Udiono (58) warga Desa Gumilang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mungkin hanya satu di antara jutaan warga lainnya yang telah merasakan manfaat dari perkembangan teknologi.
Dalam kehidupan Udiono, membudidayakan ikan adalah bagian dari keseharian demi menggerakkan roda kehidupan.
Udiono yang merupakan Ketua Kelompok Pembudi Daya Ikan Mina Dadi Rejeki mengatakan bahwa dirinya sudah 10 tahun membudidayakan ikan, mulai dari nila, patin, gurami, hingga lele. Namun, baru sekitar 4 tahun terakhir ini dirinya menerapkan teknologi bioflok.
Tujuannya? Tentu saja untuk pebudidayaan yang lebih efisien dan biaya produksi yang lebih rendah serta ramah lingkungan.
Bagaimana bisa? Karena teknologi bioflok dapat diterapkan meskipun hanya dengan lahan terbatas dan penggunaan sumber daya air yang efisien.
Pada saat ini, dia mempunyai 14 kolam terpal untuk budi daya ikan menggunakan teknologi bioflok. Sebanyak 10 di antaranya merupakan kolam berdiameter 170 sentimeter, dan empat lainnya berdiameter 300 cm.
Pada kolam berdiameter 170 cm, dia bisa menanam bibit hingga 5.000 ekor, sementara pada kolam berdiameter 3 meter sebanyak 8.000 ekor.
Salah satu kelebihan bioflok, menurut Udiono, dengan lahan yang sempit, memiliki potensi tebar padat yang sama dengan budi daya konvensional di lahan yang lebih luas.
Bahkan, Udiono telah menerapkan teknologi bioflok dalam membudidayakan ikan dengan menggunakan probiotik yang dia ciptakan sendiri dari bahan-bahan lokal yang ada di sekitarnya.
Teknologi Bioflok
Dosen Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Taufik Budhi Pramono mengatakan bahwa teknologi bioflok adalah teknologi dengan bantuan bakteri menguraikan limbah pakan menjadi protein sel tunggal.
Protein sel tunggal dalam gumpalan atau flok yang terbentuk itu dapat menjadi pakan ikan. Bahkan, kadar proteinnya bisa mencapai 25 persen.
Teknologi bioflok juga merupakan upaya untuk mengurangi limbah beracun dengan memanfaatkan mikroorganisme.
Teknologi bioflok mendaur ulang limbah nitrogen anorganik yang bersifat racun menjadi protein sel tunggal, katanya.
Mungkin masih ada sebagian masyarakat yang bertanya-tanya, bagaimana cara kerja bioflok?
Dalam teknologi bioflok, bakteri probiotik menguraikan limbah, baik yang terlarut dalam air maupun mengendap.
Bakteri heterotrof ditumbuhkan dengan penambahan karbohidrat agar kecepatan tumbuhnya optimal seiring dengan limbah pakan yang ada. Dengan demikian, mampu menyerap mineral dalam air untuk disintesis menjadi protein.
Teknologi bioflok, potensial dikembangkan karena ketersediaan sumber daya lahan dan air yang makin terbatas. Hal itu menjadikan budi daya tersebut sebagai suatu pilihan untuk meningkatkan produktivitas hasil perikanan.
Terlebih lagi, bioflok merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Hemat lahan, hemat air, hemat pakan.
Melalui teknologi bioflok, kondisi kualitas air menjadi lebih baik, dan dihasilkan protein sebagai makanan alami untuk ikan.
Tentu saja hal itu dapat menguntungkan para pembudi daya ikan.
Hemat lahan yang dimaksud, artinya bahwa dalam skala kecil, dapat melakukan budi daya yang optimal.
Hal itu mengingat pemeliharaan ikan dihitung dari berapa ekor per volume air, bukan per meter persegi.
Satu hal yang juga sangat penting, teknologi bioflok dapat mengurangi limbah budi daya ikan.
Bila dibandingkan dengan budi daya ikan konvensional, efisiensi pakan pada teknologi bioflok sangat tinggi.
Pakan ikan itu tidak semua diserap, bahkan hingga 70 persen tidak terserap, sehingga menjadi sebuah pemborosan, katanya.
Pakan ikan yang terbuang dapat terbagi dua, yakni yang terlarut dan yang mengendap. Pada sistem bioflok pakan terbuang tersebut coba diolah menjadi protein sel tunggal dengan melibatkan bakteri probiotik.
Sementara itu, teknologi bioflok mampu menghemat pakan 20 hingga 30 persen dari biaya pakan.
Dengan efsiensi tinggi, tentunya margin keuntungan juga relatif cukup menggembirakan bagi para pembudi daya.
Menurut dia, yang lebih menggembirakan lagi adalah ikan hasil budi daya bioflok dagingnya lebih bersih dan tidak berbau.
Lalu, ikan apa saja yang sudah dapat dibudidayakan dengan teknologi bioflok? Antara lain, ikan patin, nila, dan lele paling sering dibudidayakan dengan teknologi bioflok.
Pada saat ini, Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman telah mengembangkan program berbasis riset terkait dengan bioflok ke dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat di sejumlah wilayah.
Tujuannya tentunya adalah meningkatkan pengetahuan keterampilan serta aplikasi teknologi perikanan budi daya kepada masyarakat.
Pihaknya berharap pembudi daya ikan makin mengetahui dan menguasai telnologi bioflok.
Selain itu, dia berharap pembudi daya ikan juga dapat mempraktikan teknologi bioflok pada usahanya sekaligus dapat meningkatkan produksi dan keuntungannya.
Meskipun demikian, satu hal yang paling penting adalah teknologi bioflok dapat menjadi "model" di tengah masyarakat. Misalnya, ada gerakan, satu rumah, satu kolam.
Hal itu karena pengembangan budi daya perikanan erat kaitannya dengan "pro-growth", "pro-poor", dan "pro-job".
Ia berpendapat bahwa budi daya perikanan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi, berpihak pada masyarakat miskin, dan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi penciptaan lapangan kerja.
Pada akhirnya, teknologi bioflok dapat berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari ikan.
Dalam kehidupan Udiono, membudidayakan ikan adalah bagian dari keseharian demi menggerakkan roda kehidupan.
Udiono yang merupakan Ketua Kelompok Pembudi Daya Ikan Mina Dadi Rejeki mengatakan bahwa dirinya sudah 10 tahun membudidayakan ikan, mulai dari nila, patin, gurami, hingga lele. Namun, baru sekitar 4 tahun terakhir ini dirinya menerapkan teknologi bioflok.
Tujuannya? Tentu saja untuk pebudidayaan yang lebih efisien dan biaya produksi yang lebih rendah serta ramah lingkungan.
Bagaimana bisa? Karena teknologi bioflok dapat diterapkan meskipun hanya dengan lahan terbatas dan penggunaan sumber daya air yang efisien.
Pada saat ini, dia mempunyai 14 kolam terpal untuk budi daya ikan menggunakan teknologi bioflok. Sebanyak 10 di antaranya merupakan kolam berdiameter 170 sentimeter, dan empat lainnya berdiameter 300 cm.
Pada kolam berdiameter 170 cm, dia bisa menanam bibit hingga 5.000 ekor, sementara pada kolam berdiameter 3 meter sebanyak 8.000 ekor.
Salah satu kelebihan bioflok, menurut Udiono, dengan lahan yang sempit, memiliki potensi tebar padat yang sama dengan budi daya konvensional di lahan yang lebih luas.
Bahkan, Udiono telah menerapkan teknologi bioflok dalam membudidayakan ikan dengan menggunakan probiotik yang dia ciptakan sendiri dari bahan-bahan lokal yang ada di sekitarnya.
Teknologi Bioflok
Dosen Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Taufik Budhi Pramono mengatakan bahwa teknologi bioflok adalah teknologi dengan bantuan bakteri menguraikan limbah pakan menjadi protein sel tunggal.
Protein sel tunggal dalam gumpalan atau flok yang terbentuk itu dapat menjadi pakan ikan. Bahkan, kadar proteinnya bisa mencapai 25 persen.
Teknologi bioflok juga merupakan upaya untuk mengurangi limbah beracun dengan memanfaatkan mikroorganisme.
Teknologi bioflok mendaur ulang limbah nitrogen anorganik yang bersifat racun menjadi protein sel tunggal, katanya.
Mungkin masih ada sebagian masyarakat yang bertanya-tanya, bagaimana cara kerja bioflok?
Dalam teknologi bioflok, bakteri probiotik menguraikan limbah, baik yang terlarut dalam air maupun mengendap.
Bakteri heterotrof ditumbuhkan dengan penambahan karbohidrat agar kecepatan tumbuhnya optimal seiring dengan limbah pakan yang ada. Dengan demikian, mampu menyerap mineral dalam air untuk disintesis menjadi protein.
Teknologi bioflok, potensial dikembangkan karena ketersediaan sumber daya lahan dan air yang makin terbatas. Hal itu menjadikan budi daya tersebut sebagai suatu pilihan untuk meningkatkan produktivitas hasil perikanan.
Terlebih lagi, bioflok merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Hemat lahan, hemat air, hemat pakan.
Melalui teknologi bioflok, kondisi kualitas air menjadi lebih baik, dan dihasilkan protein sebagai makanan alami untuk ikan.
Tentu saja hal itu dapat menguntungkan para pembudi daya ikan.
Hemat lahan yang dimaksud, artinya bahwa dalam skala kecil, dapat melakukan budi daya yang optimal.
Hal itu mengingat pemeliharaan ikan dihitung dari berapa ekor per volume air, bukan per meter persegi.
Satu hal yang juga sangat penting, teknologi bioflok dapat mengurangi limbah budi daya ikan.
Bila dibandingkan dengan budi daya ikan konvensional, efisiensi pakan pada teknologi bioflok sangat tinggi.
Pakan ikan itu tidak semua diserap, bahkan hingga 70 persen tidak terserap, sehingga menjadi sebuah pemborosan, katanya.
Pakan ikan yang terbuang dapat terbagi dua, yakni yang terlarut dan yang mengendap. Pada sistem bioflok pakan terbuang tersebut coba diolah menjadi protein sel tunggal dengan melibatkan bakteri probiotik.
Sementara itu, teknologi bioflok mampu menghemat pakan 20 hingga 30 persen dari biaya pakan.
Dengan efsiensi tinggi, tentunya margin keuntungan juga relatif cukup menggembirakan bagi para pembudi daya.
Menurut dia, yang lebih menggembirakan lagi adalah ikan hasil budi daya bioflok dagingnya lebih bersih dan tidak berbau.
Lalu, ikan apa saja yang sudah dapat dibudidayakan dengan teknologi bioflok? Antara lain, ikan patin, nila, dan lele paling sering dibudidayakan dengan teknologi bioflok.
Pada saat ini, Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman telah mengembangkan program berbasis riset terkait dengan bioflok ke dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat di sejumlah wilayah.
Tujuannya tentunya adalah meningkatkan pengetahuan keterampilan serta aplikasi teknologi perikanan budi daya kepada masyarakat.
Pihaknya berharap pembudi daya ikan makin mengetahui dan menguasai telnologi bioflok.
Selain itu, dia berharap pembudi daya ikan juga dapat mempraktikan teknologi bioflok pada usahanya sekaligus dapat meningkatkan produksi dan keuntungannya.
Meskipun demikian, satu hal yang paling penting adalah teknologi bioflok dapat menjadi "model" di tengah masyarakat. Misalnya, ada gerakan, satu rumah, satu kolam.
Hal itu karena pengembangan budi daya perikanan erat kaitannya dengan "pro-growth", "pro-poor", dan "pro-job".
Ia berpendapat bahwa budi daya perikanan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi, berpihak pada masyarakat miskin, dan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi penciptaan lapangan kerja.
Pada akhirnya, teknologi bioflok dapat berperan serta dalam mewujudkan ketahanan pangan yang bersumber dari ikan.