Semarang, ANTARA JATENG - Kata/leksikon/istilah di media massa tidak masalah berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asalkan ada dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tanpa hal itu, menurut pakar bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Semarang Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum., justru akan merusak tata bahasa yang sudah disepakati oleh seluruh pengguna bahasa Indonesia.
Terkait dengan dasar yang kuat, Pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan, mulai Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 tentang Bahasa Negara hingga turunannya, baik berupa undang-undang, keputusan presiden, keputusan menteri, maupun surat edaran.
Belakangan, tepatnya pada era pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 penulisannya Tjina.
Dengan berlakunya keputusan presiden itu, semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan/atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa. Untuk penyebutan negara Republik Rakyat Cina diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Soal istilah, sebenarnya Pemerintah sudah menerbitkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin Nomor: 158 Tahun 1987 - Nomor: 0643 b/u/1987 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 0389/U/1988, tanggal 11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Jadi, sepanjang media massa menetapkan istilah berdasarkan aturan main yang ada, pakar bahasa Indonesia dari Unnes Prof. Fathur Rokhman menganggap tidak ada permasalahan jika ada perbedaan dalam penggunaan lema/leksikon antara media massa dan KBBI.
Menurut Guru Besar Bidang Sosiolingustik Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu, yang penting di sini adalah lema/leksikon/istilah harus digunakan secara konsisten sehingga masyarakat bahasa Indonesia tidak bingung. Biarlah masyarakat bahasa bebas memilih.
Fathur yang juga Rektor Universitas Negeri Semarang itu menegaskan bahwa media massa merupakan media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan efisien.
Oleh karena itu, perihal leksikon/istilah yang digunakan dalam media massa akan dijadikan salah satu sumber acuan bagi para pendidik/pembelajar bahasa Indonesia.
Di sisi lain, konsistensi penggunaan lema/leksikon/istilah tentu yang berbeda dengan KBBI, menurut Fathur, justru akan mendorong media massa tertentu memiliki icon atau brand yang bersumber dari penggunaan kosakata tersebut.
Dari sisi masyarakat pengguna bahasa, kasus perbedaan tersebut akan mendorong semangat belajar dan mengkaji mengenai perbedaan lema/leksikon/istilah yang terjadi di tengah masyarakat sehingga kompetensi masyarakat tutur bahasa Indonesia lama-kelamaan akan mengalami peningkatan.
Dengan demikian, ketidaksesuaian antara media massa dan KBBI mengenai penggunaan kata-kata tertentu tidak perlu dirisaukan, katanya.
Jika dikembalikan kepada hakikat bahasa yang bersifat konvensional, kata Fathur, penentu kosakata/lema/leksikon terletak pada kesepakatan masyarakat bahasa.
Fathur mengatakan bahwa kosakata/lema/leksikon dan lain-lain yang sudah terdaftar KBBI, bahkan dapat diganti atau ditambah dengan lema/kosakata/istilah yang berkembang di tengah masyarakat.
Kenyataan itu tampak pada contoh pada kata sangkil dan mangkus. Kedua kata tersebut ternyata tergerus dengan kata efektif dan efisien. Banyak pengguna bahasa Indonesia lebih memilih efektif dan efisien.
Jadi, penggunaan istilah/kosakata/lema/leksikon yang berbeda antara media massa dan KBBI sepenuhnya akan diserahkan kepada masyarakat.
Kaidah Bahasa
Karena harus mempunyai dasar yang kuat, gaya selingkung (pedoman tata cara penulisan) masing-masing media massa seyogianya selaras dengan kaidah bahasa Indonesia, kata dosen Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang Drs. M. Hermintoyo, M.Pd.
Dalam penyusunan pedoman tata cara penulisan, harus sesuai dengan kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca agar media berperan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Hal terkait dengan tanda baca, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Namun, pada kenyataannya media massa ada yang menggunakan tanda hubung sebagai pengganti kata "dan", "antara", dan "sampai dengan". Padahal, menurut PUEBI pengganti kata "dan", "atau", dan "setiap" adalah tanda garis miring, sedangkan tanda pisah bermakna `sampai dengan` atau `sampai ke`.
Begitu pula, terkait dengan ejaan, Hermintoyo menyarankan agar media massa turut berperan dalam menambah khazanah kata, terutama kosakata bahasa daerah dalam pemberitaannya.
Namun, tidak sebaliknya kosakata yang sudah ada di dalam KBBI, malah "dikoreksi" sehingga publik bingung mana yang benar di antara sejumlah versi.
Misalnya, "salat" (versi KBBI), "shalat", atau "sholat"; "Alquran (versi KBBI), Al-Quran, atau Al-Qur`an; "Ramadan" (versi KBBI) atau "Ramadhan", "Masjidilharam" (versi KBBI) atau "Masjidil Haram.
Sebelum sebuah kata/sublema tercatat di dalam kamus, menurut Hermintoyo, terdapat konsep pembentukan kata secara arbitrer (manasuka).
Karena istilah yang menjadi kesepakatan di dalam kelompok tertentu itu sering mereka pakai, misalnya melalui media sosial, publik pun ikut-ikutan menggunakannya, kemudian kata itu tercantum di dalam KBBI.
Lema "ngabuburit" (menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan), misalnya. Akhirnya, istilah ini masuk dalam KBBI Daring. Sebelumnya, pada KBBI edisi I, II, III, dan IV, istilah itu belum ada.
Media massa tampaknya perlu merekam, kemudian mengodifikasikan istilah yang ada di tengah masyarakat. Apalagi, dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, tentunya memudahkan media melakukan hal itu, atau tinggal tulis lema pada mesin pencari kata Google.
Sepanjang media menerapkan peraturan perundang-undangan, kemungkinan kecil terjadi perbedaan dengan KBBI, khususnya terkait dengan penulisan istilah.
Tanpa hal itu, menurut pakar bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Semarang Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum., justru akan merusak tata bahasa yang sudah disepakati oleh seluruh pengguna bahasa Indonesia.
Terkait dengan dasar yang kuat, Pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan, mulai Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 tentang Bahasa Negara hingga turunannya, baik berupa undang-undang, keputusan presiden, keputusan menteri, maupun surat edaran.
Belakangan, tepatnya pada era pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 penulisannya Tjina.
Dengan berlakunya keputusan presiden itu, semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan/atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa. Untuk penyebutan negara Republik Rakyat Cina diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Soal istilah, sebenarnya Pemerintah sudah menerbitkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin Nomor: 158 Tahun 1987 - Nomor: 0643 b/u/1987 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 0389/U/1988, tanggal 11 Agustus 1988 tentang Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Jadi, sepanjang media massa menetapkan istilah berdasarkan aturan main yang ada, pakar bahasa Indonesia dari Unnes Prof. Fathur Rokhman menganggap tidak ada permasalahan jika ada perbedaan dalam penggunaan lema/leksikon antara media massa dan KBBI.
Menurut Guru Besar Bidang Sosiolingustik Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu, yang penting di sini adalah lema/leksikon/istilah harus digunakan secara konsisten sehingga masyarakat bahasa Indonesia tidak bingung. Biarlah masyarakat bahasa bebas memilih.
Fathur yang juga Rektor Universitas Negeri Semarang itu menegaskan bahwa media massa merupakan media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan efisien.
Oleh karena itu, perihal leksikon/istilah yang digunakan dalam media massa akan dijadikan salah satu sumber acuan bagi para pendidik/pembelajar bahasa Indonesia.
Di sisi lain, konsistensi penggunaan lema/leksikon/istilah tentu yang berbeda dengan KBBI, menurut Fathur, justru akan mendorong media massa tertentu memiliki icon atau brand yang bersumber dari penggunaan kosakata tersebut.
Dari sisi masyarakat pengguna bahasa, kasus perbedaan tersebut akan mendorong semangat belajar dan mengkaji mengenai perbedaan lema/leksikon/istilah yang terjadi di tengah masyarakat sehingga kompetensi masyarakat tutur bahasa Indonesia lama-kelamaan akan mengalami peningkatan.
Dengan demikian, ketidaksesuaian antara media massa dan KBBI mengenai penggunaan kata-kata tertentu tidak perlu dirisaukan, katanya.
Jika dikembalikan kepada hakikat bahasa yang bersifat konvensional, kata Fathur, penentu kosakata/lema/leksikon terletak pada kesepakatan masyarakat bahasa.
Fathur mengatakan bahwa kosakata/lema/leksikon dan lain-lain yang sudah terdaftar KBBI, bahkan dapat diganti atau ditambah dengan lema/kosakata/istilah yang berkembang di tengah masyarakat.
Kenyataan itu tampak pada contoh pada kata sangkil dan mangkus. Kedua kata tersebut ternyata tergerus dengan kata efektif dan efisien. Banyak pengguna bahasa Indonesia lebih memilih efektif dan efisien.
Jadi, penggunaan istilah/kosakata/lema/leksikon yang berbeda antara media massa dan KBBI sepenuhnya akan diserahkan kepada masyarakat.
Kaidah Bahasa
Karena harus mempunyai dasar yang kuat, gaya selingkung (pedoman tata cara penulisan) masing-masing media massa seyogianya selaras dengan kaidah bahasa Indonesia, kata dosen Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang Drs. M. Hermintoyo, M.Pd.
Dalam penyusunan pedoman tata cara penulisan, harus sesuai dengan kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca agar media berperan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Hal terkait dengan tanda baca, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Namun, pada kenyataannya media massa ada yang menggunakan tanda hubung sebagai pengganti kata "dan", "antara", dan "sampai dengan". Padahal, menurut PUEBI pengganti kata "dan", "atau", dan "setiap" adalah tanda garis miring, sedangkan tanda pisah bermakna `sampai dengan` atau `sampai ke`.
Begitu pula, terkait dengan ejaan, Hermintoyo menyarankan agar media massa turut berperan dalam menambah khazanah kata, terutama kosakata bahasa daerah dalam pemberitaannya.
Namun, tidak sebaliknya kosakata yang sudah ada di dalam KBBI, malah "dikoreksi" sehingga publik bingung mana yang benar di antara sejumlah versi.
Misalnya, "salat" (versi KBBI), "shalat", atau "sholat"; "Alquran (versi KBBI), Al-Quran, atau Al-Qur`an; "Ramadan" (versi KBBI) atau "Ramadhan", "Masjidilharam" (versi KBBI) atau "Masjidil Haram.
Sebelum sebuah kata/sublema tercatat di dalam kamus, menurut Hermintoyo, terdapat konsep pembentukan kata secara arbitrer (manasuka).
Karena istilah yang menjadi kesepakatan di dalam kelompok tertentu itu sering mereka pakai, misalnya melalui media sosial, publik pun ikut-ikutan menggunakannya, kemudian kata itu tercantum di dalam KBBI.
Lema "ngabuburit" (menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan), misalnya. Akhirnya, istilah ini masuk dalam KBBI Daring. Sebelumnya, pada KBBI edisi I, II, III, dan IV, istilah itu belum ada.
Media massa tampaknya perlu merekam, kemudian mengodifikasikan istilah yang ada di tengah masyarakat. Apalagi, dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat, tentunya memudahkan media melakukan hal itu, atau tinggal tulis lema pada mesin pencari kata Google.
Sepanjang media menerapkan peraturan perundang-undangan, kemungkinan kecil terjadi perbedaan dengan KBBI, khususnya terkait dengan penulisan istilah.