Semarang, ANTARA JATENG - Pengelola Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di Provinsi Jawa Tengah, diminta menggratiskan biaya pendidikan siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, meskipun sekolah diperbolehkan menarik dana partisipasi masyarakat.
"Sesuai undang-undang, paling tidak 20 persen dari total siswa yang ada tiap sekolah digratiskan pembiayaannya dan itu juga tergantung kejujuran dari pihak sekolah," kata anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah Muh Zen di Semarang, Minggu.
Menurut dia, pihak pengelola SMA/SMK tidak boleh menarik iuran dengan nominal yang memberatkan dan harus menerapkan subsidi silang serta memperhatikan standar kelayakan dalam menarik dana partisipasi masyarakat.
Dengan memberikan keringanan pembiayaan bagi siswa miskin, diharapkan target wajib belajar 12 tahun bisa terpenuhi, apalagi angka partisipasi kasar (APK) Jateng masih di bawah rata-rata nasional.
"Angka putus sekolah (APS) di Jateng masih pada ranking 24 nasional, angka partisipasi murni (APM) di Jateng hanya 56 persen dan ini tantangan besar Jateng ketika menuju wajib belajar 12 tahun," ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jateng harus menjadi garda terdepan untuk mengawal kebijakan pendidikan baik dalam perencanaan penganggaran maupun koordinasi terhadap para pemangku kepentingan.
"Kami dorong adanya peraturan gubernur tentang kewajiban CSR perusahaan untuk pembiayaan pendidikan guna menutup biaya operasional yang tidak bisa tercover APBD," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng Gatot Bambang Hastowo saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pihaknya sudah meminta pengelola SMA/SMK Negeri di provinsi setempat untuk menggratiskan biaya pendidikan siswa miskin.
"Kalau siswa tidak mampu, tidak boleh diikutkan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, sekolah harus membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga tidak mampu," ujarnya.
"Sesuai undang-undang, paling tidak 20 persen dari total siswa yang ada tiap sekolah digratiskan pembiayaannya dan itu juga tergantung kejujuran dari pihak sekolah," kata anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah Muh Zen di Semarang, Minggu.
Menurut dia, pihak pengelola SMA/SMK tidak boleh menarik iuran dengan nominal yang memberatkan dan harus menerapkan subsidi silang serta memperhatikan standar kelayakan dalam menarik dana partisipasi masyarakat.
Dengan memberikan keringanan pembiayaan bagi siswa miskin, diharapkan target wajib belajar 12 tahun bisa terpenuhi, apalagi angka partisipasi kasar (APK) Jateng masih di bawah rata-rata nasional.
"Angka putus sekolah (APS) di Jateng masih pada ranking 24 nasional, angka partisipasi murni (APM) di Jateng hanya 56 persen dan ini tantangan besar Jateng ketika menuju wajib belajar 12 tahun," ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jateng harus menjadi garda terdepan untuk mengawal kebijakan pendidikan baik dalam perencanaan penganggaran maupun koordinasi terhadap para pemangku kepentingan.
"Kami dorong adanya peraturan gubernur tentang kewajiban CSR perusahaan untuk pembiayaan pendidikan guna menutup biaya operasional yang tidak bisa tercover APBD," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng Gatot Bambang Hastowo saat dikonfirmasi mengatakan bahwa pihaknya sudah meminta pengelola SMA/SMK Negeri di provinsi setempat untuk menggratiskan biaya pendidikan siswa miskin.
"Kalau siswa tidak mampu, tidak boleh diikutkan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, sekolah harus membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga tidak mampu," ujarnya.