Semarang, ANTARA JATENG - Pakar komunikasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Liliek Budiastuti Wiratmo mengatakan ujaran kebencian di media sosial yang kian marak menunjukkan rendahnya pemahaman tentang informasi digital.
Menurut Liliek di Semarang, Selasa pagi, masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memahami informasi berbasis komputer (literasi digital), tidak akan melakukan ujaran kebencian, menyebarkan berita hoaks, melakukan cyber bullying (perundungan siber), penipuan, dan kejahatan seksual melalui media dalam jaringan (daring).
Oleh karena itu, Liliek yang juga Koordinator Penelitian Jaringan Penggiat Literasi Digital (Japelidi) Semarang memandang perlu gerakan literasi digital agar masyarakat dapat memanfaatkan informasi digital secara bijak.
Pada kesempatan wawancara dengan Antara di Semarang, Liliek mengemukakan hasil penelitian Japelidi terkait dengan literasi digital. Penelitian ini melibatkan 56 orang peneliti dari 28 program studi yang berasal dari 26 perguruan tinggi pada sembilan kota di Indonesia (Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Denpasar, dan Jakarta).
Dilihat dari pelaku gerakan literasi media di sembilan kota itu, kata Liliek, perguruan tinggi (56,14 persen) adalah pelaku utama, disusul pemerintah (14,34 persen), komunitas (13,52 persen), lembaga swadaya masyarakat (5,32 persen), sekolah dan korporasi masing-masing 3,68 persen, lain-lain (asosiasi profesi dan ormas) sebesar 2,86 persen, dan media 0,4 persen.
Tingginya perguruan tinggi sebagai pelaku beragam kegiatan literasi digital, antara lain, disebabkan tingginya program literasi digital sebagai bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tiang tridarma perguruan tinggi.
"Bisa dikatakan bahwa perguruan tinggi menjadi motor gerakan literasi digital," kata Liliek yang pernah sebagai Koordinator Bidang Pemantauan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah.
Jika dilihat dari kelompok sasaran, lanjut Liliek, remaja dan pelajar (29,55 persen) adalah sasaran utama kegiatan literasi digital. Hal ini dikarenakan kaum muda dianggap sebagai kelompok yang paling rentan dan dianggap paling banyak mendapatkan pengaruh buruk dari media digital.
Sebaliknya, katanya lagi, mereka dianggap sebagai agen perubahan yang diharapkan bisa turut ambil bagian dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat digital.
Selain kaum muda, kelompok sasaran untuk gerakan literasi digital adalah mahasiswa (18,5 persen), masyarakat umum (15,22 persen), orang tua (12,23 persen), guru dan dosen (10,14 persen), lain-lain (ormas, LSM, pemerintah, media) sebesar 6,86 persen, dan peneliti (0,29 persen).
Menurut Liliek di Semarang, Selasa pagi, masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memahami informasi berbasis komputer (literasi digital), tidak akan melakukan ujaran kebencian, menyebarkan berita hoaks, melakukan cyber bullying (perundungan siber), penipuan, dan kejahatan seksual melalui media dalam jaringan (daring).
Oleh karena itu, Liliek yang juga Koordinator Penelitian Jaringan Penggiat Literasi Digital (Japelidi) Semarang memandang perlu gerakan literasi digital agar masyarakat dapat memanfaatkan informasi digital secara bijak.
Pada kesempatan wawancara dengan Antara di Semarang, Liliek mengemukakan hasil penelitian Japelidi terkait dengan literasi digital. Penelitian ini melibatkan 56 orang peneliti dari 28 program studi yang berasal dari 26 perguruan tinggi pada sembilan kota di Indonesia (Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Denpasar, dan Jakarta).
Dilihat dari pelaku gerakan literasi media di sembilan kota itu, kata Liliek, perguruan tinggi (56,14 persen) adalah pelaku utama, disusul pemerintah (14,34 persen), komunitas (13,52 persen), lembaga swadaya masyarakat (5,32 persen), sekolah dan korporasi masing-masing 3,68 persen, lain-lain (asosiasi profesi dan ormas) sebesar 2,86 persen, dan media 0,4 persen.
Tingginya perguruan tinggi sebagai pelaku beragam kegiatan literasi digital, antara lain, disebabkan tingginya program literasi digital sebagai bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu tiang tridarma perguruan tinggi.
"Bisa dikatakan bahwa perguruan tinggi menjadi motor gerakan literasi digital," kata Liliek yang pernah sebagai Koordinator Bidang Pemantauan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah.
Jika dilihat dari kelompok sasaran, lanjut Liliek, remaja dan pelajar (29,55 persen) adalah sasaran utama kegiatan literasi digital. Hal ini dikarenakan kaum muda dianggap sebagai kelompok yang paling rentan dan dianggap paling banyak mendapatkan pengaruh buruk dari media digital.
Sebaliknya, katanya lagi, mereka dianggap sebagai agen perubahan yang diharapkan bisa turut ambil bagian dalam mengatasi berbagai persoalan masyarakat digital.
Selain kaum muda, kelompok sasaran untuk gerakan literasi digital adalah mahasiswa (18,5 persen), masyarakat umum (15,22 persen), orang tua (12,23 persen), guru dan dosen (10,14 persen), lain-lain (ormas, LSM, pemerintah, media) sebesar 6,86 persen, dan peneliti (0,29 persen).