak-anak kami," katanya.
Setelah tamat sekolah, mereka bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di desa ini, maka 99 persen masyarakat Desa Gili Indah bekerja, tidak ada pengangguran.
Selain dampak sosial, pengaruh lain dari pariwisata adalah persoalan sampah yang harus ditangani secara serius.
Pada 2017, Pemkab Lombok Utara sudah membeli lahan untuk pengolahan sampah di Gili Trawangan seluas 60 hektare dan rencananya pada tahun ini dibangun tempat pengolah sampah dan limbah.
Untuk Gili Air dan Gili Beno, karena pulaunya agak lebih kecil maka sampah diangkut ke daratan karena menurut ilmu lingkungan hidup, tidak boleh mengelola sampah dekat permukiman.
"Di Gili Beno kami punya sekelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungannya, jadi setiap hari minggu mereka gotong royong mengumpulkan sampah dan hari Senin kapal dari Dinas Lingkungan Hidup datang mengambil sampah. Sampah di Gili Beno itu masih sedikit, berbeda dengan dua gili lainnya," katanya.
Asisten Administrasi Sekda Kabupaten Temanggung Sigit Purwanto yang memimpin rombongan dalam kunjungan kerja tersebut mengatakan banyak hal yang bisa didapat dari belajar di Desa Gili Indah.
Selain pengelolaan pariwisata, di tempat itu ada inovasi pengembangan BUMDes dengan mendirikan Bumdes Mart, bahkan BUMDes juga akan kerja sama dalam pengelolaan air bersih.
"Kita belum sampai di sana, maka inovasi pengembangan BUMDes bisa dicontoh," katanya.
Ia menuturkan pengelolaan potensi wisata bisa juga dicontoh di Temanggung, sepanjang dengan keinginan yang sungguh-sungguh pasti bisa. Persoalannya mau atau tidak.
Hal lain yang mungkin menarik adalah kebijakan pemerintah setempat tidak memungut retribusi bagi para wisatawan. Padahal ribuan wisatawan berkunjung ke pulau ini setiap hari.