Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tampaknya perlu diketahui oleh warganet (netizen) agar tidak mudah terjebak dengan berita hoaks. Apalagi, sampai berurusan dengan pihak berwajib gara-gara menyebarkan kabar bohong itu kepada pemilik akun media sosial lainnya.
Oleh karena itu, warga internet (warganet) perlu kesaksamaan dalam membaca konten di media sosial, atau tidak begitu saja meneruskan informasi tanpa menyelisik kebenaran isi kabar tersebut.
Bisa jadi karena ketidaktahuan sebagian di antara mereka membedakan apakah berita itu benar atau tidak. Sebaliknya, ada pula yang sengaja menyebarluaskan untuk tujuan tertentu.
Kasus Saracen, misalnya. Pelaku sampai dimejahijaukan atas dakwaan menyebarkan berita bohong yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Apakah Kelompok Saracen melakukan hal itu berdasarkan pesanan atau tidak? Pengadilanlah yang kelak membuktikannya.
Publik juga masih menunggu ketukan palu hakim mengenai benar dan tidaknya mereka melakukan provokasi dengan berbagai berita hoaks dan ujaran-ujaran kebencian dengan menggunakan 80.000 akun media sosial (medsos).
Namun, di balik kasus ini setidaknya warganet lebih berhati-hati berselancar di dunia maya, atau tidak mudah terjebak dengan oknum netizen yang sengaja menyebarkan hoaks.
Di lain pihak, warganet juga perlu tahu pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, misalnya, ancaman pidananya paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta. Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal lain, yakni setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Terkait dengan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA terancam hukuman paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Warganet juga harus menyampaikan pesan yang santun dan tidak membagikan konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti pemilik akun media sosial lainnya. Jika hal ini dilakukan, pelaku diancam penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Berbasiskan KEJ
Selain warganet mengetahui seluk-beluk tentang UU ITE, juga perlu tahu tentang Kode Etik Jurnalistik supaya bisa membedakan informasi itu berita atau kabar bohong (hoaks).
Seorang wartawan ketika menghasilkan sebuah produk bernama berita harus berbasiskan Kode Etik Jurnalistik (vide Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008) dan tidak lepas dari koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketika akan memulai mengumpulkan bahan berita, wartawan yang taat pada KEJ dan UU Pers serta peraturan perundang-undangan lain beriktikad baik dan tidak ada unsur balas dendam.
Dalam pemilihan sumber, wartawan juga tidak boleh sembarangan. Narasumber harus punya kredibilitas dan memiliki kompetensi sumber berita, misalnya orang yang menyaksikan langsung kejadian, ketokohan/keterkenalan, pengalaman, kedudukan/jabatan terkait, dan keahlian.
Setelah menyusun bahan karya jurnalistik, wartawan menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang. Jika warganet menerima informasi yang isinya merugikan orang lain, sebaiknya tidak perlu menyebarluaskan konten tersebut.
Dalam menyusun karya jurnalistik, wartawan harus mengutamakan ketepatan daripada kecepatan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Selain itu, di dalam KEJ juga diatur soal penyiaran karya jurnalistik reka ulang dilengkapi dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.
Di samping itu, menghormati hak privasi dan menghormati asas praduga tak bersalah (vide Pasal 5 Ayat 2 UU No. 40/1999). Jika melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), perusahaan pers terancam pidana denda paling banyak Rp500 juta.
KEJ juga mengharuskan wartawan senantiasa menguji kebenaran informasi, kemudian tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Kalau netizen menerima informasi yang menyebutkan nama korban kejahatan susila secara gamblang, patut mencurigai asal usul kabar tersebut.
Tidak hanya sampai tahap perencanaan dan penyusunan, penerapan KEJ juga pada tahap pengeditan dan pascasiar. Redaktur sebelum meyiarkan karya jurnalistik wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar.
Sebelum memublikasikan, ada sejumlah pertanyaan apakah karya jurnalistik ini membahayakan keselamatan umum? Dapat mendorong timbulnya kerusuhan sosial dan kepanikan massal? Memaparkan atau menyiarkan rahasia negara? Memicu pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)?
Apabila warganet menerima informasi yang bermuatan hal-hal yang mendorong timbulnya kerusuhan sosial dan kepanikan massal atau memicu pertentangan SARA, seyogianya diabaikan saja.
*) Penulis adalah anggota Dewan Kehormatan Provinsi PWI Jawa Tengah.
Oleh karena itu, warga internet (warganet) perlu kesaksamaan dalam membaca konten di media sosial, atau tidak begitu saja meneruskan informasi tanpa menyelisik kebenaran isi kabar tersebut.
Bisa jadi karena ketidaktahuan sebagian di antara mereka membedakan apakah berita itu benar atau tidak. Sebaliknya, ada pula yang sengaja menyebarluaskan untuk tujuan tertentu.
Kasus Saracen, misalnya. Pelaku sampai dimejahijaukan atas dakwaan menyebarkan berita bohong yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Apakah Kelompok Saracen melakukan hal itu berdasarkan pesanan atau tidak? Pengadilanlah yang kelak membuktikannya.
Publik juga masih menunggu ketukan palu hakim mengenai benar dan tidaknya mereka melakukan provokasi dengan berbagai berita hoaks dan ujaran-ujaran kebencian dengan menggunakan 80.000 akun media sosial (medsos).
Namun, di balik kasus ini setidaknya warganet lebih berhati-hati berselancar di dunia maya, atau tidak mudah terjebak dengan oknum netizen yang sengaja menyebarkan hoaks.
Di lain pihak, warganet juga perlu tahu pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, misalnya, ancaman pidananya paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta. Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal lain, yakni setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Terkait dengan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA terancam hukuman paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Warganet juga harus menyampaikan pesan yang santun dan tidak membagikan konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti pemilik akun media sosial lainnya. Jika hal ini dilakukan, pelaku diancam penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Berbasiskan KEJ
Selain warganet mengetahui seluk-beluk tentang UU ITE, juga perlu tahu tentang Kode Etik Jurnalistik supaya bisa membedakan informasi itu berita atau kabar bohong (hoaks).
Seorang wartawan ketika menghasilkan sebuah produk bernama berita harus berbasiskan Kode Etik Jurnalistik (vide Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008) dan tidak lepas dari koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketika akan memulai mengumpulkan bahan berita, wartawan yang taat pada KEJ dan UU Pers serta peraturan perundang-undangan lain beriktikad baik dan tidak ada unsur balas dendam.
Dalam pemilihan sumber, wartawan juga tidak boleh sembarangan. Narasumber harus punya kredibilitas dan memiliki kompetensi sumber berita, misalnya orang yang menyaksikan langsung kejadian, ketokohan/keterkenalan, pengalaman, kedudukan/jabatan terkait, dan keahlian.
Setelah menyusun bahan karya jurnalistik, wartawan menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang. Jika warganet menerima informasi yang isinya merugikan orang lain, sebaiknya tidak perlu menyebarluaskan konten tersebut.
Dalam menyusun karya jurnalistik, wartawan harus mengutamakan ketepatan daripada kecepatan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Selain itu, di dalam KEJ juga diatur soal penyiaran karya jurnalistik reka ulang dilengkapi dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.
Di samping itu, menghormati hak privasi dan menghormati asas praduga tak bersalah (vide Pasal 5 Ayat 2 UU No. 40/1999). Jika melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), perusahaan pers terancam pidana denda paling banyak Rp500 juta.
KEJ juga mengharuskan wartawan senantiasa menguji kebenaran informasi, kemudian tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Kalau netizen menerima informasi yang menyebutkan nama korban kejahatan susila secara gamblang, patut mencurigai asal usul kabar tersebut.
Tidak hanya sampai tahap perencanaan dan penyusunan, penerapan KEJ juga pada tahap pengeditan dan pascasiar. Redaktur sebelum meyiarkan karya jurnalistik wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar.
Sebelum memublikasikan, ada sejumlah pertanyaan apakah karya jurnalistik ini membahayakan keselamatan umum? Dapat mendorong timbulnya kerusuhan sosial dan kepanikan massal? Memaparkan atau menyiarkan rahasia negara? Memicu pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)?
Apabila warganet menerima informasi yang bermuatan hal-hal yang mendorong timbulnya kerusuhan sosial dan kepanikan massal atau memicu pertentangan SARA, seyogianya diabaikan saja.
*) Penulis adalah anggota Dewan Kehormatan Provinsi PWI Jawa Tengah.