Semarang, ANTARA JATENG - Puluhan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menyemarakkan Pekan Poros Maritim Berbasis Rempah yang digelar Dewan Rempah Indonesia (DRI) di Lawang Sewu Semarang.

"Kami ingin menyatukan, maritim sebagai sarana pengangkut rempah. Jadi, antara maritim dan rempah harus bersinergi," kata Direktur Badan Pelaksana DRI Suhirman Mulyodiharjo di Semarang, Jumat.

Indonesia, kata dia, dulu sangat jaya dengan kekayaan rempah-rempahnya yang membuat dijajah bangsa lain, termasuk Belanda yang mengincar rempah, tetapi sekarang ini kondisinya terkebalik.

"Dulu, Indonesia menjadi penghasil lada terbesar di dunia, tetapi sekarang Indonesia berada di urutan keempat. Makanya, kami ingin rempah-rempah Indonesia kembali jaya," katanya.

Berbagai jenis rempah-rempah dikenalkan dalam pameran itu, mulai kunyit, jahe, lada, pala, temulawak, dan sebagainya, termasuk komoditas unggulan yang lain, seperti kopi dan teh.

Sekretaris Daerah Jawa Tengah Sri Puryono menyebutkan setidaknya ada ribuan jenis rempah di wilayah itu, tetapi selama ini baru sedikit dari keseluruhan produksi yang dimanfaatkan.

"Setidaknya ada 7.000 jenis rempah di Jateng, tetapi baru empat persen dari keseluruhan yang dimanfaatkan. Padahal, komoditas rempah ini sudah melimpah sejak lama," katanya.

Dari 35 kabupaten/kota yang ada di Jateng, kata dia, ada beberapa daerah yang menjadi kantong penghasil rempah-rempah, seperti Banyumas, Purbalingga, Kendal.

Sri meyakini rempah-rempah sebagai komoditas unggulan akan terus meningkat pesat sehingga diperlukan kebijakan yang mendukung dan mendorong petani untuk mengembangkannya.

Pameran yang diikuti UMKM dari berbagai daerah di Indonesia dan hasil kerja sama DRI dengan berbagai kementerian dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu berlangsung mulai 16-19 November 2017.

Salah satu UMKM yang berpartisipasi, yakni Zie Batik Mangrove dari Semarang yang memanfaatkan limbah buah mangrove dalam proses produksi dan pewarnaan batik.

Pendiri Zie Batik Mangrove, Zazilah menjelaskan usaha yang didukung para ibu rumah tangga di Kampung Malon, Gunungpati, Semarang, itu, telah menembus kancah internasional.

"Kami sering pameran di luar negeri, seperti Belanda. Hampir tiap tahun (pameran, red.) karena memang di sana mereka menyukai kebudayaan Indonesia, apalagi sekarang gencar-gencarnya `go green` dan `eco-industry`," pungkasnya.

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor :
Copyright © ANTARA 2024