Jam dinding yang menunjuk tepat pukul 00.00 WIB membawa ratusan orang lintas agama berdiri sambil bergandengan tangan membentuk lingkaran. Lalu mereka melambungkan lagu "Kemesraan" dengan penuh pendalaman kepada makna universal atas syairnya.

Hangatnya semangat keberagaman, persaudaraan, dan kekeluargaan, mereka ungkapkan lewat tembang populer penyanyi Virgiawan Listanto (Iwan Fals) yang dirilis pada 1988 tersebut.

"`Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu, kemesraan ini, ingin kukenang selalu. Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu, hatiku damai, jiwaku tenteram bersamamu`," begitu refrain tembang tersebut yang terdengar membahana, mereka nyanyikan, Minggu (21/5), bertepatan dengan pergantian waktu ke Senin (22/5).

Melalui lagu itu, mereka halau ancaman perusak keberagaman, mereka singkirkan kecemasan atas merebaknya aksi intoleransi dan radikalisme, mereka teguhkan harmoni kebersamaan dalam perbedaan serta kekeluargaan sebagai sesama warga bangsa.

Itulah pesan yang setidaknya diunggah setinggi-tingginya oleh mereka yang mengikuti putaran ketiga pertemuaan "Jamaah Kopdariyah" dengan mengangkat tema "Aja Ninggal Sejarah, Wong Waras Ora Nate Lali" (Jangan meninggalkan sejarah, orang rawas tidak pernah lupa) di Gedung Pelayanan Pastoral Kompleks Gereja Paroki Santo Ignatius Kota Magelang, Jawa Tengah.

Mereka yang hadir sebagai narasumber dialog lintasagama dalam suasana bernuansa cair itu, antara lain pimpinan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudroli (Gus Yusuf), pengasuh Ponpes Raudhatut Thullab Desa Wonosari, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, K.H. Ahmad Labib Asrori, Rektor Sekolah Tinggi Teologi Magelang di Blondo, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Martien Boru.

Dalam acara yang ditandai dengan paduan suara lagu-lagu bernafaskan kebangsaan dan persaudaraan oleh sejumlah umat gabungan beberapa gereja di kota tersebut, juga hadir sebagai pembicara lainnya, Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah Jateng Stefanus Boncu, Kepala Gereja Kevikepan Kedu dan Kepala Gereja Paroki Santo Ignatius Kota Magelang Romo F.X. Krisno Handoyo, Kepala Kepolisian Resor Magelang Kota AKBP Hari Purnomo, dan seorang tokoh Katolik Kota Magelang Frans Hardono.

Mereka saling berbagi atas berbagai hal terkait dengan isu-isu yang merebak dan dirasakan bersama sebagai keprihatinan terhadap aksi intoleransi, radikalisme, serta pengancam semangat kebhinekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, mereka juga menaburkan pesan pentingnya masyarakat memanfaatkan media sosial secara sehat, dengan menghindari pengunggahan bernada kebencian, perundungan, dan penyebaran berita bohong atau "hoaks".

Pada putaran ketiga acara itu, Kiai Labib yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Magelang tersebut, menjelaskan tentang pengertian "Jamaah Kopdariyah" yang menjadi sarana berkumpul dan memperkuat semangat kebersamaan umat dan pemuka lintasagama.

Kata "kopdariyah" berasal dari unsur "kopdar" atau singkatan dari "kopi darat".

Pertemuan "Jamaah Kopdariyah" yang mendialogkan isu-isu aktual menyangkut persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, disebut Labib, digagas oleh empat pegiat kepemudaan, masing-masing Adhang Legowo, Danu "Sang Bintang" Wiratmoko, Paulus Agung Pramudyanto, dan Abet Nugroho.

Putaran pertama "Jamaah Kopdariyah" di Ponpes Raudhatut Thullab, Tempuran, putaran kedua di rumah pengurus Majelis Pembina Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Magelang Ahmad Majidun di Muntilan, beberapa waktu lalu, sedangkan putaran keempat rencananya bertepatan dengan Bulan Puasa Ramadhan mendatang di Kampung Dolanan Nusantara Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

"Tidak cukup hanya berkomunikasi melalui dunia maya, media sosial, tetapi juga penting memperkuat kebersamaan dan menjalin hubungan harmoni yang riil, sehingga dipandang penting `kopi darat` lalu ditambahi `yah` sehingga menjadi `kopdariyah`," ujarnya.

Kelompok paduan suara bernama "Wani Muni" pimpinan Adik Wijayanto pada pembuka acara mengajak hadirin bersama-sama menyanyikan lagu bernafaskan kebangsaan "Indonesia Raya". Selain itu, pada sesi selanjutnya mereka suguhkan lagu "Pancasila Rumah Kita" (Franky Sahilatua), "Lilin-Lilin Perdamaian" (Binsar Nainggolan", dan tembang berbahasa Jawa "Bang-Bang Wus Rahina" (aransemen Sasadaramadyaratri).

Abet Nugroho yang juga Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Kabupaten Magelang membagikan seratusan angklung kepada yang hadir untuk kemudian berlatih kilat memainkannya, mengiringi lagu "Indonesia Pusaka" (Ismail Marzuki) dan "Kolam Susu" (Koes Plus).

Sesekali gelak tawa hadirin menyeruak karena ungkapan-ungkapan kocak Danu "Sang Bintang" dalam membawakan acara dialog yang diselingi pembacaan dua puisi oleh Paulus Agung, yakni "Hujan Bulan Juni" (Sapadi Djoko Damono) dan "Hujan Paku" (Agung Pramudyanto).

Kegembiraan yang tercipta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang beragam yang dihadirkan dalam "Jamaah Kopdariyah" melalui paduan musik angklung dan lantunan lagu-lagu bernafaskan kebangsaan, disebut oleh Pendeta Martien, sebagai "dunia indah" yang harus dirawat.

"Terkesan dunia yang indah, menjadi indah merawat kebhinekaan, bukan hanya teori tetapi terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari," kata Martien yang berasal dari Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun sudah 27 tahun hidup di Pulau Jawa.

Forum "Jamaah Kopdariyah" dikemas secara menarik karena berlandaskan kesadaran yang kuat umat lintas agama atas kebhinnekaan. Gus Yusuf menyebutnya pertemuan yang memberi warna kesejukan.

Melalui forum tersebut, terbangun dialog antarwarga bangsa yang memang berbeda-beda latar belakang namun saling memperkuat komitmen tentang nilai-nilai keindonesiaan.

Keanekaragaman dinyatakan secara tegas sebagai sumber kekuatan Indonesia. Keberagaman juga sebagai warna-warni yang menjadikan Indonesia indah.

"Indonesia yang dijaga kebersamaannya. Identitas kita yang pertama adalah keindonesiaan," ucapnya.

Berbagai aksi intoleran dan radikal, serta hendak mengubah Indonesia yang bhineka dan berdasarkan Pancasila dengan ideologi lain, kata Kiai Labib, dilakukan oleh mereka yang tidak memahami perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan.

"`Mereka akan mengubah bentuk dan ideologimu wahai Indonesia. Tanpa rasa bersalah menganggap tindakan perilaku, sikap, dan gerakan mereka sebagai perjuangan suci dengan mengabaikan rasa kemanusiaan, toleransi, dan nilai-nilai sejarah perjuangan`," kata Labib saat membacakan tulisan karyanya berjudul "Indonesiaku-mu-kita" dalam antologi puisi sekitar 80 penyair Indonesia "Madah Merdu Kamadhatu" (Mei 2017).

Oleh karena Indonesia sebagai negeri elok yang memberi kesempatan terbuka setiap warga untuk mengembangkan kehidupannya dan mengamalkan keyakinannya tanpa saling mengganggu, di barisan kalimat syairnya itu, ia mengajak setiap orang untuk melakukan kebaikan dengan ungkapan "Mari, tebarkan kebaikan, taburkan cinta kasih, berbagi karunia".

Ungkapan itu, seiring dengan pernyataan Romo Krisno tentang optimisme yang harus digenggam setip warga bangsa dalam menghadapi guncangan kehidupan bersama karena kehidupan selalu penuh dengan harapan akan kebaikan.

"Orang beriman selalu mempunyai pengharapan-pengharapan akan kebaikan bersama. `Jamaah Kopdariyah` membangun suasana persaudaraan dan pengharapan, yang akan berbuah kebaikan. Kebaikan bersama akan menjadi berkah," katanya.

Tembang "Bang-Bang Wus Rahina" yang dilantunkan melalui paduan suara secara apik dalam forum "Jamaah Kopdariyah", bagaikan mengamini tentang pengharapan atas kebhinekaan Indonesia yang harus terus diteguhkan.

"`Bang bang wus rahina dadia pratandha ya kanca, srengenge jumedhul, sang ratri linebur. Enggala gumregah, enggala samapta, ya kanca, sawangen mletheking sang surya prakosa`. (Kawan, fajar merekah menjadi tanda matahari terbit menggantikan gelap malam. Kawan, segeralah bangun dan bersiap, memandang keperkasaan matahari, red.)," begitu petikan syair lagu tersebut.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024