Korupsi
yang dimaksud Direktur Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Selasa, mulai
dari proses awal pengadaan, pembelian, pemeliharaan-perawatan, pelatihan
dan suku cadang, serta sistem penunjang lain seumpama amunisi.
Pada
2016, salah satu perwira tinggi TNI AD yang berdinas Kementerian
Pertahanan sudah divonis penjara seumur hidup atas dugaan korupsi
pengadaan sistem pertahanan senilai 12 juta dolar Amerika Serikat, yang
dia lakukan pada 2010-2014.
"Korupsi alutsista akan mengurangi
kapasitas alutsista itu sendiri dalam rangka modernisasi. Imbasnya,
tidak heran banyak kecelakaan terjadi," ungkapnya.
Pola korupsi
di sektor sistem pertahanan, kata dia, mulai dari penggelembungan
harga, pembelian yang di bawah spesifikasi, hingga pemangkasan biaya
perawatan.
Proses pembelian sistem pertahanan
ini juga muskil diketahui publik secara terbuka atas nama kerahasiaan
negara. Pun penunjukan langsung (tanpa tender kalau perlu) dimungkinkan
jika sistem pertahanan itu tidak atau belum bisa dibuat di dalam negeri.
Ini disebut dalam pasal 43 UU Nomor 16/2012.
"Kondisi yang demikian disebabkan penutupan ruang lembaga
independen seperti KPK untuk mengusut kasus korupsi, khususnya yang
melibatkan oknum aparat TNI," katanya.
Hal itu juga, kata dia, disebabkan proses reformasi peradilan
militer melalui revisi UU Nomor 31/1997 yang hingga saat ini belum
selesai dilakukan, sehingga KPK sulit menginvestigasi dugaan korupsi
yang melibatkan oknum anggota TNI. Pemeriksaan keuangan juga hanya satu
pintu, yaitu melalui inspektorat jenderal dan BPK.
Kemudian, pihak ketiga masih ada dalam pengadaan alustasta menjadi
salah satu penyebab utama dalam korupsi pengadaan alutsista. Hal itu
terlihat dalam kasus PT PAL, Sukhoi Su-27/30 Flanker pada pemerintahan yang lalu, dan lain-lain.
"Dalih
'rahasia negara' dalam pembelian sistem persenjataan juga menyulitkan
upaya pemberantasan korupsi di sektor ini," kata Al Araf.
Banyak negara maju justru tidak menutupi jumlah dan spesifikasi benda-benda pertahanan mereka. Rahasia, bagi mereka ada pada kualifikasi personel, misi, waktu pelaksanaan, dan sasaran, serta konfigurasi senjata dan sistem yang dikerahkan.
Selain juga minim
pengawasan internal dan eksternal --semisal dari DPR sebagai pengagem
hak anggaran-- dalam proses pengadaan dan pemeliharaan sistem pertahanan
juga menjadi ruang yang berpotensi korupsi.
Di tempat yang sama, Deputi Sekjen Transparency International Indonesia, Dedi Haryadi, menjelaskan, berdasarkan Government Defence Anti-Corruption Index
yang dirilis Transparency International pada 2015 menempatkan Indonesia
pada posisi buruk karena sektor pertahanan dinilai sangat rentan
terhadap korupsi.
"Korupsi di perusahaan BUMN penyuplai alutsista patut diwaspadai.
Sekarang ini sudah saatnya, penyuplai alutsista harus dikontrol dengan
cara mengembangkan program-program antikorupsi," kata Dedi.
Pemerintah Indonesia bahkan ditempatkan pada kelas D yang berarti
sangat tinggi korupsi di sektor pertahanan. Dalam laporan itu
disebutkan, problem korupsi sektor pertahanan di Indonesia disebabkan
dua hal.
Yaitu, kapasitas pengawasan internal yang lemah dalam proses
pengadaan sistem persenjataan dan lemah dalam berlaku transparan dan
akuntabel pada proses pengadaan sistem persenjataan dimaksud.
Sementara itu, anggota ICW, Tama S Langkun, mengakui keberanian KPK
mengungkap korupsi di ranah benda-benda pertahanan, sekalipun itu bukan
langsung kepada pemangku sistem pertahanan nasional melainkan luar
negeri.
"Ada suap dalam kasus PAL yang nota bene
BUMN. Harus ada tangung jawab di kementerian karena terkait pengadaan.
Karena itu juga harus diusut pihak-pihak lain, tidak hanya perusahan
yang mengerjakan kapal. Ke depan harus ada evaluasi pengadaan barang dan
jasa di kementerian," kata dia.
Pemerintah harus
melaksanakan pencegahan. Di antaranya harus segera reformasi peradilan
militer melalui revisi UU Nomor 31/1997, tidak boleh melibatkan pihak
ketiga (broker), harus dilakukan antar pemerintahan, membeli barang baru dan tidak membeli barang bekas.
Lalu harus transparan dan akuntabel, fungsi pengawasan dan kontrol
Parlemen harus optimal, hingga mendorong pelibatan dan pengawasan
publik, serta penguatan mekanisme dan pengawasan internal.