Kota mini di tengah Kota Solo sempat menjadi julukan dari Benteng Vastenburg pada masa pemerintahan Belanda. Benteng peninggalan Belanda yang berada di atas lahan seluas 31.533 m2 itui dulunya dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum sekaligus menjadi hunian bagi para tentara kolonial.

Sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Susanto mengungkapkan benteng yang dulunya bernama Benteng De Grootmoedigheid atau yang berarti "sombong" tersebut selesai dibangun pada 1745 oleh Belanda.

Pembangunan benteng tersebut dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Gustaf Willem Van Imhoff. Tujuan pembangunan benteng yang menjadi pusat garnisun ini sebagai bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta, khususnya terhadap Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Selanjutnya, pada 1750 benteng yang berada di kawasan Gladak atau kota lama di Solo tersebut berganti nama menjadi Benteng Vastenburg.

Selama 1750-1790 benteng tersebut terus mengalami pengembangan hingga akhirnya menjadi pemukiman Eropa pertama yang ada di Kota Solo. Yang menarik adalah tidak semua yang tinggal di daerah tersebut merupakan warga kulit putih karena sebagian ada yang pribumi.

"Pada saat itu banyak tentara Belanda yang memiliki istri dari pribumi sehingga mereka ikut tinggal di dalam benteng," katanya.

Seiring dengan perkembangan, bersamaan dengan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels mulai tahun 1808, keberadaan Benteng Vastenburg makin kuat.

Pada tahun tersebut suasana mulai aman sehingga pemukiman baru muncul, fasilitas baru juga muncul. Saat itu pula terjadi pergeseran sistem pemerintahan Belanda, yang awalnya menerapkan sistem pertahanan berubah menjadi "mobile" atau berkeliling.

Dengan demikian, lokasi tersebut menjadi pemukiman baru bagi masyarakat Eropa yang pada saat itu ingin menguasai Indonesia. Bahkan, benteng tersebut dijuluki sebagai kota mini di Solo karena berbagai macam fasilitas yang ada.

Pada tahun 1832 benteng tersebut murni menjadi pemukiman termasuk menjadi lokasi rumah Komandan Belanda, ada pula gudang senjata, apotik, rumah sakit, penjara, dan bengkel.

Tukar Guling

Seiring terusirnya Belanda dari Indonesia, benteng tersebut akhirnya dikuasai oleh pemerintahan Indonesia. Meski demikian, kepemilikan benteng tidak bisa murni dikuasai oleh pemerintah seiring dengan adanya proses tukar guling dari pemerintah ke masyarakat.

Pada masa kepemimpinan Wali Kota Hartomo tahun 1991, benteng ditukargulingkan kepada seseorang dan pada akhirnya saat ini ada sertifikat kepemilikan beberapa orang.

"Di dalam benteng ini ada beberapa kavling milik pemerintah, ada beberapa kavling milik pribadi. Yang milik pemerintah di antaranya tembok benteng dan parit," katanya.

Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan keinginan Pemkot untuk menjadikan Benteng Vastenburg sebagai cagar budaya.

Bangunan ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) melalui Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 646/116/I/1997 dan tercatat sebagai BCB Kota Surakarta dengan nomor 14-26/C/Pk/2012.

Ia mengatakan bangunan tersebut bisa diambil alih oleh pemerintah kembali jika nilai jual dapat dipenuhi oleh pemerintah.

"Atau jika memungkinkan bisa dihibahkan ke Pemda karena bagaimanapun juga bangunan ini merupakan ikon Solo yang mengekspresikan seni budaya di Solo," katanya.

Bahkan, letaknya yang sangat strategis ini menjadikan Benteng Vastenburg bisa menjadi ikon kepariwisataan di Kota Solo dan sekitarnya.

Ia juga mengapresiasi langkah Pemkot Solo yang sering memanfaatkan Benteng Vastenburg sebagai lokasi perhelatan acara besar, di antaranya pameran dagang dan festival kelas internasional, seperti Solo International Performing Art (SIPA).

"Saya melihat sejauh ini pengelolaan sudah baik, namun memang belum bisa maksimal karena ada beda kepemilikan," katanya.

Bukan Kendala

Terkait beda kepemilikan tersebut, Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Surakarta Iis Purwaningsih mengatakan sejauh ini tidak menjadi kendala untuk mengeksplorasi Benteng Vastenburg.

"Memang kalau sebagai destinasi wisata, benteng ini tidak bisa berdiri sendiri karena biasanya wisatawan juga sekaligus ke Keraton Solo, Pasar Gede, dan Pasar Klewer," katanya.

Dari pola kunjungan ke beberapa destinasi wisata tersebut, dikatakannya, tingkat kunjungan perbulan sekitar 4.000 wisatawan. Ia mengakui untuk kunjungan Benteng Vastenburg biasanya durasi tidak terlalu panjang mengingat tidak setiap saat ada event.

Oleh karena itu, ke depan Pemerintah Kota Surakarta akan mengembangkan kawasan wisata di daerah tersebut, mulai dari Pasar Gede, Kantor Balai Kota Surakarta, Gedung Bank Indonesia Kantor Perwakilan Surakarta, Benteng Vastenburg, hingga kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

"Saat ini DPUPR sudah membuat `masterplan`-nya, pada dasarnya benteng ini harus direvitalisasi. Semua bangunan ini nanti akan terpadu di mana akan nyaman bagi pejalan kaki maupun pengendara sepeda motor maupun mobil," katanya.

Bahkan, nantinya khusus Benteng Vastenburg akan dikembangkan seperti Gedung Sate yang ada di Kota Bandung dimana akan diterapkan konsep "mapping lighting" sehingga diharapkan bisa menjadi tontonan yang menarik.

Ia optimistis dengan adanya pengembangan tersebut jumlah wisatawan yang berkunjung ke Benteng Vastenburg akan makin banyak, baik itu wisatawan domestik maupun asing. Ia mengatakan selama ini banyak wisatawan asing khususnya dari Eropa yang tertarik untuk mengeksplorasi wisata budaya yang ada di Kota Solo.

"Mereka sekaligus ingin melihat apa saja peninggalan Belanda yang masih ada di Kota Solo," katanya.

Sementara itu, pihaknya belum dapat memastikan kapan realisasi "masterplan" kawasan wisata tersebut karena merupakan proyek jangka panjang.

Sejauh ini tidak ada hambatan dari pemilik perorangan yang juga merupakan pemilik sertifikat tanah yang ada di dalam maupun di luar benteng tersebut.

Pewarta : Aries Wasita Widi Astuti
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024