Polemik mahar politik yang marak pada pemilihan kepala daerah serentak, kini lebih terbuka daripada pilkada sebelumnya.

        Partai politik mulai terbuka soal permintaan uang kepada calon kepala daerah dengan alasan uang itu untuk transportasi dan akomodasi sukarelawan atau petugas saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Praktik semacam itu tidak boleh dianggap wajar dalam pilkada atau pemilu.

        Kasus mahar politik ini mulai mencuat setelah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla M. Mattalitti menabuh genderang "perang" melawan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan mengungkap mahar miliaran rupiah pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2018. Ini karena La Nyalla kecewa batal diusung Gerindra sebagai bakal calon gubernur.

        "Nyanyian" La Nyalla tersebut membuat suhu politik di Tanah Air bergejolak. Ia membeberkan kegagalannya bertarung melawan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Khofifah Indar Parawansa di Jatim. La Nyalla mengaku diminta uang Rp40 miliar sebagai mahar politik oleh Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.

        Ada dugaan dia gagal dapat tiket rekomendasi maju Pilgub Jatim usai tidak sanggup memenuhi permintaan Prabowo tersebut.

        Kasus batalnya kandidat maju dalam pertarungan pilkada lantaran dugaan mahar politik ternyata tidak hanya terjadi di Jawa Timur. Kasus serupa juga diduga terjadi pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cirebon. Brigjen Pol. Siswandi dan Euis Fety Fatayati gagal maju pada Pilwalkot Cirebon lantaran tidak didukung PKS yang disebut-sebut meminta mahar miliaran rupiah.

        Bahkan, prahara di tubuh internal Partai Hanura terjadi karena adanya dugaan mahar politik. Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) membenarkan penyebab konflik di internal partainya karena mahar politik yang sekarang berujung konflik yang mengancam perpecahan parpol tersebut.

        Sementara itu, Bakal Calon Gubernur Jawa Tengah Sudirman Said menyebut mahar politik sebagai "saweran". Adanya kabar mahar untuk mendapatkan surat rekomendasi dari parpol pengusung dalam pencalonan sebagai bakal calon gubernur, dia bantah.

        Meski begitu, dia mengakui ada saweran untuk membiayai proses politik yang berlangsung. Meski tidak ada mahar untuk rekomendasi, ada konsekuensi biaya yang dikeluarkan calon yang tidak mungkin dibebankan pada partai pengusung, seperti biaya kampanye, saksi, dan biaya operasional tim pemenangan.

        Pengakuan La Nyalla Mattalitti dan Brigjen Pol. Siswandi soal mahar politik miliaran rupiah hanyalah puncak gunung es yang fenomenanya terjadi secara masif. 

        Parpol meminta mahar sebagai syarat memperoleh rekomendasi pilkada juga disinyalir terjadi di berbagai daerah lain, seperti di Batubara, Sumatera Utara, dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
 
        Adanya mahar politik ini disinyalir sebagai salah satu penyebab mahalnya biaya pilkada. Data Litbang Kemendagri terkait dengan pilkada serentak pada tahun 2015, misalnya, mengonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini.
 
        Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk menjadi wali kota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp20 miliar sampai dengan Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 miliar s.d. Rp100 miliar.
 
        Akibatnya, tidak sedikit para kandidat yang maju dalam pilkada  mencari dana tambahan di luar yang telah dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik dalam bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) maupun Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
 
        Kasus semacam ini bahkan juga terjadi di negara adidaya Amerika Serikat. John Nichols dan Robert W. McChesney (2014) mengatakan bahwa pemilu di Amerika Serikat sebagai "dollarocracy" (duitokrasi) karena dipengaruhi oleh kekuatan uang.
 
        Jika Amerika saja sebagai negara kampiun demokrasi menghadapi persoalan demikian, kemungkinan besar hal serupa juga dihadapi negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
 
        Maka, sama halnya dengan di Amerika, yang dimaksud "duitokrasi" dalam hal ini adalah bagaimana demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dalam konteks pilkada telah dibajak dan beralih rupa menjadi pemerintahan dari duit, oleh duit, dan untuk duit.
 
        Tentu, argumentasi "duitokrasi" bukanlah hal baru. Harus diakui, istilah "duitokrasi" dalam praktik demokrasi di Indonesia saat ini adalah masalah yang sudah lama akut, bahwa demokrasi kita diancam oleh "duitokrasi", pesta rakyat kita dibajak oleh pesta oleh para pemilik duit.
 
        Dalam pilkada, bahkan dalam pemilihan umum presiden, legislatif, gubernur, bupati, dan pemilihan wali kota pada kenyataannya adalah pesta yang seharusnya rakyat adalah subjek berubah menjadi objek. Jika tidak hati-hati, pemilu hanya menjelma menjadi keriuhan sesaat yang seolah-olah menghormati rakyat sebagai pemilik kedaulatan, padahal sejatinya tidak.
   
              Kegagalan Kaderisasi
 
       Jika kita cermati, nama La Nyalla Mattalitti, Brigjen Pol. Siswandi, Sudirman Said, Ridwan Kamil, dan para kandidat calon pejabat yang mengukiti kontestasi pilkada, mereka bukan dari kader partai politik. Artinya, parpol merekrut dari berbagai kalangan di luar partai untuk dipertarungkan dalam pilkada.
    
    Tradisi seperti ini bisa dilihat dari ketergantungan partai pada figur tertentu apakah itu dari unsur TNI/Polri, pengusaha, artis, akademisi, dll. Meski tradisi ini sudah tidak relevan lagi di alam demokrasi, tidak sedikit, bahkan boleh dibilang hampir semua parpol, masih mempraktikkannya.
 
       Hal ini merupakan salah satu bentuk kegagalan parpol dalam hal kaderasasi kepemimpinan. Ada fenomena "split ticket voting" (membagi tiket pemungutan suara), yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) di luar partai daripada kader partai sendiri.

        Partai lantas memprioritaskan figur eksternal atau melakukan "outsourcing" politik dengan mengusung kandidat dari berbagai kalangan, misalnya dari TNI dan Polri, artis, pengusaha, akademisi, ketimbang mengusung kader dari rahim parpol itu sendiri. Jauh lebih baik partai politik memberikan "boarding pass" pada kadernya dibandingkan kader eksternal.

        Dealetika meritokrasi (sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya) birokrasi partai menjadi rusak.

        Kenapa tidak memajukan kader sendiri yang kualitasnya tidak perlu diragukan? Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya.

        Parpol gagal dalam soal kaderisasi untuk mengantisipasi berbagai virus penyakit kronis dan penyimpangan politik sulit terbantahkan.

        Menurut Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda (2011), paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi partai-partai secara bervariasi, yakni: Pertama, virus pragmatisme yang kian menggerogoti perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; Kedua, virus kartelisme yang menyerang perekrutan dan suksesi kepengurusan di dalam partai; Ketiga, virus oligarkisme yang menginternalkan model kepemimpinan dan pengambilan keputusan di dalam partai; Keempat, serta virus faksionalisme yang semakin melemahkan kelekatan organisasi partai.

        Lebih lanjut Hanta Yuda menegaskan bahwa menguatnya pragmatisme para politikus merupakan imbas kegagalan parpol menjalankan sistem kaderisasi dan ideologisasi. Keterikatan politikus dengan ideologi paprol sangat lemah.

        Akibatnya, kaderisasi parpol cenderung menghasilkan politikus tanpa ideologi. Oleh karena itu, gejala lompat pagar para politikus juga merupakan indikasi kuat tentang kegagalan parpol menjalankan ideologisasi dan kaderisasi.

        Dampak pragmatisme ini adalah memerosotkan militansi kader sehingga mesin organisasi parpol tak berjalan optimal. Pada situasi rendahnya militansi kader dan menguatnya pragmatisme pemilih, parpol cenderung menggunakan cara instan menarik simpati pemilih dengan menggunakan kekuatan politik uang (money politics) dalam berbagai pola.

        Bahkan, menurut Pengamat Politik Burhanuddin Muhtadi (2014), sistem politik sekarang ini memunculkan fenomena pada setiap pesta demokrasi selalu terjadi perburuan rente, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.

        Di antara penyebabnya adalah pilkada hadir sebagai hajat demokrasi paling brutal dan penuh dengan praktik politik uang (money politics) yang nyaris tanpa pengawasan.

        Burhanuddin lebih tegas mengatakan bahwa belajar dari pengalaman pemilu yang lalu bahwa menguatnya virus kartelisme dalam seleksi kepemimpinan politik (pencalonan kepala daerah, bahkan pemimpin lembaga legislatif dan yudikatif serta komisi negara), yang tak transparan, oligarkis, dan transaksional merupakan bukti kegagalan parpol menjalankan fungsi perekrutan politik secara demokratis berbasis meritokrasi.

        Jika parpol-parpol tersebut ingin tetap eksis di panggung perpolitikan nasional, selayaknya mereka merumuskan kembali sistem pengaderan partai yang selama ini terkesan mandek.

        Pasalnya, bagaimanapun juga kaderisasi merupakan bahan bakar untuk menghidupkan parpol. Bukan hanya untuk menjaring pendukung, melainkan juga menjaga keberlangsungan masa depan partai itu sendiri.


*) Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
   

Pewarta : Suryanto, S.Sos.,M.Si. *)
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024